Ilustrasi : dok detikcom
Senin, 6 September 2021Dengan suguhan mi, bakso, dan martabak, Jokowi mengundang ketua umum dan sekretaris jenderal tujuh partai koalisi di Istana Negara pada 25 Agustus 2021. Perwakilan partai-partai itu dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, NasDem, Gerindra, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional.
Sumber detikX yang mengetahui pertemuan itu mengatakan mulanya Jokowi hanya memperkenalkan PAN sebagai anggota koalisi baru di pemerintahan. Di sela-sela perjamuan santai itu, Jokowi turut menyampaikan soal rencana-rencana besarnya terkait pemulihan ekonomi nasional dan penanganan pandemi COVID-19.
Jokowi meminta kepada partai koalisinya agar tetap solid dalam mengatasi persoalan-persoalan bangsa. Dalam kesempatan yang sama, menurut sumber ini, Jokowi juga mengatakan ingin berfokus pada pembentukan ibu kota negara yang baru.
Presiden Joko Widodo
Foto : Biro Pers Sekretariat Presiden
Tapi, dalam kondisi isu tiga periode, sudah berkembang plus perimbangan koalisi dan oposisi yang jomplang. Ide amandemen berbahaya.”
Sepekan setelah pertemuan di Istana tersebut, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan memunculkan wacana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal itu dia sampaikan dalam pidato di acara Rapat Kerja Nasional II PAN pada 31 Agustus 2021.
Amandemen adalah kegiatan resmi mengubah sebuah dokumen undang-undang. Dalam Rakernas PAN tersebut, Zulhas--begitu dia akrab disapa--menyebut Indonesia perlu mengevaluasi sistem demokrasi yang ada sekarang.
Menurutnya, UUD 1945, yang telah lama menjadi acuan negara, perlu adanya rejuvenasi atau peremajaan. “Jadi, setelah 23 tahun, hasil amandemen itu, menurut saya, memang perlu dievaluasi. Termasuk demokrasi kita ini, kita mau ke mana, perlu dievaluasi,” tutur Zulhas.
Namun, setelah itu, wacana penambahan masa jabatan presiden melalui amandemen UUD 1945 kembali menjadi serupa bola liar. Di dalam UUD 1945, masa jabatan presiden dibatasi hanya dua kali. Wacana ini ada karena diungkapkan para elite partai politik, tetapi tak jelas arahnya.
Dalam catatan detikX, isu ini setidaknya telah muncul beberapa kali. Pada November 2019, Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengungkap adanya usulan perubahan masa jabatan presiden satu kali saja atau tiga kali masa jabatan. Namun, belakangan, Arsul mengatakan usulan itu dari luar MPR.
Pada Februari-Maret 2021, perpanjangan masa jabatan presiden dilontarkan oleh Direktur Eksekutif Indo Barometer politik M Qodari karena khawatir terjadi polarisasi politik yang sangat panas pada Pemilu 2024. Ia mengusulkan agar Joko Widodo berpasangan dengan Prabowo.
Isu itu kembali memanas pada Mei-Juni 2021 setelah disuarakan oleh kelompok-kelompok relawan Jokowi-Prabowo (JokPro 2024). Belakangan ini, selain tiga periode jabatan Jokowi, relawan Jokowi Mania (JoMan) mengembuskan usulan perpanjangan jabatan Presiden Jokowi hingga 2027 karena pandemi COVID-19.
Zulkifli Hassan
Foto : Lamhot Aritonang/detikcom
Terlepas dari soal masa jabatan presiden, amandemen UUD 1945 memang menjadi agenda partai politik. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengakui gagasan amandemen terbatas UUD 1945 telah diputuskan dalam kongres partai berlogo banteng itu di Bali pada 2019. Dua dari gagasan dalam amandemen adalah perubahan UU Pemilu dan UU Pemilu Presiden.
Namun, menurut Hasto, situasi pandemi COVID-19 membuat PDIP harus menunda terlebih dahulu pembicaraan mengenai amandemen tersebut. “Ibu Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, terkait amandemen, sudah menegaskan bahwa kebijakan PDIP Perjuangan adalah slowing down,” tutur Hasto beberapa pekan lalu.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo kemudian menyiratkan dukungan terhadap wacana amandemen UUD 1945 yang digagas PDIP. Pada sidang MPR yang digelar 16 Agustus lalu, Bamsoet sempat menyinggung soal pentingnya perubahan secara terbatas pada UUD 1945 yang sekarang.
Bamsoet ingin fokus amandemen UUD 1945 itu pada pembentukan pokok-pokok haluan negara (PPHN). Secara konstitusi, kata Bamsoet, tidak memungkinkan amandemen dilakukan secara eksesif dan menyinggung perubahan pasal-pasal lainnya.
Sumber detikX di Senayan mengatakan MPR akan membentuk tim ahli untuk merumuskan PPHN yang akan dimasukkan dalam amandemen UUD 1945. Tujuannya agar isi PPHN benar-benar bagian dari aktualisasi Pancasila dan tidak lekang oleh waktu.
Namun tidak tertutup kemungkinan agenda amandemen terbatas UUD 1945 itu menjadi langkah taktis elite politik untuk mengubah pasal terkait masa jabatan presiden. Karena itu, sebagian parpol yang cemas terhadap hal tersebut menolak amandemen UUD 1945.
“Tapi, dalam kondisi isu tiga periode, sudah berkembang plus perimbangan koalisi dan oposisi yang jomplang. Ide amandemen berbahaya,” kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera pekan lalu.
Pakar politik dari Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, memandang wacana amandemen UUD 1945 tidak mendesak dilakukan. Menurut Mada, amandemen konstitusi hanya perlu dilakukan ketika ada banyak hal yang harus diubah.
“Kalau (amandemen) memperpanjang periode presiden untuk tiga periode, itu tidak ada urgensinya,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM ini.
Gedung DPR
Foto : dok detikcom
Jika amandemen dipaksakan hanya untuk melayani kepentingan segelintir orang, Mada menilai hal tersebut bisa berdampak pada gonjang-ganjing politik di Indonesia. Tuntutan reformasi bisa kembali terulang. Dia menjelaskan aturan masa jabatan presiden selama dua periode itu dulu dibentuk untuk membatasi kekuasaan. “Trauma kita pada Orde Baru karena tidak ada pembatasan kekuasaan,” tegasnya.
Pada akhir 2019, Presiden Jokowi sempat mengemukakan reaksinya terhadap isu penambahan masa jabatan presiden. Menurut Jokowi, kabar tersebut hanyalah akal-akalan. “Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode. Itu ada tiga (makna) menurut saya. Satu, ingin menampar muka saya. Yang kedua, ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka. Yang ketiga, ingin menjerumuskan. Itu saja,” kata Jokowi.
Dia menegaskan sejak awal menginginkan amandemen UUD 1945 secara terbatas hanya untuk urusan haluan negara. Namun isunya kemudian melebar. “Ada yang lari, presiden dipilih MPR, ada yang lari presiden tiga periode, ada yang lari presiden satu kali, delapan tahun. Kan ke mana-mana seperti yang saya sampaikan. Jadi, lebih baik, tidak usah amandemen,” kata Jokowi.
Selain itu, dalam persamuhan dengan 12 pemimpin redaksi media massa pada Senin, 7 Juni, sore, Jokowi kembali menjawab pertanyaan soal isu tiga periode ini. Pemimpin Redaksi MNC Trijaya Gaib Maruto Sigit, yang hadir dalam pertemuan itu, mengatakan Jokowi tampak keheranan ketika ada salah satu pemimpin redaksi yang menanyakan soal responsnya terhadap isu tersebut. Jokowi bahkan sampai menggeleng-gelengkan kepala ketika mendengar pertanyaan itu.
“Sudah dibilang rencana itu menampar muka saya, mencari muka, dan menjerumuskan. Sudah jelas, saya harus bicara apa lagi?” tutur Jokowi, ditirukan Gaib kepada detikX.
Selain bertemu dengan tujuh partai koalisi yang tergabung dalam parlemen di Istana Bogor, Jokowi sempat mengadakan pertemuan bersama pimpinan partai nonparlemen di Istana. Partai yang diundang adalah PBB, Hanura, PSI, PKPI, dan Perindo. Dalam pertemuan yang berlangsung pada 1 September itu, Sekjen PBB Afriansyah Ferry Noor menyampaikan kesiapan partainya mendukung pemerintah jika menghendaki amandemen UUD 1945.
Pelantikan Jokowi-Ma'ruf Amin
Foto : dok. Detikcom
Namun, menanggapi pernyataan Afriansyah itu, Jokowi tidak setuju atas gagasan amandemen. Jokowi, sebagaimana disampaikan Afriansyah, khawatir apabila amandemen itu justru melebar ke mana-mana, termasuk melebar ke urusan masa jabatan presiden. Ihwal itu, Jokowi lebih memilih menyerahkannya kepada institusi yang berwenang.
“Presiden menjawab bahwa soal amandemen, baik terbatas maupun tidak, ‘Saya tidak setuju’. Ya, kan, itu diserahkan kepada MPR saja, karena kaitannya, takutnya, diarahkan macem-macem,” kata Afriansyah menceritakan respons Jokowi kala itu
Reporter: Rani Rahayu, Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: May Rahmadi, Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban