INVESTIGASI

Menanti Hukuman Berat Perundung Seksual Kampus

Kekerasan seksual berulang kali terjadi di kampus. Hukuman administratif bagi pelaku masih dianggap belum setimpal dengan trauma seumur hidup penyintas.

Ilustrasi: iStock

Selasa, 31 Agustus 2021

Laki-laki berinisial MA, salah satu kepala program studi di Institut Agama Islam Negeri Kediri, mendapat sanksi pencopotan dari jabatannya karena kasus kekerasan seksual. Rektorat IAIN mengeluarkan keputusan itu setelah dosen tersebut menjalani pemeriksaan.

“Yang bersangkutan sudah dipanggil, sudah dimintai keterangan. Pihak Rektorat sudah memberi keputusan terhadap yang bersangkutan,” kata Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Wahidul Anam, Senin, 23 Agustus 2021.

MA dilaporkan telah melakukan kekerasan seksual terhadap salah satu mahasiswinya. Dosen cabul itu menjadikan bimbingan skripsi sebagai modus kejahatannya. MA, dengan kewenangannya sebagai pembimbing skripsi korban, meminta korban datang ke rumahnya dengan dalih akan mendapat bimbingan skripsi. Namun, di rumah MA, korban justru mendapatkan kekerasan seksual dari MA.

Dosen mesum itu pun mengakui perbuatannya ketika menjalani pemeriksaan Rektorat. Kendati demikian, MA tidak mendapatkan sanksi pemecatan lebih keras. Tindakan MA juga belum dibawa ke ranah hukum. Pihak kampus hanya memberhentikan dosen itu dari jabatannya sebagai kepala program studi, dilarang memberikan bimbingan skripsi selama 2 tahun kepada mahasiswa, dan ditunda kenaikan pangkat selama dua tahun.

Wahidul mengatakan keputusan tersebut didasari pada hasil rapat. Dia mengklaim, dengan keluarnya keputusan tersebut, kasus itu sudah selesai. “Karena sudah diambil tindakan, ya sudah dianggap selesai. Tidak ada tuntutan,” katanya.

Kampus IAIN Kediri
Foto : Andhika/detikcom

Namun sejumlah mahasiswa tidak puas terhadap sikap kampus terkait kasus tersebut. Pada Jumat, 27 Agustus 2021, belasan mahasiswa melakukan protes di gedung Rektorat IAIN Kediri.

Dalam aksi yang sempat ricuh itu, para mahasiswa mendesak Rektorat memberikan sanksi lebih berat kepada dosen MA. “Tuntutan dari kami sendiri membawa pelaku ini ke ranah hukum,” kata koordinator aksi dalam orasinya.

Selain membawa kasus tersebut ke ranah pidana, para mahasiswa meminta Rektorat memberikan pendampingan psikis kepada korban dan menciptakan rasa aman di kampus. Sebab, kasus kekerasan seksual itu diduga bukan satu-satunya.

Dicopot jabatan, tidak boleh membimbing, dan tidak boleh naik jabatan dua tahun itu saya pikir tidak selesai karena dia masih berkeliaran di kampus."

Kasus kekerasan seksual yang melibatkan kalangan kampus sudah berulang kali terjadi. Tidak peduli apakah kampus kenamaan atau bukan. Baru-baru ini terjadi kekerasan seksual terhadap seorang dosen perempuan oleh rektor sebuah universitas di Jember, Jawa Timur. Rektor yang mengaku khilaf tersebut kemudian mengundurkan diri.

Pada September 2020, sejumlah mahasiswa kampus negeri di Tulungagung juga berdemo menuntut agar kasus pelecehan seksual yang dilakukan seorang mahasiswa senior kepada juniornya diusut. Mereka menilai kampus bergerak lamban menyelesaikan kasus itu.

Data Komisi Nasional Perempuan menyebutkan, terdapat 1.617 kasus kekerasan seksual selama Januari hingga Oktober 2020. Sebanyak 1.458 kasus di antaranya adalah kekerasan berbasis gender. Kekerasan seksual tersebut paling banyak terjadi pada lembaga pendidikan.

Karena itu, ada rekomendasi kepada lembaga pendidikan untuk mengusut laporan secara internal, menjatuhkan sanksi tegas terhadap pelaku, membuka unit layanan terpadu, serta membangun dan menyusun prosedur operasional standar untuk memutus rantai kekerasan seksual.

Ilustrasi pelecehan seksual
Foto : Edi Wahyono/detikcom

Terkait kejadian di IAIN Kediri, Masruchah, Sekretaris Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia, menilai, sanksi pencopotan dari jabatan pelaku sudah merupakan keputusan yang baik dari pihak rektorat. Namun, sanksi lainnya dipandang tidak cukup.

Sanksi lebih berat harusnya dapat dijatuhkan kepada pelaku. Sebab, pelaku merupakan kepala program studi yang seharusnya menjadi teladan bagi anak didiknya. Belum lagi, perundungan seksual itu dilakukan pada saat kegiatan kampus, yaitu bimbingan skripsi.

Atas peristiwa itu, korban mengalami trauma sepanjang hidupnya. Penyintas kasus pelecehan seksual biasanya juga mendapat tekanan dari teman-teman di sekelilingnya. Keluarga pun kadang-kadang tidak bisa melindungi dan justru menyalahkan korban.

“Dicopot jabatan, tidak boleh membimbing, dan tidak boleh naik jabatan dua tahun itu saya pikir tidak selesai karena dia masih berkeliaran di kampus. Tentunya adanya dia membikin trauma korban dan ketidaknyamanan mahasiswi lain. Kalau dia dimutasikan soal lain,” ujar Masruchah kepada detikX.

Menurut mantan Ketua Sub Komisi Pendidikan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan ini, pihak kampus harusnya mendiskusikan sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku dengan komunitas penyintas maupun dengan civitas akademik lainnya. Pemberian sanksi dapat merujuk kepada Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) yang diterbitkan Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama tahun 2019.

“Saya kira sanksi ini bisa didiskusikan melalui aturan-aturan kampus tersebut yang harusnya dikembalikan kepada korban. Karena melalui fakta lapangan korban itu traumanya sepanjang hidup,” katanya.

Masruchah, Sekretaris Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (Foto : Dok Pribadi)

Sementara itu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim pada awal 2020 sempat menyampaikan pendapat bahwa pelaku perundungan seksual yang terbukti bersalah harus dikeluarkan dari institusi. Pihaknya sedang mencari instrumen yang tepat untuk menyelesaikan masalah itu di perguruan tinggi di bawah Kemendikbud-Ristek.

Kemudian muncul wacana dari Kemendikbud-Ristek tentang pembentukan peraturan untuk mencegah kekerasan seksual di kalangan kampus. Hal tersebut diutarakan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek, Nizam. Dimintai konfirmasi kembali, Nizam mengatakan aturan tersebut hampir rampung. “Kementerian sudah menyusun Permendikbud-Ristek tentang antikekerasan seksual di PT (perguruan tinggi). Insyaallah dalam waktu dekat akan terbit,” kata Nizam kepada detikX.


Reporter: Andhika Dwi Saputra (Kediri), Fajar Yusuf, Rani Rahayu, Irwan Nugroho
Penulis: May Rahmadi, Irwan Nugroho
Editor: Irwan Nugroho 

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE