INVESTIGASI

Akhir Cerita Cendana
di Tanah Negara

TMII diambil alih negara setelah nyaris setengah abad dikuasai Keluarga Cendana. Terus merugi, tapi ada laporan yang menyatakan TMII surplus.

Ilustrasi : Istock

Senin, 12 April 2021

Plang putih tertancap dan berdiri tegap di area depan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Kamis, 8 April 2021. Plang itu adalah isyarat akan berakhirnya masa penguasaan dan pengelolaan Yayasan Harapan Kita milik Keluarga Cendana di TMII. “TAMAN MINI INDONESIA INDAH DALAM PENGUASAAN DAN PENGELOLAAN KEMENSETNEG.” Begitu tulisan pada plang tersebut.

Selama 44 tahun, Yayasan Harapan Kita mengelola TMII berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1977. Pemerintahan Joko Widodo mengambil alih pengelolaan itu berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Taman Mini Indonesia Indah. Jokowi menandatangani Perpres tersebut pada 31 Maret 2021.

Jokowi memerintahkan Kementerian Sekretariat Negara untuk mengambil alih penguasaan dan pengelolaan enam bidang tanah TMII dengan luas total 1.467.704 meter persegi, yang dikelola Yayasan Harapan Kita. Tanah seluas 146,7 hektare tersebut bersertifikat hak pakai atas nama Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Plang pengumuman dari Sekretariat Negara mengenai pengambilalihan pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita di TMII
Foto : Syailendra Hafiz Wiratama/detikcom

Saya dapat informasi bahwa setiap tahun Yayasan Harapan Kita itu menyubsidi antara Rp 40-50 miliar, dan pastinya tidak memberikan kontribusi kepada negara.”

Menteri Sekretariat Negara Pratikno mengatakan TMII adalah milik negara berdasarkan Keppres 51 Tahun 1977. TMII tercatat di Kemensetneg, yang pengelolaannya diberikan kepada Yayasan Harapan Kita. “Jadi Yayasan Harapan Kita ini sudah hampir 44 tahun mengelola aset milik negara yang tercatat di Kemensetneg,” kata Pratikno, Rabu, 7 April 2021.

Rencana pengambilalihan TMII ini sudah lama ada. Pemerintah melaksanakan rencana tersebut karena ada hasil audit keuangan dan hukum. Pada Mei 2017, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada atas permintaan Pratikno mengaudit perjanjian kerja sama terkait pengelolaan TMII menggunakan perspektif hukum perdata dan hukum administrasi negara. Sedangkan pada Januari 2021, Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit keuangan TMII.

Dari hasil audit itulah pemerintah Jokowi menilai perlu mengambil alih penguasaan dan pengelolaan TMII. Namun Kemensetneg tidak bisa menguasai dan mengelola TMII begitu saja. Pengambilalihan itu membutuhkan proses transisi selama tiga bulan.

Pratikno menjelaskan Yayasan Harapan Kita nantinya harus memberikan laporan pelaksanaan dan hasil pengelolaan kepada tim transisi. “Pengelolaan selanjutnya akan dibahas tim transisi,” kata Pratikno.

Tim transisi juga akan melakukan serah-terima pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita. Tim transisi bekerja di bawah arahan Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko.

Selama proses transisi, pemerintah melarang Yayasan Harapan Kita melakukan pergantian pengurus, direksi, dan manajemen tanpa persetujuan tertulis dari Menteri Sekretaris Negara. Anggota Keluarga Cendana menduduki posisi penting di yayasan tersebut, di antaranya Bambang Trihatmodjo (anak ketiga Presiden Soeharto) sebagai pembina, Siti Hardijanti Indra Rukmana (anak pertama) sebagai Ketua Umum, Sigit Harjojudanto (anak kedua) sebagai Ketua, dan Indra Rukmana (suami Siti Hardijanti/menantu Soeharto) sebagai Ketua Pengawas.

Berdasarkan dokumen legal audit Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada 2017 tentang perjanjian kerja sama TMII yang diterima detikX, para auditor memeriksa lima perjanjian kerja sama terkait TMII. Tujuannya adalah dijadikan acuan dalam perumusan kebijakan terkait pengalihan, penguasaan, dan pengelolaan, serta penetapan status kelembagaan TMII.

Siti Hardijanti Indra Rukmana, Ketua Umum Yayasan Harapan Kita 
Foto : Grandyos Zafna/detikcom

Lima perjanjian itu tentang Pengembangan dan Pengelolaan Among Putro Skyworld antara TMII dan PT Rekreasindo Global Utama, Pengelolaan Aeromovel antara TMII dan PT Millenia Wahana Kumala, Pengelolaan Pintu Masuk antara TMII dan PT Pranasakti Mandiri, Pengelolaan Teater 4 Dimensi antara TMII dan PT Mahaka Visual Indonesia, serta Pengelolaan Taman Renang Ambar Tirta antara TMII dan Pak Hun Young A Rum Architectural.

Dalam perspektif hukum administrasi negara, lima perjanjian tersebut dinilai tidak koheren dengan beberapa aturan hukum publik. Sebab, perjanjian tersebut ada ketika TMII belum benar-benar diambil alih negara meskipun TMII berstatus Benda Milik Negara. Karena itu, perjanjian-perjanjian tersebut sangat bernuansa hukum privat atau perdata.

Sedangkan dalam perspektif hukum perdata, para auditor menemukan tujuh problem utama dalam perjanjian-perjanjian tersebut. Pertama, terdapat inkonsistensi penyebutan dan kedudukan pihak pertama. Kedua, kurangnya alas hukum bertindak pihak kedua. Ketiga, kurang jelasnya ruang lingkup perjanjian.

Keempat, tidak jelasnya rumusan hak dan kewajiban sehingga merugikan pihak pertama. Kelima, pemberian hak milik ke pihak mitra yang merugikan TMII. Keenam, pengaturan penyelesaian sengketa yang sangat litigatif. Ketujuh, tidak jelasnya dasar perhitungan kontribusi, kompensasi, dan bagi hasil.

FH UGM memberikan tiga opsi kelembagaan pengelola TMII nantinya. Tiga opsi tersebut adalah badan layanan umum, pengoperasian oleh pihak lain, dan kerja sama pemanfaatan.

Selain masalah hukum, pemerintah menilai TMII memiliki masalah keuangan. Moeldoko menyebut TMII mengalami kerugian setiap tahun. “Saya dapat informasi bahwa setiap tahun Yayasan Harapan Kita itu menyubsidi antara Rp 40-50 miliar, dan pastinya tidak memberikan kontribusi kepada negara,” kata Moeldoko, Jumat, 9 April 2021.

Moeldoko tidak menjelaskan dasar pernyataan tersebut. Sementara itu, berdasarkan dokumen Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2019, TMII mendapat surplus sebesar Rp 330 juta dalam periode laporan yang berakhir pada 31 Desember 2019.

Namun Sekretaris Yayasan Harapan Kita Tria Sasangka mengakui memang tidak selamanya pemasukan TMII dapat mencukupi kebutuhan operasional. Dia mengklaim selama ini masalah kesulitan dana TMII dapat diatasi dengan bantuan dari Yayasan Harapan Kita. Bukan hanya untuk kegiatan operasional, bantuan tersebut digunakan untuk membiayai pengembangan TMII.

Keong Mas, salah satu wahana di TMII
Foto: Grandyos Zafna/detikcom 

Dengan kewenangan mengelola TMII selama ini, Yayasan Harapan Kita juga memandang telah memberi kontribusi terhadap negara. Kontribusi itu berupa anggaran pembangunan fasilitas baru, pengelolaan, perbaikan, perawatan, dan pelestarian TMII. Semua itu bukan miliki Yayasan Harapan Kita, tetapi jadi milik negara. “Sehingga, dengan demikian, Yayasan Harapan Kita tidak pernah membebani dan merugikan keuangan negara,” kata Tria, Minggu, 11 April 2021.

Upaya pemerintah mengambil alih TMII dari Yayasan Harapan Kita bertujuan untuk mengoptimalkan kontribusi terhadap negara, selain juga dalam rangka manajemen aset. Karena itu, upaya pengalihkelolaan TMII oleh Kemensetneg ini mendapat pendampingan dari Komisi Pemberantasan Korupsi.

Juru bicara KPK Ipi Maryati menjelaskan fungsi pencegahan korupsi memfokuskan pada upaya penertiban, pemulihan, dan pemanfaatan aset untuk kepentingan negara. “Karenanya, penting untuk memastikan aset dikuasai secara fisik oleh negara,” kata Ipi kepada detikX, Jumat, 9 April 2021.

KPK, Ipi melanjutkan, telah melihat Laporan Hasil Audit Keuangan Badan Pengelolaan dan Pengembangan TMII dalam Rangka Pengalihan Penguasaan dan Pengelolaan TMII pada 2017. Audit keuangan itu dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Laporan tersebut menyatakan Kemensetneg perlu melakukan penataan dalam pengelolaan aset di TMII.

Ketua tim transisi sekaligus Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara Setya Utama menjelaskan pemerintah masih berfokus pada proses transisi terlebih dahulu. Namun dia membenarkan ada wacana melibatkan badan usaha milik negara untuk mengelola bangunan dan aset lainnya di atas tanah TMII. “Ada beberapa BUMN yang core business-nya wisata,” kata Setya kepada detikX, Jumat, 9 April 2021.

Sementara itu, Badan Pengelolaan dan Pengembangan TMII sebagai pihak yang dibentuk Yayasan Harapan Kita untuk mengelola kawasan TMII selama ini masih memiliki kewajiban menjalankan kegiatan operasional. Kepala Bagian Humas BPP TMII Adi Widodo mengatakan menerima keputusan pemerintah mengambil alih pengelolaan TMII dan memastikan kegiatan TMII tetap ada seperti biasa selama tiga bulan ke depan.

Sekretaris Yayasan Harapan Kita Tri Sasangka (kiri) dan Direktur Utama TMII Achmad Tanribali Lamo saat jumpa pers mengenai TMII 
Foto : Afrizal/detikcom

“Untuk tiga bulan ini BPP TMII tetap ada. Saya nggak mau berandai-andai apakah nanti, setelah dibentuk pengelola baru, BPP itu masih ada atau ganti nama. Itu jangan tanya ke kami,” kata Adi kepada detikX, Sabtu, 10 April 2021.

Dia memerinci, sampai saat ini, ada sekitar 700 orang yang bekerja di TMII. Mereka berstatus sebagai karyawan tetap, kontrak, dan pekerja harian lepas. Selama pandemi COVID-19, Adi mengklaim, BPP TMII tidak mengeluarkan kebijakan pengurangan pegawai.

Dia berharap pengelola baru nantinya akan membawa kebaikan bukan hanya untuk TMII, tapi juga para pekerjanya. “Dari Bapak Mensetneg kemarin, kan, juga menjanjikan tidak ada PHK. Dari dirut kita juga menjamin itu. Tidak akan ada pengurangan pegawai,” kata dia.


Reporter: May Rahmadi, Syailendra H. Wiratama
Penulis: May Rahmadi
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE