INVESTUGASI

Undang-undang Pemakan Korban

Berusia 13 tahun, UU ITE dinilai perlu dilakukan revisi. Revisi UU ITE yang dilakukan pada 2016 dinilai tak membuat UU ini berhenti memakan korban dan menciptakan rasa ketidakadilan.

lustrasi : Luthfy Syahban

Senin, 1 Maret 2021

Johan Firmansyah, 17 tahun, harus mendekam di penjara selama 3 bulan tahun lalu. Dia harus merasakan pengalaman itu karena dirinya adalah pembuat grup di media sosial. Grup tersebut berisi anak-anak sekolah teknik menengah (STM). Polisi menganggap grup itu telah berkontribusi pada kekacauan demonstrasi penolakan terhadap omnibus law pada 2019 atau yang dikenal dengan sebutan aksi Reformasi Dikorupsi.

Johan masih ingat betul pengalaman tersebut karena dia tidak terima sebenarnya. Dia mengisahkan, pada awalnya, ide pembuatan grup itu muncul dari ide kepolisian sebelum adanya demo terhadap omnibus law. Polisi pun merespons positif ketika Johan membuat grup tersebut. Namun, semua berubah ketika wacana omnibus law menjadi pembicaraan banyak orang, termasuk anak-anak STM.

Kala itu, ada anak-anak STM membawa isu omnibus law ke grup yang Johan buat dan kemudian muncul pesan-pesan provokasi dari beberapa anggota grup. Polisi menilai pesan provokatif tersebut berpengaruh pada kekacauan demo Reformasi Dikorupsi. Sialnya, Johanlah yang dinilai bertanggung jawab.

Para pelajar melakukan unjuk rasa #STMMelawan untuk menolak sejumlah rancangan undang-undang di Gedung DPR, 25 September 2019
Foto : Ari Saputra/detikcom

“Bukannya menangkap provokatornya, kenapa malah saya yang ditangkap?” kata Johan kepada detikX, Rabu, 24 Februari 2021. “Saya buat itu bertujuan untuk silaturahmi agar tidak ada tawuran lagi. Polisi juga respect pas mengetahuinya. Responsnya positif.”

Pemerintah seharusnya mencabut seluruh pasal yang dinilai bermasalah dan rentan disalahgunakan akibat penafsiran yang terlalu luas.”

Yang membuatnya lebih tidak bisa menerima tudingan polisi itu adalah fakta bahwa dirinya sudah bukan admin grup tersebut. Memang awalnya dia adalah admin. Namun, ketika pesan provokasi demo omnibus law bertebaran, dia tidak lagi menjadi admin. “Ketika dikasih ke orang lain, itu disalahgunakan. Ada provokasi dari anggota untuk ikut demo, tetapi saya bukan admin lagi,” kata Johan.

Polisi menangkap Johan dengan tuduhan telah melanggar Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal tersebut berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Kuasa hukum Johan dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Saleh Al Ghifari, memandang perbuatan Johan tidak memenuhi unsur ujaran kebencian terhadap individu atau kelompok tertentu. Hakim pun berpendapat serupa dengannya kala itu. “Namun, di persidangan, hakim menganggap ada pelanggaran Pasal 160 KUHP. Jadi dia diputus dengan itu,” kata Ghifar—sapaan akrabnya.

Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berbunyi: “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Johan Firmansyah
Foto : Dok Pribadi

Pasal itu adalah dakwaan subsider dari jaksa penuntut umum terhadap Johan. Jaksa menuntut hakim agar memberikan hukuman 6 bulan penjara kepada Johan, tetapi hakim memutuskan untuk memberi hukuman 3 bulan.

“Sebenarnya putusan hakim ini banyak problem. Hakim tidak menjelaskan akibat perbuatan anak-anak ini sebagai admin. Hakim hanya mengaitkan dengan kejadian, tetapi orang yang rusuh dan korban kerusuhan tidak ada di persidangan. Jadi sumir juga,” kata Ghifar.

Namun, Ghifar menegaskan, sejak awal polisi memproses hukum Johan dengan tuduhan pelanggaran UU ITE. Karena polisi menilai lembaganya merupakan sebagian golongan, frasa ‘antargolongan’ di Pasal 28 Ayat 2 UU ITE dianggap terpenuhi.

Selain Johan, UU ITE juga memakan korban seorang mantan pekerja media Joseph Erwiyantoro. Joseph, yang puluhan tahun bekerja sebagai wartawan olahraga, sempat dijadikan polisi sebagai tersangka karena diduga telah melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Itu karena artikelnya di aplikasi media sosial berjudul ‘Banyak Semut Rangrang, Karyawan Lupa Digaji’ pada Juni 2020.

Pasal 27 ayat 3 UU ITE berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

“Aku sudah puluhan tahun nulis PSSI. Karena saya nulis di Facebook (dianggap) masuk UU ITE,” kata Joseph kepada detikX, Kamis, 25 Februari 2021. “Zaman sudah berubah, tapi Undang-undang ini masih kuno.”

Joseph bekerja sebagai Kepala Bidang Investigasi Indonesia Police Watch (IPW) saat ini. Polisi memprosesnya secara hukum karena ada laporan dari karyawan PSSI yang keberatan atas tulisannya, meski kemudian laporan itu dicabut dan proses hukumnya berhenti. Ketua Presidium IPW Neta S Pane memandang tulisan Joseph adalah sebuah kritik membangun demi persepakbolaan nasional. “Tidak ada kata-kata fitnah untuk pelapor,” katanya.

UU ITE diwacanakan untuk direvisi. Pemerintah telah membentuk tim untuk mengkaji revisi UU tersebut. 
Foto : Dok. Kemenko Polhukam

Sejak pertama berlaku pada 2008 dan mengalami revisi pada 2016, UU ITE telah memakan banyak korban. Catatan SAFEnet, sepanjang 2017 sampai 2019, polisi menyelidiki 2.623 kasus penghinaan terhadap tokoh/penguasa/badan umum, 1.397 kasus penyebaran hoaks, dan 840 kasus ujaran kebencian terkait SARA.

Masih dalam catatan yang sama, SAFEnet menghitung, selama berlaku, UU ITE lebih banyak digunakan oleh pejabat publik (kepala daerah, kepala instansi, menteri, dan aparat) sebagai dasar membuat laporan polisi untuk memidana orang. Selain pejabat publik, ada pula kategori orang awam, pengusaha, kalangan profesi (pengacara dan dokter), dan sisanya tidak jelas, yang menggunakan UU ITE.

SAFEnet menilai setidaknya Pasal 27 sampai 29 UU ini dapat disimpulkan sebagai pasal ‘karet’. Sebab, rumusan pasalnya tidak ketat dan tidak tepat, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum atau multitafsir.

Penerapan dan dampak sosial juga menjadi masalah. SAFEnet menilai ada ketidakpahaman dan penyelewengan terhadap hukum oleh aparat penegak hukum di lapangan. Pasal-pasal tersebut juga menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan, seperti ajang balas dendam, barter kasus, alat shock therapy, chilling effect (menebarkan ketakutan), dan persekusi ekspresi.

Presiden Joko Widodo menangkap rasa ketidakadilan dari berlakunya UU ITE. Pada pertengahan Februari 2021, Jokowi mengungkapkan keinginannya merevisi aturan tersebut. Dia akan meminta Dewan Perwakilan Rakyat merevisi UU ini bersama pemerintah. “Terutama untuk menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” kata Jokowi.

Sehari setelah pernyataan Jokowi itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate turut bicara mengenai wacana tersebut. Namun, bukannya merevisi UU, Johnny mengatakan pemerintah bakal membuat pedoman resmi penafsiran terhadap pasal-pasal di UU ITE.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai ada kekeliruan dalam sikap Johnny. Perwakilan koalisi, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, mengatakan, membuat sebuah pedoman interpretasi terhadap UU ITE bukanlah langkah yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. “Pemerintah seharusnya mencabut seluruh pasal yang dinilai bermasalah dan rentan disalahgunakan akibat penafsiran yang terlalu luas,” kata dia.

Menkominfo Johnny G Plate
Foto : Yogi/detikcom

Erasmus beralasan pengaturan mengenai tindak pidana kepada sebuah ekspresi seperti penghinaan, perbuatan menyerang kehormatan seseorang, dan ujaran kebencian yang tercantum dalam UU ITE sejak awal sangatlah samar pemenuhan unsur pidananya. Penilaiannya juga sangat bergantung pada subjektivitas penyidik Polri. Itu sebabnya, sulit membuat standar interpretasi yang tegas dan memiliki kepastian hukum.

“Pembuatan pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE merupakan langkah yang tidak menyelesaikan akar permasalahan. Justru malah berpotensi membuka ruang interpretasi lain yang tidak mustahil justru lebih karet dibandingkan pasal-pasal UU ITE sendiri,” kata dia.

Erasmus melanjutkan, ketentuan mengenai pemidanaan terhadap tindak pidana kepada ekspresi sendiri tidak hanya diatur dalam UU ITE. Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti dalam ketentuan mengenai defamasi (fitnah) dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, penodaan agama dalam Pasal 156a KUHP dan UU No 1 Tahun 1/PPNS Tahun 1965, serta tindak pidana menyebarkan berita bohong dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

Ketentuan pemidanaan terhadap ekspresi dalam berbagai peraturan tersebut juga, Erasmus menilai, memiliki permasalahan yang serupa, yaitu tidak adanya standar yang jelas dan sangat subjektifnya penilaian atas terpenuhinya perbuatan pidana tersebut. Karena itu, rencana pembuatan pedoman interpretasi terhadap UU ITE menjadi langkah keliru.

“Karena, dengan logika yang sama, seluruh ketentuan pemidanaan kepada ekspresi seharusnya dibuat juga pedoman yang serupa,” kata dia. “Namun langkah tersebut hanya akan mengulang logika yang keliru karena sejak awal sangat tidak mungkin mengukur pemenuhan tindak pidana kepada sebuah ekspresi.”

Kendati demikian, pemerintah mengklaim upaya revisi UU ITE akan tetap ada meskipun pemerintah hendak membuat pedoman penafsiran UU tersebut. Staf ahli Menkominfo Henri Subiakto mengatakan ada dua tim yang dibuat pemerintah. Satu tim untuk mengkaji kesalahan-kesalahan di lapangan, satu lagi tim untuk mengkaji pasal-pasal bermasalah di UU ITE dengan tujuan revisi.

“Revisi itu panjang,” kata dia. “Tim ini hanya menghasilkan rekomendasi dan substansi revisinya. Revisinya apa, pasal berapa, dan bagaimana.”


Reporter/Penulis: May Rahmadi, Fajar Yusuf
Penulis: May Rahmadi
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE