Ilustrasi: Edi Wahyono
Selasa, 24 Maret 2020Ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya dua pasien positif virus corona di Indonesia pada 2 Maret 2020, rasa khawatir langsung muncul di benak Fitri (bukan nama sebenarnya), seorang perempuan yang berprofesi sebagai perawat di Jakarta. Terlebih, Fitri bekerja di rumah sakit yang ditunjuk pemerintah sebagai rujukan utama pasien COVID-19. Kekhawatiran terbesar juga datang dari keluarganya, meski ada pula sebagian sanak-saudara yang sudah melarangnya berkunjung ke rumah mereka. “Keluarga menanyakan ‘ini gimana? Kamu sehat-sehat, kan? Makannya gimana?’” kata Fitri kepada detikX, Senin 23 Maret 2020.
Namun, kekhawatiran Fitri berangsung-angsur hilang. Sebab, dia dan rekan-rekannya sesama perawat sudah berpengalaman dalam merawat pasien serupa, seperti ketika virus flu burung mewabah pada 2007. Mereka harus merawat para pasien dengan memakai alat pelindung diri (APD) lengkap agar tidak terjangkit virus. “Jadi rasa khawatir itu Insya Allah lewat begitu saja. Ada Tuhan yang maha kuasa ini yang bisa menolong kita. Yang paling penting kita sudah tahu bagaimana cara mencegah penularan virus dan cara menggunakan APD lengkap. Itu benar-benar harus diperhatikan,” tuturnya.
Demi menjaga diri dari hal-hal yang tak diinginkan, Fitri masih harus menambahkan beberapa pengaman pada APD yang dikenakannya. Misalnya, saat mengenakan masker N-95, ia harus menambahkan plester pada sela-sela antara masker dengan kulit wajah supaya lebih rapat. “Itu kan aerosol ya, bisa dari udara (menular). Di sela-selanya itu kan pasti ada rongga. Makanya kita mengakalinya dengan kita plester seperti itu,” ucap dia.
Baca Juga : Adu Cepat Melawan Corona
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta.
Foto : Safir Makki/CNNIndonesia
Kalau memang mereka mau menghargai dan mencintai kami sebagai seorang perawat, tolong lah, ikuti apa imbauan dari pemerintah.”
Mengenakan APD selama berjam-jam di kala bertugas, tak dipungkiri Fitri, rasanya pengap luar biasa. Keringat bercucuran dan tubuh menjadi cepat merasa haus. Tidak hanya saat hendak menangani pasien corona, APD lengkap sudah harus dipakai para perawat sebelum pasien datang. Di dalam masa menunggu pasien itu, Fitri dan kawan-kawannya kadang terpaksa menahan lapar, bahkan sampai harus melewatkan makan siang.
Bila mendapatkan jadwal dinas malam, kondisi yang dihadapi perawat bisa lebih berat lagi. Setiap perawat yang habis masuk ruang isolasi dan kontak dengan pasien diwajibkan mandi. Dalam semalam, Fitri bercerita, perawat pasien COVID-19 bisa mandi dua hingga tiga kali. Biasanya, hal itu dilakukan pada pukul 00.00 WIB dan pukul 03.00 WIB. Karena harus mandi pada dini hari, banyak perawat yang menderita masuk angin.
Dia juga menceritakan bagaimana perawat dituntut untuk pintar-pintar menghadapi pasien virus corona dalam kondisi darurat bencana ini. Sejumlah pasien yang merasa tidak puas dengan pelayanan rumah sakit kadang mengeluarkan kata-kata yang kurang enak didengar. Seperti kejadian beberapa waktu lalu ketika seorang pasien positif corona warga negara asing tidak bisa menahan emosinya dan menumpahkan kata-kata penghinaan kepada perawat di rumah sakit tempat Fitri bekerja.
Namun, kadang rasa empati kepada pasien virus corona muncul dalam diri Fitri dan rekan-rekannya. Apalagi ketika pasien tersebut dalam keadaan kritis. Di masa-masa seperti itu, tidak ada keluarga atau teman yang bisa mendampingi si pasien kecuali para perawat. Ketika pasien tersebut tidak bisa bertahan dan meninggal dunia, jenazah langsung dimandikan oleh tim medis, dibungkus, dimasukkan ke peti jenazah, diantar ke rumah duka, dan kemudian dikuburkan tanpa boleh dibuka kembali.
“Kemudian kalau pasien itu kondisinya cukup buruk dan meninggal dunia itu kami sebagai perawat sedih, pasti itu. Keluarga pasien di saat masa-masa kritis pasien tersebut tidak ada yang bisa mendampingi, jadi ada rasa empati. Saya membayangkan bagaimana jika itu keluarga saya,” katanya.
Baca Juga : Virus Corona di Lingkaran Istana
Suasana unit isolasi di rumah sakit penyakit infeksi Sulianti Suroso
Foto : Firdaus Anwar/detikcom
Agar jumlah tertular penyakit COVID-19 tidak semakin banyak, Fitri berharap masyarakat mematuhi imbauan pemerintah. Yaitu menghindari tempat-tempat keramaian, tinggal di rumah, dan menerapkan social distancing. Penting pula menjaga kebersihan dengan rajin mencuci tangan. Jika masyarakat tidak bisa tertib, otomatis jumlah korban bertambah dan dampaknya adalah para perawat yang berada di garis depan. “Kalau memang mereka mau menghargai dan mencintai kami sebagai seorang perawat, tolong lah, ikuti apa imbauan dari pemerintah,” harap Fitri.
Harapan Fitri tidak boleh dipandang remeh. Posisi mereka yang berada di garis terdepan membuat tenaga medis, baik itu perawat maupun dokter, sangat berisiko terhadap virus COVID-19. Gubernur Jakarta Anies Baswedan pada 20 Maret 2020 mengungkapkan, di DKI Jakarta saja, 25 tenaga medis positif corona di mana 1 perawat meninggal dunia. Belakangan, diketahui enam dokter meninggal dunia setelah terpapar virus berbahaya yang berasal dari Wuhan, China, tersebut.
Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah, mengatakan, pihaknya belum mendapat data rinci mengenai tenaga medis di Jakarta yang terpapar virus corona itu. PPNI pusat sedang membentuk Satuan Tugas untuk mengumpulkan data secara online. Yang jelas, menurutnya, para perawat sudah totalitas bekerja menangani virus COVID-19 ini. Banyak dari mereka yang terpaksa beristirahat dengan baju full APD dan dengan AC yang dibatasi. Sebab, ruangan ber-AC sangat berpotensi menyebarkan virus. Pekerjaan perawat saat ini boleh dibilang overload. Selain sudah dikucilkan oleh keluarga dan tetangga, sebagian perawat juga menyadari bahwa mereka juga bisa membawa virus kepada keluarga. Alhasil, mereka tidak pulang dan menginap di rumah sakit selama berhari-hari.
“Secara pekerjaan rekan rekan perawat luar biasa bahkan ketika melebur dalam tugas lupa rasa takut. Teman teman perawat sudan totalitas, bahkan sudah lupa dengan keselamatan diri sendiri. Ada cerita, mungkin pernah dengar di satu kota ada perawat evakuasi pasien COVID-19 yang evakuasi dengan jas hujan, lalu helm motor dan masker seadanya,” kata Harif.
Presiden Jokowi di RS Darurat Penanganan COVID-19
Foto : Muclis Jr/Biro Pers Setpres
Satu hal yang harus selalu terjamin ketersediaannya saat ini bagi perawat, lanjut Harif, adalah APD. Sebab APD adalah satu-satunya alat yang bisa memberikan rasa aman bagi perawat saat menjalankan tugas. “Alat pelindung atau safety saat melayani pasien itu menjadi nomor satu. Ibarat perang tidak punya sistem pertahanan mati konyol. Kita enggak mau mati konyol. Makanya kita minta semua pihak menyiapkan itu,” katanya.
Presiden Jokowi memberikan insentif bagi para tenaga medis. Besarannya adalah dokter spesialis (Rp 15 juta), dokter umum dan dokter gigi (Rp 10 juta), bidan dan perawat (Rp 7,5 juta), tenaga medis lain (Rp 5 juta). "Kemudian akan diberikan santunan kematian sebesar Rp 300 juta. Ini hanya berlaku untuk daerah yang sudah menyatakan tanggap darurat," tutur Jokowi. Atas insentif itu, Harif mengatakan, sebaiknya pemerintah juga memberikan insentif suplemen. Saat ini pekerjaan perawat overload bahkan pekerjaan beresiko kematian. Jadi tentara sesungguhnya tenaga kesehatan,” kata dia.
Reporter: Syailendra Hafiz Wiratama
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban