INVESTIGASI

Puzzle Rusuh 22 Mei

Mengapa Anakku Dibilang Perusuh

“Saya tidak mau kasus ini seperti kasus Munir, kasus Trisakti, semua kasus-kasus itu tidak ada kejelasannya."

Almarhum Muhammad Harun Al Rasyid.

Foto : 20Detik

Selasa, 25 Juni 2019

Dua helai foto berbingkai warna putih terpajang di dinding rumah Didin Wahyudin, yang terletak di Kelurahan Duri Kepa, RT 09 RW 10, Kecamatan Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Senyum Harun Al-Rasyid, anak laki-lakinya, tampak tersungging di kedua foto berukuran sedang tersebut. Remaja yang baru berumur 15 tahun itu tampil rapi dalam balutan baju koko dan peci.

Murni, istri Didin, sampai detik ini masih tak percaya jika anak keduanya itu sudah tiada. Huru-hara yang terjadi di Jakarta pada 21-22 Mei 2019 telah merenggut nyawa Harun. Harun menjadi satu dari sembilan korban tewas akibat rusuh pascademo Pilpres 2019 di depan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Ia tertembak peluru tajam di bawah fly over Slipi, Jakarta Barat, pada 22 Mei.

Murni mengenang Harun sosok remaja yang suka ‘ngisengin’ ibunya sekaligus manja. Meski sudah besar, Harun suka minta disuapi saat makan. Sekalipun perutnya sudah lapar, Harun tak akan makan jika tidak disuapi ibunya. “Saya sayang banget sama Harun. Sayangnya melebihi nyawa saya sendiri,” tutur Murni dengan mata berkaca-kaca saat ditemui detikX di rumahnya, pekan lalu.

Suasana kericuhan antara demonstran yang menggelar aksi unjuk rasa dengan aparat kepolisian yang berjaga di sekitar kawasan gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (22/5/2019).
Foto : Adhi Wicaksono/CNN Indonesia


Kok anak saya dibilang perusuh? Saya tidak terima. Sekarang dilihat saja. Anak saya secara usia baru 15 tahun. Dalam politik dia nggak ada hak. Kalau memang polisi menganggap anak saya perusuh, apa perlu dia ditembak? Anak kecil ibaratnya kita jewer saja disuruh pulang, dia pulang. Nggak harus ditembak.”

Kenangan yang tak bisa dilupakan Murni adalah ungkapan Harun beberapa hari sebelum meninggal. Harun yang masih duduk di kelas 1 Sekolah Menengah Pertama Islam Assa’adatul Abadiyyah Tanjung Duren bilang punya cita-cita menjadi seorang pengusaha. “Ma, Nanti Harun mau masuk SMK soalnya mau jadi pengusaha. Harun nggak mau hidup keluarga kita begini terus,” ucap Harun seperti ditirukan Murni.

Didin mengisahkan, ia terakhir kali bertemu Harun pada 22 Mei siang. Saat itu Harun yang berjalan kaki pulang dari sekolah mendatangi bengkel tempat kerjanya. Jarak SMP Assa’adatul Abadiyyah dengan bengkel Didin memang hanya 1 Km. Harun yang biasanya pulang-pergi ke sekolah berjalan kaki minta diantar pulang dengan sepeda motor. “Mungkin dia sedang lemas atau malas berjalan kaki karena sedang berpuasa,” kata Didin.

Setibanya di rumah, setelah mengganti baju seragam dengan kaos dan celana pendek kotak-kotak berwana hitam-putih, Harun mengajak keponakannya yang masih kecil membuat layang-layang. Murni sempat melihat anaknya itu berada di dapur sedang sibuk menyerut bilah bambu. Karena mengantuk, Murni lebih memilih tidur siang di kamarnya yang berada di lantai dua.

Selepas Ashar, ia terbangun mendengar Harun berteriak-teriak meminta uang jajan. Tanpa berkata-kata, Murni merogoh uang pecahan Rp 5 ribu dan diberikannya kepada Harun. Setelah diberi uang, Harun tak berucap apa-apa lagi. Cuma terdengar langkah Harun menuruni anak tangga.

Petang hari saat buka puasa, Didin yang telah pulang ke rumah menanyakan keberadaan Harun. Dijawab istrinya mungkin Harun menginap di rumah teman. Didin pun tak bertanya lagi, karena Harun biasa menginap di rumah temannya. Apalagi Didin tahu kalau besok sekolah-sekolah di kawasan Slipi-Kebun Jeruk diliburkan karena khawatir dampak kerusuhan.

Didin Wahyudin, ayah dari Harun Al-Rasyid
Foto : Martahan Sohuturon/CNN Indonesia

Setelah salat tarawih, Didin menonton televisi hingga pukul 21.00 WIB. Karena bosan, dia pergi ke kedai kopi yang tak jauh dari rumahnya. Didin tak memiliki firasat atau rasa khawatir apapun. Padahal saat ia menyeruput kopi itulah Harun diperkirakan tertembak dan dievakuasi ke Rumah Sakit Dharmais. Harun tertembak di lengan kiri hingga tembus ke dada di bawah fly over Slipi.

Rasa was-was Didin baru muncul pagi harinya, Kamis 23 Mei, pagi, saat kembali bekerja di bengkel. Setiap jam ia menelepon istrinya menanyakan kabar Harun. Sepulang kerja, ia dan istrinya mencari-cari Harun di setiap gang dan rumah teman-teman anaknya itu, namun tak juga kunjung menemukan titik terang.

Hingga akhirnya Didin memposting berita kehilangan disertai foto Harun di grup-grup WhatsApp. Tidak lama, kerabatnya ada yang membalas. Kerabat itu juga menyertakan link video yang menampilkan seorang remaja sedang dievakuasi menggunakan ambulans dengan kondisi sekujur tubuh penuh darah dan luka.

“Wajahnya memang sangat mirip, tapi saya belum terlalu yakin itu anak saya, karena ada perbedaan di rambutnya. Anak saya berambut lurus sedangkan anak di video itu berambut ikal,” terang Didin.

Kepastian meninggalnya Harun baru didapat pada pukul 23.00 WIB. Saat itu Didin menerima telepon dari para relawan yang mengevakuasi Harun ke rumah sakit. Setelah relawan yang berjumlah lima orang itu datang ke rumah Didin dan mencocokkan data, barulah ia yakin korban tewas yang ada di video itu adalah anaknya, Harun.

Dalam kekalutan, Didin minta tolong ayah dan adiknya menggambil jenazah Harun. Informasi dari relawan, jasad Harun telah dipindah ke RS Polri Kramat Jati. Dini hari itu juga pihak keluarga segera mengambil jenazah Harun. Setelah melewati proses yang panjang, akhirnya jenazah bisa dibawa pulang pada pukul 09.00 WIB, 24 Juni 2019.

Massa melempari petugas kepolisian saat kerusuhan di Jalan Tol Dalam Kota, kawasan Slipi, Jakarta, Rabu (22/5/2019).
Foto : Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO

Satu bulan sudah peristiwa kelam itu terjadi, Didin masih memendam rasa kekecewaan terhadap penuntasan kasus kematian anaknya. Dia juga merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah. “Yang warungnya hilang dijarah saja diundang ke Istana, tapi keluarga korban ini semua nggak ada yang diperhatikan. Terus terang saja saya kecewa. Sampai kapan pun saya akan terus menuntut keadilan. Sampai di manapun dan apapun resikonya saya akan terus maju. Perlakukan yang berbeda antara korban penjarahan dan korban yang mati ditembak, bagi saya tidak masuk akal.” kata Didin.

Hati Didin semakin tersayat-sayat ketika mendengar keterangan dari pihak Kepolisian kepada media bahwa korban-korban yang tewas akibat peristiwa 21-22 Mei diduga adalah pelaku kerusuhan. Massa demo Pilpres yang damai adalah yang ada di Bawaslu. Kabag Penum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Asep Adi Saputra pada 17 Juni 2019 menyatakan, pihaknya sudah memastikan kepada keluarga korban untuk memperkuat dugaan korban adalah bagian dari perusuh.

Didin mengaku sangat kecewa atas stigma perusuh yang dilabelkan terhadap anaknya selaku korban 22 Mei. “Kok, anak saya dibilang perusuh? Saya tidak terima. Sekarang dilihat saja. Anak saya secara usia baru 15 tahun. Dalam politik dia nggak ada hak. Kalau memang polisi menganggap anak saya perusuh, apa perlu dia ditembak? Anak kecil ibaratnya kita jewer saja disuruh pulang, dia pulang. Nggak harus ditembak,” kata Didin.

Didin berharap kasus kematian anaknya bisa segera dituntaskan. Pelaku penembakan bisa segera diadili dan dapat hukuman yang setimpal. “Saya tidak mau kasus ini seperti kasus Munir, kasus Trisakti, semua kasus-kasus itu tidak ada kejelasannya. Jadi tolong dengan sangat agar kasus kami juga tidak berakhir seperti itu,” harapnya.

Berbeda dengan Didin, Agus Salim, orang tua Muhammad Reyhan Fajari, 16 tahun, remaja yang juga menjadi korban penembakan kerusuhan 22 Mei, mengaku ikhlas dengan kejadian yang menimpa anaknya. Agus menganggap peristiwa itu sudah menjadi suratan takdir dan tidak akan menuntut pihak manapun.

“Saya tidak ada tuntutan pada pihak mana pun. Saya sih sudah ikhlas dan memang sudah menjadi takdirnya dia (Reyhan). Kita kan tidak bisa melawan takdir,” ujar Agus saat ditemui detikX di rumahnya, Kelurahan Petamburan, RT 10 RW 05, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, pekan lalu.

Agus Salim dan Nurhayati, kedua orangtua Muhammad Reyhan Fajari
Foto : Sunandi Mimo/20detik

Ia melanjutkan, Reyhan aktif sebagai remaja Masjid Istiqomah di dekat rumahnya. Ia Reyhan rutin mengikuti kegiatan rohani, kerja bakti membeesihkan masjid, panitia zakat, hingga pantia penggalangan dana untuk korban bencana alam. Begitu juga saat peristiwa 22 Mei itu. Sebelum meninggal karena tertembak di Jalan KS Tubun, Petamburan, 22 Mei pukul 03.00 WIB, Reyhan pamit pergi ke masjid untuk kerja bakti.

“Ketika dia sedang buang sampah, dia dengar ada ramai-ramai di depan (Jalan KS Tubun). Anak segitu kan mungkin dia penasaran. Mungkin Reyhan ingin tahu. Ketika situasi nggak kondusif memutuskan untuk balik kanan. Pas mau balik kanan itu katanya kena (tembak),” cerita Agus.

Nurhayati, istri Agus, juga mengaku sudah ikhlas atas nasib yang menimpa anak keduanya itu. Ada satu hal yang tidak bisa dilupakan Nurhayati dari anaknya, yaitu cita-cita Reyhan memiliki handphone. Sebelum meninggal Reyhan sempat bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Tanah Abang pada 21 Mei pagi untuk membeli handphone.

Agus juga mengenang anaknya yang hobi memasak. Reyhan paling jago membikin nasi goreng, sop, dan spageti untuk dimakan seluruh keluarga. Reyhan juga senang membuatkan masakan untuk teman-temannya di Masjid Istiqomah. “Jadi itu yang paling saya rindukan tentang Reyhan, masakannya,” kata Agus.

Juli nanti, sedianya Reyhan yang sudah lulus SMP bakal melanjutkan ke sekolah menengah atas. Menurut Agus, Reyhan punya keinginan untuk masuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Budi Utomo dengan jurusan komputer. Pada saat mengambil hasil ujian dan ijazah SMP, Agus diberitahu kalau nilai Reyhan sudah mencukupi untuk masuk SMK tersebut. Namun, takdir berkata lain.

“Harapan saya jangan sampai kejadian ini terulang. Untuk anak-anak lain kalau melihat kerusuhan atau apa lebih baik menghindar dari pada jadi korban,” pungkas Agus.


Reporter: Ibad Durohman
Redaktur: Deden Gunawan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

[Widget:Baca Juga]
SHARE