Unjuk rasa dilakukan pascpengumuman penetapan hasil rekapitulasi nasional Pemilu 2019.
Foto: Agung Pambudhy/detikcom
Senin, 24 Juni 2019Sebulan peristiwa kerusuhan yang menewaskan sembilan orang pada 21-22 Mei 2019 berlalu, namun hingga saat ini kasus penembakan terhadap para korban masih diselimuti kabut tebal. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sampai saat ini belum bisa menyimpulkan penyebab dan dugaan pelaku yang membuat warga yang, menurut polisi, perusuh itu tewas, sekalipun sebuah tim telah dibentuk dan telah mendatangi sejumlah titik terkait kejadian pascapemilu itu.
Bahkan, seperti yang diutarakan Amiruddin, Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, saat ditemui detikX pekan lalu di kantornya, Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, selama delapan bulan sebelum hari pencoblosan 17 April 2019, pihaknya sudah melakukan pemantauan. Seluruh provinsi telah didatangi untuk melihat secara langsung proses tahapan pemilih serta apakah hak pemilih bisa terlaksana atau tidak.
Sebelum meletus kerusuhan 22 Mei 2019, Komnas HAM juga melakukan serangkaian penyelidikan terkait kematian ratusan personel Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) beberapa hari usai pencoblosan pileg dan pilpres serentak. “Kami juga turun dan langsung berkomunikasi dengan anggota keluarga korban. Hasil temuan itu telah kita komunikasikan dengan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu.”
Baca Juga : Sinar Laser Merah di Gelapnya Petamburan
Misteri Peluru Tajam 22 Mei
Video : 20detik
Itu juga penyidik sedang lakukan analisa secara komprehensif terhadap TKP. TKP di mana para korban yang diduga adalah sebagai pelaku perusuh ditemukan. Dari berbagai aspek akan dilihat, termasuk penyidik dari Polda Metro Jaya sedang mencoba mencari CCTV, di sekitar lokasi di beberapa TKP itu."
Begitu terjadi aksi demonstrasi di depan Kantor Bawaslu sejak 21 Mei, tim Komnas HAM juga diterjunkan. Apalagi ketika warga hingga larut malam terpantau masih bertahan, yang mengundang pengusiran petugas sehingga berakhir bentrokan pada Rabu dini hari, 22 Mei 2019. Amiruddin, yang juga menjabat Ketua Tim Pemantau Peristiwa 22 Mei Komnas HAM, menjelaskan, saat terjadi bentrokan antara massa pendemo dan polisi, dirinya dan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik bergegas ke sejumlah rumah sakit di Jakarta.
“Tadinya saya mau masuk ke tiap-tiap rumah sakit, tapi kan nggak bisa masuk. Yang bisa masuk hanya ke Rumah Sakit Tarakan, Rumah Sakit Budi Kemulyaan, dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Nah, di rumah sakit-rumah sakit itu kita bertemu dengan dokter-dokter yang menangani dan mewawancarai orang yang luka-luka,” jelas Amiruddin.
Dari hasil pemantauan di beberapa rumah sakit itu, Komnas HAM mendapat informasi pertama ada yang meninggal dunia dari seorang dokter di Tarakan. Banyak juga yang luka-luka yang umumnya mengalami patah tulang. Usai dari rumah sakit, Amiruddin berdiskusi dengan Ketua Komnas HAM dan tercetus keinginan untuk memperkuat tim supaya bisa mendalami potensi terjadinya pelanggaran HAM dalam peristiwa itu.
Maka, sejak 22 Mei dibentuklah Tim Pemantau Peristiwa 22 Mei yang sampai saat ini masih terus bekerja mencari informasi dan bukti-bukti. Penguatan tim Komnas HAM, menurut Amiruddin, telah sesuai dengan Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Dengan payung hukum tersebut, Komnas HAM bisa mengakses semua instansi atau semua pihak agar bisa memberikan informasi kepada Komnas HAM.
Untuk memperkuat pemantauan, lembaga tersebut mengerahkan empat orang anggotanya termasuk Amiruddin yang menjadi ketua tim. Selain itu Komnas HAM juga menggandeng tiga orang ahli di bidangnya, yakni Makarim Wibisono, Marzuki Darussman, serta Anita Hayatunnufus Wahid. Khusus Anita, dia ditugaskan mendalami media sosial untuk memantau suasana menjelang, saat, dan setelah kerusuhan 22 Mei.
Baca Juga : Gagalnya Rencana Pembunuhan Empat Jenderal
Amirudin, Ketua Tim Pemantau Kerusuhan 22 Mei Komnas HAM
Foto : Okta Marfianto/20detik.
Sebagai langkah awal, Komnas membuka hotline center yang menampung semua aduan terkait peristiwa tersebut. Progres laporan tersebut antara lain dengan mendatangi kembali sejumlah rumah sakit berdasarkan informasi yang masuk. Pemantauan yang dilakukan bukan hanya terhadap para pendemo yang menjadi korban, melainkan juga aparat yang turut berjatuhan dalam peristiwa 22 Mei.
Sejauh ini, dari informasi yang dikumpulkan dari Rumah Sakit Polri, total yang meninggal ada sembilan orang. Adapun terkait orang yang hilang berdasarkan laporan yang masuk ke Komnas HAM ada 70 orang. Laporan orang hilang tersebut masih didalami, sebab hilangnya orang-orang tersebut baru sebatas dugaan lantaran orang-orang yang dilaporkan hilang umumnya berasal dari luar Jakarta.
Sayangnya sampai sekarang penyebab kematian dan dugaan pelaku penembakan masih misterius. Akan tetapi, dari hasil penyelidikan sementara terhadap empat jenazah yang diautopsi di Rumah Sakit Polri Kramajati, diduga kuat korban meninggal akibat peluru tajam. Bahkan, sisa proyektil masih ditemukan di dua tubuh korban tewas atas nama Muhammad Reyhan Fajari, 16 tahun, dan Muhammad Harun Al Rasyid, 15 tahun.
Komnas HAM beralasan, lambatnya temuan lantaran sebagian yang tewas jenazahnya langsung diambil keluarga sehingga polisi tak sempat melakukan autopsi. Rumitnya menelaah tewasnya para korban juga disebabkan minimnya informasi dari rumah sakit. Kejadiaan berlangsung subuh, sehingga petugas rumah sakit hanya yang piket saja dan situasinya sangat chaos. Dokter dan perawat yang piket hanya konsentrasi menangani kondisi korban sehingga tidak sempat menanyakan siapa yang membawa korban ke rumah sakit serta di mana korban ditemukan terluka atau tertembak.
Untuk memperjelas di mana lokasi korban tertembak atau mengalami penganiayaan, kata Komnas HAH, merupakan tugas polisi. Namun menurut informasi yang masuk, ada yang ditemukan di dekat Rumah Sakit Pelni serta di bawah Flyover Slipi. Selain masih gelapnya lokasi penembakan, jenis peluru atau senjata yang menewaskan korban, seperti Harun dan Reyhan juga masih samar-samar.
Sementara informasi yang dirilis kepolisian, tempat kejadian perkara (TKP) penemuan 5 korban yang tewas berada di wilayah Petamburan, Jakarta Pusat. Sedangkan yang empat orang lainnya masih terus didalami lokasinya. "(TKP korban lain) saat ini sedang dalam proses (pencarian),” ujar Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Dedi Prasetyo, Rabu, 19 Juni 2019.
Selain itu polisi telah melakukan uji balistik terhadap peluru yang bersarang di tubuh para korban. Ada 3 peluru yang sedang diuji yaitu dua peluru dari korban tewas dan satu peluru dari korban selamat. Hasilnya, peluru-peluru itu berkaliber 5,56 milimeter dan kaliber 9 milimeter. "Namun demikian yang kaliber 9 milimeter itu tingkat kerusakan proyektilnya cukup parah karena pecah, sehingga untuk menguji alur senjata itu ada sedikit kendala," kata Dedi.
Dedi menjelaskan, tim masih melakukan pemeriksaan komprehensif karena proyektil peluru di tubuh korban penembakan itu rusak. Tim juga, akan mencari bukti lain untuk memeriksa senjata dan peluru yang digunakan saat rusuh 22 Mei. Yang paling mendesak juga, mencari siapa pelaku yang menggunakan senjata tersebut untuk menembakkan peluru dengan kaliber 5,56 dan kaliber 5 milimeter.
“Itu juga penyidik sedang lakukan analisa secara komprehensif terhadap TKP. TKP di mana para korban yang diduga adalah sebagai pelaku perusuh ditemukan. Dari berbagai aspek akan dilihat, termasuk penyidik dari Polda Metro Jaya sedang mencoba mencari CCTV, di sekitar lokasi di beberapa TKP itu," sebut dia.
Ditambahkannya, kaliber peluru yang bersarang di tubuh korban penembakan rusuh 22 Mei biasa digunakan oleh senjata milik TNI dan Polri. Namun, Dedi menjelaskan kaliber peluru tersebut lebih banyak digunakan untuk senjata rakitan. Ia pun menyebutkan serangkaian contoh penggunaan senjata rakitan oleh teroris.
Kericuhan terjadi antara demonstran yang menggelar aksi unjuk rasa dengan aparat kepolisian yang berjaga di sekitar kawasan gedung Bawaslu, Jakarta.
Foto : Adhi Wicaksono/CNN Indonesia
Dedi mengatakan, alur senjata rakitan itu sulit diidentifikasi sebab berbeda dengan alur senjata standar. Karena masih proses pendalaman, Dedi belum bisa memastikan asal usul senjata yang dipakai untuk menembak korban rusuh 22 Mei. Tim, menurut Dedi, harus melakukan pemeriksaan lanjutan untuk menentukan pemilik senjata itu.
Sementara itu, Komnas HAM tak mau buru-buru menyelesikan kasus ini. Sebab, untuk merangkai seluruh kejadian rusuh 22 Mei tidak bisa dilakukan secara serampangan. “Tantanganya adalah, karena perstiwa ini terjadinya kayak gitu, merangkainya puzzle-nya nggak bisa serampangan. Butuh kehati-hatian. Supaya kita bisa terang melihat soal ini. Kalau nggak sabar bisa tersesat melihat peristiwa ini. Makanya kita nggak bisa buru-buru karena informasinya kecil-kecil kan. Makanya harus kita rangkai,” pungkas Amiruddin.
Reporter: Ibad Durohman
Redaktur: Deden Gunawan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban