INVESTIGASI

Pemindahan Ibu Kota dari Sukarno sampai Jokowi

"Pak Roeslan pernah bilang bahwa Palangkaraya akan dijadikan ibu kota pengganti Jakarta."

Foto: Monumen pembangunan Kota Palangka Raya (dok detik.com)

Senin, 11 Juni 2019

Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, Belanda tetap ngotot Hindia Belanda adalah koloninya dan tak mau mengakui kedaulatan Indonesia. Belanda bahkan menandatangani perjanjian dengan Inggris yang disebut Civil Affairs Agreement. Isinya kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda tidak boleh diutak-atik oleh Sekutu dan Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda akan melaksanakan urusan administrasi pemerintahan sipil di negeri bekas jajahannya.

Berbekal perjanjian itu, Belanda memboncengkan serdadu NICA di bawah pimpinan Hubertus Johannes van Mook ke pasukan Sekutu. Mereka mendarat di pelabuhan Tanjung Priok pada September 1945. Datangnya pasukan NICA membuat kondisi Jakarta, ibu kota Republik, yang baru seumur jagung itu jadi tak menentu. Upaya pembunuhan dan penculikan terhadap sejumlah pemimpin Republik silih berganti terjadi.

Kondisi itu membuat Presiden Sukarno menggelar rapat terbatas pada 1 Januari 1946 malam di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta. Sejarawan dari Yayasan Bung Karno, Rushdy Hoesein, menyebut rapat tersebut diadakan untuk menyikapi kelanjutan Indonesia setelah Jakarta kemungkinan besar akan jatuh ke tangan NICA. Muncul usul agar petinggi negara diboyong ke daerah lain dan mengendalikan negara dari daerah itu. Daerah yang menjadi alternatif adalah Yogyakarta.

Sebelum pertemuan itu, Raja Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono IX mengutus kurir ke Jakarta. Sultan menawarkan kepada Presiden Sukarno untuk memindahkan ibu kota ke Yogyakarta. "Rapat malam itu memutuskan semua pejabat negara harus meninggalkan Jakarta. Sebelumnya memang Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirim utusan ke Jakarta. Utusan ini membawa surat untuk Presiden Sukarno yang berisi saran agar ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta," ujar Rushdy pada detikX beberapa waktu lalu.

Usul memindahkan ibu kota ke Yogyakarta disetujui peserta rapat. Lalu direncanakan perpindahan ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946 malam. Kepala Eksploitasi Barat, Sugandi, dipanggil Bung Karno. Bung Karno meminta Sugandi mempersiapkan sebuah perjalanan bersejarah. Setelah berdiskusi, diputuskan perjalanan tersebut menggunakan  kereta api. Esok harinya, Sugandi bersama kawan-kawannya dari unit Balai Jasa Manggarai menyiapkan delapan gerbong khusus.

Untuk memuluskan perjalanan, depo lokomotif Stasiun Jatinegara menyiapkan lokomotif C28-49. Lokomotif buatan Jerman ini merupakan yang terbaik pada masa itu. Mampu melaju dengan kecepatan 120 kilometer per jam. Tanggal 3 Januari, ketika matahari mulai tenggelam, lokomotif C28-49 dengan masinis Hoesein menjemput rombongan Presiden Sukarno di kediamannya. Perjalanan bersejarah itu berakhir di Stasiun Tugu, Yogyakarta, pada 4 Januari 1946 pagi.

Sejak saat itu pindahlah ibu kota Republik Indonesia ke "Kota Gudeg". Bung Karno sempat berpidato di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta untuk mengumumkan ke seluruh dunia bahwa ibu kota Pemerintah RI sudah pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Presiden Sukarno dan keluarganya menempati sebuah rumah bekas kediaman resmi residen Belanda yang kini dikenal dengan nama Gedung Agung.

Presiden Sukarno memotong rotan menandai peresmian kota baru Palangka Raya.
Foto : dok. via YouTube fIlm dokumenter Provinsi Kalimantan Tengah

Usia Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Republik tak lama. Belanda kemudian melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Yogyakarta dikuasai serdadu Belanda dibawah pimpinan Jenderal Simon Hendrik Spoor. Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta, serta sejumlah anggota kabinet ditangkap dan ditawan. Belanda juga mengumumkan Republik sudah berakhir. Namun Hatta masih sempat mengirimkan dua kawat atas nama pemerintah.

Kawat pertama pada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara dalam Kabinet Hatta yang sedang berada di Bukittinggi, Sumatera Barat. Sementara kawat kedua dikirimkan pada  Dr Sudarsono, LN Palar, dan AA Maramis di India. Isi kawat agar dibentuk segera pemerintah darurat di Sumatera atau pemerintah dalam pengasingan di India, sekiranya perjuangan dalam negeri gagal. Ternyata kawat pada Sjafruddin tak pernah sampai.

Untungnya Sjafruddin memang punya gagasan merintis pemerintahan darurat. Pada 22 Desember 1948, sejumlah tokoh Republik di Sumatera Barat berkumpul di Halaban, sebuah desa yang kini masuk wilayah Kabupaten Limapuluh Kota. Hari itu juga konsep pemerintahan darurat disiapkan. Rapat digelar dan tercetuslah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pusat pemerintahan kembali berganti. Namun karena Bukittinggi berkali-kali mendapat serangan Belanda, tempatnya berpindah-pindah di pedalaman. Bahkan pemimpin sipil dan militer di Jawa dan Sumatra tak tahu di mana pusat pemerintahan PDRI berada.

Agresi militer Belanda ke Yogyakarta itu menuai kritik dunia internasional. Belanda dipaksa kembali ke meja perundingan. Pada Mei 1949, Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen. Salah satu isinya mengembalikan pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta. Akhirnya Sukarno dan Hatta kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Sjarifuddin Prawiranegara pun mengembalikan mandat sebagai pemimpin pemerintahan darurat pada Bung Karno. Pusat pemerintahan juga kembali ke Yogyakarta.

Setelah itu posisi Yogyakarta sebagai ibu kota hanya dalam hitungan bulan. Sehari setelah peralihan kekuasaan secara resmi dari Belanda kepada Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), Bung Karno meninggalkan Yogyakarta.  Ia kembali menginjakkan kaki di Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia Serikat (RIS). Untuk pertama kalinya pula dalam kontitusi disebutkan letak ibu kota negara. Dalam pasal 68 Konstitusi RIS yang ditetapkan 14 Desember 1949 disebutkan, “Pemerintah berkedudukan di ibu kota Jakarta, kecuali jika dalam hal darurat pemerintah menentukan tempat yang lain.”

Wacana memindahkan ibu kota dari Jakarta tercetus saat Bung Karno berada di  Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada 17 Juli 1957. Saat itu Sukarno mengunjungi kota itu bersama Duta Besar Amerika Serikat Hugh Cumming Jr, Dubes Uni Soviet D. A. Zhukov, serta Sri Sunan Pakubuwono XVII. Presiden berada di Palangkaraya  untuk menancapkan tiang pancang bakal kota itu. Ia sempat berkata bahwa Palangkaraya yang artinya ‘Tempat Suci, Mulia dan Agung’ itu akan dijadikan Ibu Kota Negara.

Sayang ucapan Bung Karno itu tak terdokumentasi. Dosen Jurusan Arsitektur Universitas Palangkaraya, Wijanarka Arka menyebut hingga saat ini belum ditemukan bukti sejarah, baik berupa dokumen maupun audio visual yang berisi pernyataan Soekarno tentang Palangkaraya menjadi ibu kota negara. Namun, Wijanarka meyakini Sukarno mempunyai rencana besar terkait Palangkaraya. Apalagi pemindahan ibu kota ke Palangkaraya itu kerap disampaikan oleh menteri kepercayaan Sukarno.

Jakarta akhirnya tetap menjadi ibu kota di masa Presiden Sukarno
Foto : Rengga Sencaya/detikcom

Wijanarka menyebut Roeslan Abdulgani yang pernah menjabat menteri koordinator perhubungan rakyat sekaligus menteri penerangan pernah menyinggung soal pemindahan tersebut. “Pak Roeslan pernah bilang bahwa Palangkaraya akan dijadikan ibu kota pengganti Jakarta,” kata Wijanarka kepada detikX, medio 2017.

Alasan Sukarno memilih Palangkaraya, karena kota tersebut berada di tengah-tengah Indonesia. Selain itu, tanah yang tersedia masih sangat luas. Sukarno juga ingin menunjukan kepada dunia bahwa Indonesia mampu membangun sebuah kota baru. Bung Karno pun sudah menyiapkan grand design bagi Palangkaraya. Hal itu bisa dilihat dari desain kota, yang berubah dari rencana semula. Saat dicanangkan pada tahun 1957, desain kota masih sangat sederhana.

Kemudian muncul desain baru. Ada pola jalan mirip dengan jaring laba-laba. Di Jalan Yos Sudarso juga ada sebuah bundaran besar dengan sumbu delapan buah. Pola itu mirip dengan bentuk ibu kota Amerika Serikat, Washington DC. Pada tahun 1959 juga muncul sketsa sebuah bangunan besar penuh orang yang disebut-sebut dibuat oleh Sukarno. Bangunan itu difungsikan kantor gubernur. Apakah akan dilanjutkan sebagai Istana Negara, Wijanarka tak bisa memastikannya.

Di tahun yang sama, Sukarno kembali mengunjungi Palangkaraya untuk mengecek sejauh mana pembangunan kota tersebut. Namun kemudian kelanjutan rencana menjadikan Palangkaraya sebagai ibu kota meredup. Wijanarka menduga itu terkait dengan penyelenggaraan Asian Games pada 1962 di Jakarta. “Saya menduga seperti itu. Dan waktu itu jalan darat belum ada di Palangkaraya, masih sungai-sungai,” ungkap penulis buku ‘Soekarno dan Desain Rencana Ibu Kota RI di Palangka Raya’ itu.

Dalam buku sejarah resmi Palangkaraya yang diterbitkan pemerintah kota setempat menyebutkan Sukarno berperan dan memikirkan rancangan Palangkaraya. Namun, berdasarkan susunan tata ruang yang mirip Eropa, pengaruh dari Ir Van der Pijl lebih terasa. Van der Pijl sendiri merupakan asisten Tjilik Riwut ketika masih menjabat sebagai Residen di Kementerian Dalam Negeri. Van der Pijl sendiri yang merancang seluruh bangunan kantor Pemprov Kalimantan Tengah yang hendak dibangun itu.

Dalam sebuah wawancara yang terunggah di situs YouTube, Roeslan Abdulgani menceritakan bagaimana usaha Soekarno merealisasi rencana pemindahan ibu kota tersebut. Jakarta pada waktu itu dipandang sangat rentan terhadap kepentingan-kepentingan asing. Mulanya Sukarno menampung berbagai usulan ibu kota baru itu dalam rapat Dewan Nasional. Dalam rapat tersebut, muncul beberapa opsi calon ibu kota, antara lain Subang di Jawa Barat dan Yogyakarta. Nah, Tjilik Riwut mengusulkan kenapa tidak ke Palangkaraya saja.

Secara geografis, Palangkaraya terletak di tengah Indonesia. Memang infrastruktur transportasi belum memadai. Namun kalau dipindahkan ke Kalimantan Tengah, ibu kota tidak akan diganggu oleh kepentingan asing. “Ini gagasan Tjilik Riwut yang diterima seluruh Dewan Nasional, sehingga Bung Karno membentuk suatu panitia untuk menyelidiki itu. Anggotanya B.M. Diah (almarhum), Henk Ngantung dari Jakarta, dan beberapa wakil perdana menteri,” kata Roeslan.

Sukarno, ujar Roeslan, sangat tercengang oleh gagasan Tjilik Riwut itu. Presiden pun sangat tertarik dengan gagasan pemindahan ibu kota itu. Sebab, kalau melihat seluruh Indonesia, pusatnya memang berada di Palangka Raya. Roeslan sendiri pernah ditugaskan Sukarno ke Palangkaraya untuk meresmikan tugu yang waktu itu dikenal sebagai Tugu Dewan Nasional.

Presiden Joko Widodo
Foto : Istimewa

Menurut Sukarno, di situlah pusat ibu kota yang baru. Namun perlahan-lahan proyek ibu kota negara itu terlupakan.“Ini gagasan yang berani, sangat melihat ke masa depan. Tapi sayangnya, waktu itu ganti lagi kabinet-kabinet yang tidak memikirkan (perpindahan ibu kota),” ujar Roeslan, yang wafat pada 2005.

Cita-cita Bung Karno itu tak pernah terwujud. Pemerintahannya saat itu menghadapi sulitnya kondisi keuangan negara. Belum lagi pembangunan sejumlah bangunan mercusuar di Jakarta. Malah, pada pidato peringatan ulang tahun ke-437 Jakarta pada 22 Juni 1964, Bung Karno akhirnya menetapkan Jakarta sebagai ibu kota negara melalui Undang Undang Nomor 10 tahun 1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya Tetap Sebagai Ibu Kota Negera Republik Indonesia Dengan Nama Jakarta.

Gagasan pemindahan ibu kota kembali muncul era pemerintahan Orde Baru tahun 1990-an. Rencananya memindahkan ibu kota ke Jonggol, Bogor, Jawa Barat yang jaraknya 49-50 km dari Jakarta. Namun wacana itu juga tak jelas. kelanjutannya. Belakangan wacana itu menjadi permainan para pengusaha dan mafia tanah untuk menaikkan harga tanah di kawasan Jonggol.

Wacana kembali muncul di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2012. Beberapa daerah muncul sebagai alternatif ibu kota negara, yaitu Palembang (Sumatera Selatan), Karawang (Jawa Barat), Sulawesi Selatan dan Palangka Raya (Kalimantan Tengah). Tapi SBY lebih mendorong pengembangan Jakarta sebagai pusat bisnis ekonomi dengan nama The Greater Jakarta.

Belakangan Presiden Joko Widodo terlihat serius dalam upaya memindahkan ibu kota negara. Pada 29 April 2019, Jokowi dalam rapat terbatasnya memutuskan untuk memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa. Ia juga meminta agar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro memfinalisasi kajian pemindahan ibu kota itu.

Jokowi didampingi Bambang dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono sempat blusukan ke daerah calon ibu kota di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur pada pertengahan Mei lalu. Tapi belum diputuskan daerah mana yang bakal dijadikan pusat pemerintahan negara itu.

“Kajian ini akan kita finalkan pada tahun ini, sehingga keputusan lokasi kita juga harapkan bisa dilakukan tahun ini. Sehingga 2020 bisa dilakukan persiapan untuk pembangunannya maupun infrastruktur,” kata Bambang Brodjonegoro kepada detikX usai diskusi "Membedah Pemindahan Ibu Kota Negara" di Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Gedung Bina Graha, Jakarta, 13 Mei lalu.


Reporter/Penulis: Gresnia F. Arela
Redaktur: M. Rizal
Editor: Pasti Liberti Mappapa
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]
SHARE