INVESTIGASI

'DNA' Partai SBY dan 'Setan Gundul'

“Kalau mau keluar, ya keluar saja. Tidak usah menunggu 22 Mei kalau memang dasarnya ada tawaran jabatan.”

Deklarasi klaim kemenangan Prabowo pada 17 April 2019
Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom

Rabu, 8 Mei 2019

Benarkah Partai Demokrat (PD) dan Partai Amanat Nasional (PAN) bakal merapat ke kubu Joko Widodo dan Ma’ruf Amin? Terlebih, keunggulan perolehan suara pasangan capres-cawapres nomor urut 01 itu dalam Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) Komisi Pemilihan Umum terus bertengger di angka 56 persen.

Manuver Demokrat mulai terlihat dari pertemuan Komandan Komando Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 2 Mei 2019. Belum lagi pertemuan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dengan Jokowi di Istana Bogor pada 24 April 2019.

Banyak yang menafsirkan bahwa pertemuan itu sebagai tanda-tanda Demokrat dan PAN bakal menjadi bagian dari pemerintahan pada 2019-2024. Meski Demokrat menyatakan undangan Jokowi kepada AHY bersifat pribadi, spekulasi seperti itu tak bisa dihindari.

Hingga kini, baik Demokrat maupun PAN masih tetap menyatakan sebagai pendukung pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Kedua parpol itu pun mengaku setia di koalisi dan akan menyelesaikan tugasnya di Koalisi Adil-Makmur dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.

“Tidak ada perintah untuk keluar dari koalisi. Tidak ada amanat meninggalkan koalisi. Yang ada perintah menyelesaikan kewajiban moral politik Partai Demokrat hingga kontestasi pilpres ini selesai,” kata politikus Demokrat, Ferdinand Hutahaean, kepada detikX, Jumat, 3 Mei 2019.

Menurut Ketua Advokasi dan Hukum DPP Demokrat ini, pihaknya tetap melihat hasil akhir penghitungan suara di KPU. Bila KPU mengumumkan pasangan Prabowo-Sandi sebagai pemenang Pilpres 2019, Demokrat akan tetap berada di Koalisi Adil-Makmur untuk mengurus negara.

AHY diterima Presiden Jokowi di Istana Negara, 2 Mei 2019
Foto: Wahyu Putro A/Antara Foto

Namun, bila yang terjadi sebaliknya, Jokowi-Ma’ruf yang menang, kerja sama koalisi Demokrat dengan koalisi parpol pendudung Prabowo-Sandi bakal selesai. Demokrat akan kembali menjadi partai yang berdaulat dan mandiri dalam menentukan sikap.

“Apakah nanti tetap memilih sebagai partai penyeimbang di luar pemerintah atau diajak pemerintah bergabung di dalam pemerintahan, itu nanti akan ditentukan kemudian oleh Majelis Tinggi dan tentunya berdasarkan petunjuk Ketua Umum PD Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono),” jelas Ferdinand.

PAN juga menyatakan hingga kini patuh mengikuti hasil keputusan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV di Hotel Sultan pada 9 Agustus 2018. Salah satu keputusannya adalah mendukung Prabowo dalam Pilpres 2019. Semua unsur pimpinan hingga anggota PAN wajib mengikuti keputusan Rakernas itu.

“Pak Amin (Amin Rais), para mantan Ketua Umum, seperti Mas Tris (Sutrisno Bachir) dan Bang Hatta (Hatta Rajasa), maupun Ketua Umum sekarang, Bang Zul (Zulkifli Hasan), semuanya mengikuti keputusan Rakernas,” terang Wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN Dradjad Wibowo kepada detikX, Senin, 6 Mei 2019.

Dradjad menegaskan tak akan ada yang mengubah dukungan kepada Prabowo Subianto secara pribadi di PAN. Pindah dukungan hanya diputuskan melalui Rakernas. Bila ada satu atau dua elite PAN yang bersikap lain tanpa berteriak di media, itu adalah sesuatu yang wajar. “Tapi, jika sudah berteriak di media, itu namanya mereka tidak punya etika organisasi,” katanya.

Dradjad enggan mengomentari pertemuan AHY dengan Jokowi di Istana pekan lalu. Ia hanya menilai pertemuan itu memang sudah dirancang terlebih dahulu. “Sowannya AHY ke Jokowi merupakan hak AHY, hak Demokrat. Saya tidak akan berkomentar apa pun,” ucapnya singkat.

Andi Arief dan Prabowo Subianto
Foto: Hesti Rika/CNN Indonesia

Demokrat sendiri menjelaskan pertemuan itu merupakan undangan Presiden Jokowi kepada AHY. Agendanya diskusi tentang aneka masalah hangat yang saat ini muncul, seperti situasi negara dan pilpres. Namun dibicarakan pula bagaimana sikap Demokrat setelah KPU mengumumkan secara resmi hasil pileg dan pilpres.

Karena itulah, sebagai pemimpin dan tokoh politik di PD, AHY memenuhi undangan tersebut. “Itu kan yang ingin didengar oleh Jokowi sebagai presiden. Karena kewajiban Jokowi menjaga dan mengamankan bangsa ini. Menjaga kondusivitas keamanan dalam negeri adalah kewajiban Jokowi sebagai presiden,” jelas Ferdinand lagi.

Pertemuan AHY dengan Presiden Joko Widodo tentu saja menimbulkan kontroversi. Terlebih hubungan Demokrat dengan Prabowo-Sandi serta parpol koalisi selalu diwarnai dengan ketegangan dan tarik ulur. Demokrat sempat lama mengambil sikap dukungan kepada Prabowo sebagai calon presiden.

Selanjutnya, dalam penentuan cawapres pendamping Prabowo pada Agustus 2018, Wasekjen Demokrat Andi Arief sempat menuding adanya politik transaksional dalam terpilihnya Sandi sebagai cawapres. Sampai-sampai Prabowo disebut Andi sebagai 'jenderal kardus'. Masalah ini selesai ketika Prabowo-Sandi menyambangi SBY.

Kini, pascapilpres, Andi kembali menggoyang koalisi Prabowo-Sandi. Ia menyebut Prabowo telah dipengaruhi oleh 'setan gundul'. Sosok jahat itu menjadi pemasok data 62 persen klaim kemenangan Prabowo-Sandi dalam pilpres yang sangat menyesatkan. Sayangnya, Prabowo menempatkan diri di bawah pengaruh 'setan gundul' tersebut.

“Partai Demokrat hanya ingin melanjutkan koalisi dengan Gerindra, PAN, PKS, Berkarya, dan rakyat. Jika Pak Prabowo lebih memilih mensubordinasikan koalisi dengan kelompok setan gundul, Partai Demokrat akan memilih jalan sendiri yang tidak khianati rakyat,” begitu kata Andi di akun Twitternya, Andi_Arief.

Andre Rosiade
Foto: Ari Saputra/detikcom

Penyataan Andi membuat Ketua DPP Gerindra, partai besutan Prabowo, Andre Rosiade, kesal. Ia meminta agar para kader parpol koalisi Prabowo-Sandi tidak membuat komentar-komentar yang dapat menimbulkan polemik dan keresahan dalam koalisi. Apabila ada masukan, dia meminta agar dibicarakan dalam forum internal koalisi.

“Apalagi ada kawan di koalisi yang bilang kontrak kami hanya sampai tanggal 22 Mei. Kalau Pak Jokowi menang, kami akan pindah. Saya rasa juga tidak perlulah. Kalau mau keluar, ya keluar saja. Tidak usah menunggu 22 Mei kalau memang dasarnya ada tawaran jabatan,” kata Andre kepada detikX, Selasa, 7 Mei 2019.

Andre sengaja ingin bicara tegas karena pernyataan-pernyataan itu diangapnya sudah tidak sehat dalam berkoalisi. Tim BPN Prabowo-Sandi sedang bekerja merampungkan rekapitulasi suara serta mengumpulkan data-data kecurangan pemilu. Komentar yang aneh-aneh dari lingkup internal koalisi justru meresahkan dan melemahkan tim.

“Saya merasakan betul, para relawan yang dari awal fokus menjadi terganggu fokusnya di rekapitulasi berjenjang sekarang. Eh, terus ada yang bicara soal kontrak sampai 22 Mei, ini bicara setan gundul. Ini menghilangkan fokus dan semangat relawan yang sedang bekerja,” imbuhnya.

Namun, Andi dibela Jansen Sitindaon, politikus Demokrat lainnya. Menurut dia, bukan karakter Demokrat meninggalkan koalisi. Namun Demokrat juga anggota koalisi yang kritis terhadap berbagai kejanggalan yang ada di kubu Prabowo-Sandi. “Kami ini teman koalisi yang kritis, tapi bukan DNA kami untuk meninggalkan teman yang sedang bertarung,” kata Jansen.

Menurut Jansen, caleg Demokrat dari Dapil III Sumatera Utara, ia dan kader Demokrat juga telah habis-habisan mendukung Prabowo-Sandi dalam tujuh bulan ini. Karena itu, wajar bila Demokat melontarkan kritik terhadap apa saja yang terjadi di dalam koalisi Prabowo-Sandi.

“Saya bersama kawan lain dari Demokrat yang ditempatkan di gugus depan habis-habisan dukung Prabowo 7 bulan terakhir, yang risikonya itu langsung ke badan aku sendiri, sampai kemudian dibenci habis sama pendukung Jokowi di kampungku sana, sampai nggak lolos saya. Jadi kurang total apa lagi?” ucapnya.


Reporter: Gresnia F Arela
Redaktur: M. Rizal
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]
SHARE