Aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau terus dipantau dan dikaji, terutama setelah terjadinya tsunami yang diduga akibat longsoran di bawah laut dan masih terjadi hingga sekarang.
Foto: dok. Susi Air
Bertanyalah kepada warga yang hidup di sepanjang pesisir barat Banten tentang Gunung Anak Krakatau. Dari penduduk di Anyer hingga Tanjung Jaya di ujung selatan, kita jadi tahu bahwa mereka saban hari mendengar dentuman gunung itu. Sejak erupsi Gunung Anak Krakatau meningkat pada Juli 2018, dentuman mirip suara meriam itu bisa terdengar sembilan kali dalam semenit.
Jika malam tiba dan cuaca sedang cerah, lava pijar gunung yang berjarak 30 kilometer dari bibir pantai itu terlihat sangat jelas. Letusan kadang disertai kilat menyambar-nyambar di puncak gunung di Selat Sunda itu. Namun tidak sedikit pun takut dirasakan masyarakat pesisir Banten terhadap ancaman Anak Krakatau.
“Saya sampai umur 56 tahun belum pernah ada kejadian tsunami kayak begini. Kalau suara Gunung Anak Krakatau, terus tanahnya bergoyang, itu sudah biasa,” kata Aan Supriatna, 56 tahun, seorang petugas sekuriti Hotel Mutiara Carita Cottage di Jalan Raya Carita, Pandeglang, kepada detikX, Senin, 24 Desember 2018.
Mutiara Carita, hotel bintang lima di tepi Pantai Carita, terkena dampak sangat parah dari tsunami pada Sabtu, 22 Desember, malam. Puluhan orang yang sedang menginap di hotel tewas. Tsunami setinggi 3 meter itu disebabkan oleh longsor di lereng Gunung Anak Krakatau setelah rentetan erupsi.
Gunung Anak Krakatau dari Pos Pemantauan Kalianda, Lampung.
Foto: dok. Andi Suwardi
Bangun tidur melihat Anak Krakatau sedang ‘batuk-batuk’ juga menjadi keseharian Waryani, 33 tahun. Rumah pedagang ikan laut ini hanya berjarak 10 meter dari bibir pantai Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Pandeglang. Namun, sebelum tsunami menerjang pada malam Minggu itu, erupsi Kratakau sangat lama menarik perhatiannya. “Kelihatannya erupsinya lebih besar malam itu. Saya foto-foto letusannya dari sini. Merah, menyala,” kata Waryani, Senin, 24 Desember.
Gemuruh Anak Krakatau tidak hanya terdengar dari Banten, tapi juga sampai Lampung. Hanya, menurut Andi Suwardi, Kepala Pos Pemantauan Gunung Anak Krakatau Kalianda Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), suara letusan gunung tidak sekeras terdengar di Banten.
“Yang agak keras itu ke arah Banten, karena kan kondisi geografisnya tidak terlalu tinggi, cuma 30 mdpl (meter di atas permukaan laut). Kalau kita kan tinggi. Jadi mungkin tidak terlalu keras,” katanya kepada detikX, Jumat, 4 Januari 2019.
Sejak 26 Desember, Anak Krakatau dinaikkan levelnya ke Siaga. Masyarakat dilarang beraktivitas di radius 5 kilometer dari puncak gunung. Sebelumnya, larangan beraktivitas hanya 2 km dari puncak gunung. “Imbauan kepada masyarakat mengikuti arahan dari PVMBG untuk tidak mendekat dalam radius 5 km. Di antaranya tidak boleh mendekat ke Pulau Panjang, Pulau Rakata, Pulau Sertung, dan pulau lainnya yang ada di dekatnya,” ujar Kepala Subbidang Mitigasi Bencana Gunung Api Wilayah Barat PVMBG Kristianto kepada detikX, Kamis, 3 Januari 2019.
Hingga kini, gunung itu masih terus memuntahkan material yang ada di dalam perutnya. Berbagai material gas dan debu berwarna hitam, abu-abu, dan putih membubung ke angkasa. Air di sekitar pulau Anak Krakatau pun terlihat berwarna cokelat. Erupsi atau pelepasan material Anak Krakatau sempat terekam awak kapal patroli TNI Angkatan Laut yang melintas di sekitar pulau pada Kamis, 3 Januari 2019, pukul 16.30 WIB.
Ilustrasi Gunung Krakatau sebelum meletus pada 1883
Foto: dok. Getty Images
Video itu lantas diunggah Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho ke akun Twitter-nya. Sutopo menyebut, ketinggian semburan gas dan abu vulkanik sore itu mencapai 1.500 meter dari puncak kawah. Pada erupsi pukul 10.07 WIB, ketinggian abu vulkanik mencapai 2.000 meter dan pada pukul 12.03 WIB ketinggian abu vulkanik mencapai 1.600 meter.
“Selama pukul 12.00-18.00 WIB, terjadi 16 kali letusan, 5 kali embusan. Asap kawah bertekanan sedang dengan tinggi 300-2.000 meter dari puncak kawah,” begitu tulis Sutopo di akun Twitter, Kamis, 3 Januari 2019, pukul 22.33 WIB. Erupsi dalam intensitas yang nyaris sama terjadi pada Jumat, 4 Januari 2019.
Menurut Kristianto, erupsi Gunung Anak Krakatau saat ini memang relatif rendah dibanding kejadian pada 22-26 Desember 2018. Hanya, aktivitas vulkaniknya masih tinggi. Anak Krakatau adalah gunung api strato tipe A dan merupakan gunung muda yang muncul dalam kaldera, pascaletusan dahsyat Gunung Krakatau pada 1883.
Aktivitas erupsi Anak Krakatau pasca-pembentukannya dimulai sejak 1927. Saat itu tubuh gunung api masih di bawah permukaan laut. Tubuh Anak Krakatau kemudian muncul ke permukaan laut. Sejak saat itu hingga kini, Anak Krakatau berada dalam fase konstruksi atau membangun tubuhnya hingga besar. Pada September 2018, Anak Krakatau tingginya mencapai 338 meter dari permukaan laut.
Karakter letusan gunung ini adalah erupsi magmatik, berupa erupsi eksplosif lemah (Strombolian) dan erupsi efusif berupa aliran lava. Letusan terjadi pada 20 Juni 2016, 19 Februari 2017, dan 29 Juli 2018. Juga 22 Desember 2018, yang menyebabkan sebagian lereng gunung longsor sehingga memicu tsunami. Setelah kejadian yang terakhir itu, ketinggian gunung kembali menyusut menjadi 110 meter dari permukaan laut.
Citra satelit perubahan bentuk Gunung Anak Krakatau pascalongsor.
Foto: dok. Pusfatja Lapan
“Itu gradasi setiap naik, naik, dan naiknya itu merupakan suatu proses erupsi lagi. Erupsi lagi itu kan merupakan proses membentuk, juga membangun dirinya sendiri. Semakin hari semakin bertambah. Pada saat proses erupsi ini merupakan proses membangun,” terang Kristianto.
Dikutip dari BBC Indonesia, seorang ahli vulkanologi asal California, Jess Phoenix, sempat menyebut erupsi Anak Krakatau saat ini memasuki fase baru dan mematikan. Runtuhnya bebatuan gunung yang kemudian menimbulkan tsunami menjadi dasar analisisnya. Namun hal itu, menurut PVMBG, terlalu berlebihan. Letusan sekarang berbeda dengan letusan Gunung Krakatau pada 1883.
“Kita sering membandingkan dengan (erupsi) 1883. Bisa dibayangkan, (Gunung) Anak Krakatau itu kan 2 km ukurannya. La, sebelum 1883, itu ada tiga pulau yang bergandengan dan itu (Gunung Krakatau) ukurannya 12 kilometer. (Pulaunya) hilang," ujar Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratdomopurbo, 27 Desember 2018.
Reporter: Gresnia F Arela
Redaktur: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim