INVESTIGASI
Tsunami Selat Sunda
“Istigfar, Pak, cai teu bisa dilawan (istigfar Pak, air tidak bisa dilawan).”
Personel TNI Angkatan Laut mengevakuasi korban tsunami di Banten.
Foto: Ibad Durrohman/detikX
Kaweng berjalan limbung sambil dipapah adik iparnya saat tiba di Pos Pengamatan TNI Angkatan Laut Labuan, Jalan Pelelangan Ikan, Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Pandeglang, Banten. Salah satu personel TNI Angkatan Laut yang berjaga menyambut kedatangannya. Kaweng terlihat sangat letih. Matanya memerah karena kurang tidur.
Petugas TNI AL itu kemudian meminta Kaweng menuju teras samping pos untuk memeriksa jenazah yang tersimpan di kantong mayat. Saat kantong mayat itu dibuka petugas, kelopak mata Kaweng berkedut-kedut. Air matanya hampir saja tumpah. Namun laki-laki 54 tahun itu berusaha tegar. “Benar, Pak, ini anak saya, atas nama Najib alias si Hitam,” kata Kaweng, yang merupakan penduduk setempat, dengan suara parau di Pos Pengamatan TNI AL Labuan, Senin, 24 Desember 2018.
Di benak Kaweng, kematian anak balitanya itu menambah duka, tapi sekaligus menjawab kegelisahan selama dua hari ini atas nasib si Hitam. Sang istri, Kartini, meninggal saat tsunami terjadi pada Sabtu, 22 Desember, malam. Sedangkan si Putih alias Majib ditemukan selamat. Najib dan Majib adalah anak kembar yang kini berusia satu setengah tahun.
Ketika tsunami menerjang kawasan pesisir Desa Teluk sekitar pukul 21.45 WIB, Kaweng sedang bekerja di SPBU. Ia bekerja di SPBU yang khusus melayani nelayan itu sejak tiga bulan lalu. Malam itu, belum sempat mengisikan solar ke jerikan, Kaweng terkejut ketika melihat dari kejauhan datang gelombang air setinggi 6 meter disertai suara gemuruh.
Tanpa berpikir panjang, Kaweng segera berlari meninggalkan SPBU menuju rumahnya, yang berjarak sekitar 400 meter dari lokasinya saat itu. “Yang ada dalam pikiran saya saat itu cuma anak dan istri saya di rumah. Jadi saya lari sekencang-kencangnya untuk menyelamatkan mereka,” Kaweng bercerita.
Kaweng membawa jenazah anak balitanya menggunakan mobil pikap TNI Angkatan Laut untuk dimakamkan di Saketi, sekitar 30 km dari Labuan, Banten.
Foto: Ibad Durrohman/detikX
Sayang, langkah kaki pria paruh baya itu tidak mampu mengimbangi cepatnya laju gelombang air laut. Baru setengah perjalanan, Kaweng tergulung ombak. Air laut menyapunya. Saat Kaweng ingin kembali berlari menuju rumahnya, tangannya ditarik oleh salah satu warga.
“Istigfar Pak, cai teu bisa dilawan (istigfar Pak, air tidak bisa dilawan),” kata warga itu mengingatkan. Akhirnya Kaweng hanya bisa melihat dari kejauhan saat rumahnya diterjang tsunami dengan mata nanar.
Kaweng baru bisa menjangkau rumahnya dua jam kemudian saat air laut berangsur surut. Dia mendapati rumahnya sudah rata dengan tanah. Istrinya, Kartini, dan dua anak kembarnya, Najib dan Majib, hilang. “Saya mencari-cari sampai pagi, nggak tidur, tapi tidak ketemu,” ujar Kaweng dengan getir.
Saya bawa jenazah istri numpang angkot ke Saketi, bareng sama penumpang lain.”
Minggu, 23 Desember, pukul 07.00 WIB, Kaweng baru mendapat kabar bahwa salah satu anaknya, Majib atau si Putih, ditemukan warga. Saat ditemukan warga, si Putih tersangkut di got dan tertutup reruntuhan bangunan tidak jauh dari rumah Kaweng. Warga berhasil menemukan si Putih dalam keadaan selamat. “Jadi saat anak saya ditemukan itu, alhamdulillah, kondisinya selamat. Dia ternyata ditemukan karena warga mendengar suara tangisannya,” katanya.
Selang beberapa jam dari penemuan si Putih, Kaweng mendengar kabar buruk dari warga Desa Teluk: istrinya ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. “Jenazah istri saya ditemukan oleh warga sekitar 400 meter dari rumah. Istri saya tertimbun reruntuhan. Hari itu juga istri saya makamkan di Saketi, Lebak,” ucapnya. “Saya bawa jenazah istri numpang angkot ke Saketi, bareng sama penumpang lain.”
Setelah istrinya dikuburkan, pikiran Kaweng masih kalut karena si Hitam belum juga diketahui nasibnya. Seusai pemakaman istrinya, Kaweng kembali ke lokasi kejadian untuk mencari si Hitam. Titik terang akhirnya datang pada Senin, 24 Desember, siang. Dia diberi tahu warga bahwa ada personel TNI AL yang menemukan sesosok mayat balita di bawah pohon kelapa, yang diduga anaknya. Kaweng pun diantar ke Pos Pengamatan TNI AL Labuan untuk mengidentifikasinya.
Kaweng (berkaus putih) saat mengidentifikasi jenazah anaknya di pos TNI Angkatan Laut Labuan, Banten.
Foto: Ibad Durrohman/detikX
Setelah memastikan bahwa jenazah itu adalah anaknya, Kaweng berencana membawa anaknya itu ke Saketi, yang jaraknya sekitar 30 kilometer, menggunakan sepeda motor. Namun pihak TNI AL menyediakan mobil bak terbuka untuk membawa jenazah si Hitam untuk dimakamkan. Kaweng mendampingi jenazah sang anak di mobil bak terbuka itu.
Tewasnya istri dan anak Kaweng di Desa Teluk menambah daftar panjang korban bencana tsunami di Selat Sunda. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Senin, 24 Desember, mencatat 373 orang meninggal, 1.459 orang mengalami luka-luka, 128 orang masih dinyatakan hilang, dan terdapat 5.665 pengungsi yang tersebar di lima kabupaten di Banten dan Lampung.
Berdasarkan pantauan detikX sepanjang Senin, 24 Desember, tim gabungan masih terlihat berjibaku mencari korban tsunami. Tim SAR antara lain mencari korban di reruntuhan puing-puing di Jalan Carita-Labuan. Sebagian menyisir beberapa lokasi wisata yang terdapat banyak korban tewas, di antaranya di Hotel Mutiara Carita Cottage.
Reporter/Penulis: Ibad Durrohman
Editor: Irwan Nugroho