INVESTIGASI

Rel Si Gombar Pun 'Terkubur' Dana Desa

“Kalau hanya diganti per meter persegi Rp 250 ribu, mana cukup?”

Ilustrator: Edi Wahyono

Foto-foto: Ibad Durohman/DetikX

Kamis, 27 September 2018

Jalan selebar 2,5 meter dengan panjang 595 meter yang ada di Kampung Cibodas, Desa Keresek, Kecamatan Cibatu, Garut, Jawa Barat, baru saja rampung diperbaiki dalam sebulan ini. Namun jalan beralas semen yang memakan biaya Rp 210 juta melalui dana desa ini terancam dibongkar lagi. Pasalnya, PT Kereta Api Indonesia (KAI) bakal mereaktivasi jalur kereta api Cibatu-Garut itu.

“Nah, proyek itu baru dikerjakan bulan Agustus kemarin dan baru selesai. Masih ada yang belum selesai sekitar 108 meter. Jadi totalnya 700 meter lah. Saya bingung juga nih. Kita buat jalan itu, tapi seminggu lalu dapat informasi dari PJKA bahwa rel akan dipakai lagi," ungkap Herna Sukarna, Ketua RW 07, Kampung Cibodas, Desa Keresek, saat berbincang dengan detikX.

Herna menyesalkan tidak adanya sosialisasi lebih awal dari PJKA, Perusahaan Jawatan Kereta Api, yang kini berubah menjadi PT Kereta Api Indonesia (KAI). Sebab, jalan tersebut merupakan satu-satunya akses menuju Kampung Cibodas, yang ujungnya di jembatan kereta api Cikoang. Setelah jembatan itu, ada kampung bernama Loji.

"Kalaupun mau dibongkar buat jalan kereta itu baiknya bagaimana, ya? Seharusnya itu pihak KAI ada sosialiasi dulu. Sebab akses jalan ke kampung itu kan cuma bisa itu aja, ke sananya kan jembatan mati itu," sesal Herna.

Sudah tidak ada sosialisasi, tiba-tiba, menurut Herna, Jumat pekan lalu dirinya menerima surat dari PT KAI berisi pemberitahuan tentang penebangan pohon di sepanjang jalan Kampung Cibodas pada 28 September. Penebangan pohon secara mendadak itu dipercepat dari jadwal karena adanya kunjungan direksi KAI. Warga pun tambah marah.

"Dan untuk eksekusi itu tenyata yang menebang pohon itu malah warga karena katanya PT KAI buru-buru mau ada kunjungan direksi. PT KAI bilang ke warga 'tolong yang punya gergaji dan sinso potong sendiri pohonnya.' Karena katanya KAI ribet kalau bawa dari Bandung. Nah ketika kami tanya apakah ada ganti rugi kata orang KAI itu 'ngak ada ganti rugi.' Tambah marah warga," ucap Herna.

Kepala Humas Daops II PT KAI Joni Martinus mengatakan jalur kereta Cibatu-Garut sepanjang 19,3 kilometer menjadi prioritas reaktivasi empat jalur kereta di Jawa Barat. Sebelumnya, dalam pertemuan antara direksi PT KAI dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, terlontar rencana reaktivasi jalur kereta Bandung-Ciwidey, Banjar-Pangandaran, Rancaekek-Tanjungsari, dan Cibatu-Garut.

Proses reaktivasi rencananya dimulai Desember 2018 dan rampung pada 2019. Biaya yang dialokasikan untuk rute tersebut Rp 7,8 triliun. “Dari empat jalur utama ini, pada tahap pertama, yang akan kami kerjakan adalah rute Cibatu-Garut. Dan menurut pemerintah pusat (Kementerian Perhubungan), anggaran biayanya Rp 7,8 triliun,” ujar Joni kepada detikX pekan lalu di Bandung.

Jalan beton di atas rel di Kampung Cibodas, Desa Keresek, Cibatu, yang dibangun di atas rel memakai dana desa.


Jembatan kereta api di Kampung Cibodas, Desa Keresek


Sudut lain jalan di Kampung Cibodas yang dibangun menimbun rel kereta api.


Patok lahan rel kereta api masih tertanam di Kampung Cibodas.


Warga yang menempati lahan di atas jalur kereta menyadari dan mengaku siap jika sewaktu-waktu ditertibkan. Malah ada yang bertanya kapan waktunya supaya mereka bisa bersiap-siap pindah.”

Untuk keperluan tersebut, Daops II langsung menerjunkan tim Divisi Aset untuk melakukan pendataan. Data awal menunjukkan kondisi rel Cibatu-Garut masih fifty-fifty atau sebagian sudah menjadi bangunan atau permukiman warga, sebagian lain masih berupa persawahan.

Menurut Joni, setidaknya ada 1.330 warga yang mendirikan bangunan dan beraktivitas di jalur kereta Cibatu-Garut. Setelah dilakukan pendataan, rencananya PT KAI akan melakukan sosialisasi kepada seluruh warga, terutama soal rencana penggusuran.

Ditambahkan Joni, jika berdasarkan surat keputusan direksi PT KAI saat pembebasan lahan di jalur kereta cepat Jakarta-Bandung, besaran biaya untuk uang pindah warga Rp 250 ribu per meter persegi untuk bangunan permanen. Sedangkan untuk bangunan semipermanen Rp 200 ribu per meter persegi.

“Kalau aturannya tidak berubah, kita akan pakai. Nah, kalau aturannya tidak berubah, itu kita kan pakai SK direksi itu,” kata Joni.

Dari pantauan detikX, yang menyusuri jalur kereta Cibatu-Garut, memang sudah banyak rumah permanen yang berdiri. Bahkan Stasiun Kereta Garut saat ini berubah menjadi kantor ormas Pemuda Pancasila. “Kantor Pemuda Pancasila menyewa lahan kepada PT KAI,” tutur Tatang, 41 tahun, staf di Unit Penjagaan Aset Daops II Bandung, yang ditemui saat melakukan pengecekan lahan yang akan terkena dampak reaktivasi jalur kereta Cibatu-Garut.

Stasiun Pasar Jengkol yang bangunannya telah lapuk di sana-sini.

Tatang mengaku sudah melakukan pengecekan lapangan selama dua minggu. Dari pantauan sementara, kepadatan permukiman penduduk terdapat di Stasiun Garut. Pengukuran lahan dan bangunan yang berdiri di atas lahan kereta sudah dilakukan. Warga yang menempati lahan tersebut pun sudah diminta menunjukkan KTP serta surat perjanjian sewa lahan.

“Warga yang menempati lahan di atas jalur kereta menyadari dan mengaku siap jika sewaktu-waktu ditertibkan. Malah ada yang bertanya kapan waktunya supaya mereka bisa bersiap-siap pindah,” tutur Tatang.

Namun tidak semua warga sepakat dipindahkan begitu saja. Sebut saja Cecep, warga Kampung Loji, yang sehari-hari berwiraswasta di Cibatu. Kepada detikX, Cecep, yang memiliki rumah permanen persis di samping bekas jalur kereta, mengaku akan melakukan perlawanan jika uang pindah yang diberikan tidak sesuai.

“Saya baru beli rumah di sini Rp 30 juta dari Pak Jajang setahun lalu dan habis biaya untuk renovasi Rp 40 juta. Kalau hanya diganti per meter persegi Rp 250 ribu, mana cukup?” kata Cecep.

Dia berharap pemerintah tidak hanya menggusur, tapi juga menyiapkan lahan lain milik negara sebagai pengganti buat warga yang akan dipindahkan. Alasannya, mereka sudah tinggal di situ belasan tahun.

Eni Sugianti, warga Desa Keresek, Cibatu.

Lain lagi bagi Nanang, 42 tahun, warga Desa Pasir Jengkol, Wanareja, Garut. Dia tidak tahu harus berdemo atau pasrah saja. Namun dia hanya meminta usaha bisnis ayam potongnya, yang dibangun di samping Stasiun Pasir Jengkol, diperhatikan. “Saya ngutang-ngutang buat modal untuk bikin kandang ayam ini. Habisnya Rp 150 juta dan baru selesai 2016. Utangnya juga belum kebayar. Kalau benar jadi dirobohin bangunannya, sial saya,” ujar Nanang.

Uang ratusan juta rupiah dikeluarkan Nanang untuk membangun kandang ayam berukuran 70x8 meter berikut peralatan penunjang peternakan. Untuk sewa lahan, Nanang membayar Rp 1,5 juta per tahun.

Kegalauan yang sama dirasakan Eni Sugianti, 41 tahun, warga Desa Keresek, Cibatu. Ibu tiga anak ini tidak tahu harus pindah ke mana jika rumahnya terkena gusur. “Gimana atuh ya, Kang. Saya sama anak-anak saya gimana. Rumah saya dekat sepur (rel kereta) soalnya,” ujar Eni dengan mata berkaca-kaca.

Perempuan ini tinggal di lahan milik PT KAI sejak 2001 dengan membeli tanah garapan seluas 50 meter persegi dari Mang Otong, seorang pensiunan PJKA—sekarang berubah nama menjadi PT KAI. Eni pun masih ingat kereta api bernama Si Gombar yang melintas di desanya.

“Pas masih ada kereta itu, saya masih ingat. Pas bulan puasa itu untuk imsak dan buka puasa itu tandanya adalah kereta. Dari stasiun sudah terdengar guoong… guoong… guoong…,” ujar Eni mengenang.


Infografis: Luthfy Syahban

Sebelum dihuni warga, lahan-lahan bekas jalur kereta yang ada di Desa Keresek memang dikelola sejumlah pensiunan PJKA, seperti Otong dan Koko. Lahan-lahan tersebut ditanami singkong dan sawah. Lambat laun, karena pertumbuhan jumlah penduduk, penggarapan lahan-lahan itu pun dialihkan kepada warga dengan bayaran tertentu dan penggarap kemudian dikenai biaya sewa per tahun kepada PJKA dengan nilai yang beragam.

“Uang sewanya setahun Rp 100 ribu sesuai nilai jual objek pajak (NJOP) katanya. Ada yang Rp 62 ribu. Juga ada tuh tetangga saya itu karena tanahnya 120 meter, jadi per tahun kena Rp 230 ribu sewanya. Jadi beda-beda,” tutur Eni.

Eni, yang suaminya bekerja sebagai kuli bangunan di Kota Garut, pun berharap pemerintah memindahkan mereka ke lokasi lain (relokasi). Kalaupun pemerintah hendak memberi ganti rugi, ia berharap setidaknya nilainya cukup untuk memiliki hunian baru.

Sedangkan Ridwan, Ketua Badan Pemuda dan Olahraga Pemuda Pancasila Garut, mengaku siap menjalankan apa pun instruksi pemerintah. Sebab, markas Pemuda Pancasila yang menempati Stasiun Garut memang menyewa ke PT KAI. Jika pemerintah membutuhkan lagi bangunannya, tentu mereka harus pindah.

“Kita sewa sejak 2006. Saat itu Ketua PP dipimpin Haji Endang. Saya kurang tahu bagaimana ceritanya. Yang jelas, sewa ke PT KAI itu per tahun dan sewanya itu atas nama pribadi, bukan atas nama organisasi PP,” tutur Ridwan.

Kantor Pemuda Pancasila Garut yang menempati Stasiun Garut dengan cara menyewa. 

Dari pantauan detikX, arsitektur dan model Stasiun Kereta Garut masih sama seperti aslinya. Hanya warnanya yang berganti menjadi warna khas ormas Pemuda Pancasila. Adapun rel yang ada di sekitar stasiun sudah terpendam aspal, sebagian lagi sudah tertutup lantai pasar tradisional.

Soal sewa-menyewa lahan tersebut, Tatang mengatakan harga sewa lahan PT KAI memang berbeda, bergantung pada luas bangunan dan sesuai dengan NJOP. Uang sewa tersebut ditransfer ke rekening KAI di Bank Rakyat Indonesia.


Reporter: Ibad Durohman
Redaktur: Deden Gunawan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

[Widget:Baca Juga]
SHARE