Ilustrasi : Edi Wahyono
Melihat penampilan mereka, Abu Omar salah duga. Jika hanya melihat dari pakaiannya, orang mungkin bakal menyangka mereka adalah serombongan turis yang hendak melancong. Abu Omar pun tak punya pikiran bahwa rombongan itu adalah orang-orang yang baru pulang dari perang.
“Mereka mengenakan baju-baju yang keren, perhiasan berkilau melingkar di leher mereka,” Omar, penyelundup pengungsi yang biasa beroperasi di perbatasan Suriah dengan Turki, menuturkan kepada New York Times tiga bulan lalu. “Sepertinya mereka berusaha menyaru. Kalian tak akan menyangka bahwa mereka orang ISIS. Mereka membabat habis jenggot, tak berbicara sepatah pun bahasa Arab, dan menyembunyikan paspor dalam sepatunya.”
Dalam setahun terakhir, menurut Omar, makin banyak prajurit asing Negara Islam (ISIS) yang meninggalkan Suriah lewat perbatasan Turki. Kadang, menurut Omar, prajurit ISIS dari berbagai negara ini menggabungkan diri dengan rombongan pengungsi Suriah. Bahkan ada kalanya, untuk mengelabui pemeriksaan patroli perbatasan Turki, mereka menyaru sebagai perempuan.
Setelah lebih dari tiga tahun menguasai sejumlah wilayah di Suriah dan Irak, mengibarkan bendera hitam di sana, dan menebar teror di sejumlah negara, kini posisi ISIS justru makin terpojok. Satu demi satu wilayah yang dulu mereka klaim sebagai daerah kekuasaan ISIS, dari Raqqa di Suriah hingga Mosul di Irak, lepas dan direbut tentara Irak, Suriah, atau gerilyawan yang disokong Amerika Serikat dan tentara Kurdi. Hanya tinggal satu-dua wilayah sempit di sisi timur Sungai Eufrat, di bagian selatan perbatasan Suriah dan Irak, yang masih dikuasai ISIS.
Baca Juga : Mereka Lebih Berani Ketimbang Kombatan ISIS
Anak-anak ISIS
Foto : PBS
Tak lagi punya wilayah dan posisinya makin terjepit, ribuan prajurit ISIS yang datang dari pelbagai negara gelombang demi gelombang mulai meninggalkan Suriah dan Irak. Beberapa bulan lalu, Soufan Center, perusahaan konsultan intelijen keamanan asal New York, melansir hasil penelusuran mereka. Soufan Center bersama Global Strategy Network melacak jejak 5.600 mantan prajurit ISIS beserta keluarganya di Suriah dan Irak yang telah pulang kembali ke negaranya.
Dari 1.500 kombatan ISIS dari Turki yang pergi ke medan tempur Suriah dari 2014 hingga 2017, 900 orang di antaranya sudah pulang kampung. Demikian pula prajurit ISIS dari negara-negara Eropa. Ada 400 kombatan ISIS dan keluarganya yang sudah pulang ke Inggris, 271 orang kembali ke Prancis dan sekitar 300 prajurit pulang ke Jerman. Dari Indonesia, ada sekitar 50 orang pendukung ISIS di Suriah dan Irak yang telah kembali ke Tanah Air.
Meski sudah tercerai-berai, menurut Jenderal Paul J Selva, Wakil Kepala Staf Gabungan Militer Amerika Serikat, para prajurit ISIS masih tersambung lewat jaringan telekomunikasi. Itu sebabnya, para kombatan ISIS yang pulang ke negerinya ini masih berbahaya. “Pikiran bahwa para kombatan ISIS yang sudah bertahun-tahun terlibat dalam pertempuran di Suriah, pulang ke Paris atau Brussels atau Kopenhagen dan kembali bekerja sebagai penjaga toko, sungguh menggelikan,” kata Jenderal Selva, dikutip Washington Post.
ISIS memang sudah kehilangan wilayah. Ribuan prajuritnya sudah tertangkap dan tewas dalam pertempuran. Tapi kelewat dini untuk menyimpulkan bahwa kekuatan mereka sudah tandas tertumpas. Otso Iho, analis senior di Jane’s Terrorism and Insurgency Center, London, mengatakan ISIS hanya berganti strateginya. “Mereka beralih menjadi gerakan bawah tanah, menyebar ke daerah-daerah yang lebih aman bagi mereka, atau pulang ke negara asalnya,” kata Iho.
* * *
Pikiran bahwa para kombatan ISIS yang sudah bertahun-tahun terlibat pertempuran di Suriah, pulang ke Paris atau Brussels atau Kopenhagen dan kembali bekerja sebagai penjaga toko, sungguh menggelikan.”
Jenderal Paul J Selva, Wakil Kepala Staf Gabungan Militer Amerika SerikatAnak-anak ISIS
Foto : PBS
Belant Zulgayeva hanya bisa menatap dengan galau setiap kali melihat cucu-cucunya bermain di depan rumahnya di Chechnya, Rusia. Mereka, bocah-bocah itu, sangat irit bicara, tapi sangat aktif berlari, bersembunyi, kadang bergumul, berkelahi, dan saling pukul dengan ganas.
Bagaimana tiga bocah itu berkelahi hanya mengingatkan kembali dari mana mereka datang. Ketiga cucu Belant belum lama tinggal bersamanya. Mereka merupakan bagian dari rombongan anak-anak dan perempuan ISIS yang dipulangkan oleh pemerintah Rusia dari Irak dan Suriah.
Sejak Agustus 2017, pemerintah Rusia telah memulangkan lebih dari 100 perempuan dan anak-anak dari medan perang di Suriah dan Irak. Sebagian besar bocah itu merupakan saksi mata brutalnya perang di sana. Hadizha, 8 tahun, salah satunya. Bocah perempuan itu ditemukan petugas organisasi kemanusiaan menggelandang di jalanan Kota Mosul. Badannya penuh luka.
Dia pergi dari Chechnya ke Irak bersama ayah, ibu, dan tiga saudaranya. Ayahnya kemungkinan besar tewas dalam pertempuran mempertahankan Kota Mosul. Bagaimana nasib ibu dan tiga saudaranya, Zura, sang nenek di Chechnya, tak tahu kabarnya. “Aku tanya kepada Hadizha, ‘Apa yang terjadi?’, tapi dia tak mau bercerita banyak. Dia hanya bilang mereka ditembak,” ujar Zura kepada New York Times.
Meski kini Hadizha jauh dari baku tembak, anak itu sepertinya masih sulit melupakan apa yang dia lihat di Irak. Sepanjang hari, dia lebih banyak duduk meringkuk di sofa dan menonton film di televisi. Kadang tatap matanya kosong memandang kejauhan. “Dia hanya diam membisu,” kata sang nenek. Kali lain, seperti ada kemarahan membayang di matanya.
Anak-anak ISIS
Foto : BusinessInsider
Apa persisnya yang ada di kepala anak-anak keluarga ISIS itu siapa yang tahu. Seberapa jauh mereka kenal dengan ideologi ISIS juga tak diketahui persis. Pemerintah Rusia berharap, membawa pulang mereka akan menjauhkannya dari ISIS. “Apa yang mesti kami lakukan, meninggalkan mereka di sana dan membiarkan orang-orang itu merekrutnya?” kata Ziyad Sabsabi, senator asal Chechnya.
Tak semua orang yang pergi ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan ISIS datang dengan isi kepala yang sama. Ada yang datang untuk ikut berperang bersama ISIS, tapi ada pula yang tergoda dengan janji-janji ISIS. Ada pula perempuan yang pergi ke Raqqa di Suriah atau Mosul di Irak lantaran ikut suami. Tak sedikit juga anak-anak yang menyertai orang tuanya atau malah lahir di ‘negara’ yang diproklamasikan ISIS itu.
Di antara ribuan pengikut ISIS yang pulang kampung ke negara asalnya setelah ISIS babak-belur di Suriah, ada rombongan perempuan dan anak-anak itu. Kepala Kantor Keamanan Dalam Negeri Jerman memperingatkan, kendati perempuan dan anak-anak itu tak ikut berperang di Suriah, tak berarti mereka bisa dianggap sudah ‘aman’. “Ada anak-anak yang sudah dicuci otaknya dan teradikalisasi,” Hans Georg Maassen, Kepala Kantor Keamanan Dalam Negeri Jerman (BfV), memperingatkan seperti dikutip Daily Mail, Februari lalu. “Mereka sudah terpapar ideologi ISIS sejak dini, belajar berperang, bahkan dalam sejumlah kasus turut berpartisipasi dalam menyiksa tahanan.”
Bagaimana menghadapi dan memperlakukan prajurit ISIS dan keluarganya tak seragam di setiap negara. Bagi para kombatan ISIS, sikap Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda, dan Rory Stewart, Menteri Negara di Kementerian Kehakiman Inggris, bisa jadi gambaran. Ketimbang pusing, repot, dan cemas menghadapi mantan kombatan ISIS yang pulang ke negaranya, Perdana Menteri Rutte lebih suka melihat mereka mati di medan perang.
“Orang-orang ini merupakan bahaya bagi kita…. Sayangnya, satu-satunya cara untuk menangani mereka, dalam banyak kasus, adalah dengan membunuhnya,” kata Rory, dikutip BBC, beberapa bulan lalu. Penjara sudah menanti para kombatan ISIS jika mereka hendak pulang kampung di sebagian besar negara.
Anak-anak ISIS
Foto : Independent
Bagi para perempuan dan anak-anak, sikap pemerintahnya memang lebih lunak. Rata-rata negara Eropa, menurut Rik Coolsaet, peneliti senior di Egmont Institute, punya asumsi yang sama soal anak-anak yang baru pulang dari daerah perang ini, yakni bahwa mereka merupakan ‘korban’, dus bukan merupakan ancaman bagi keamanan.
Tapi Maassen berpendapat, anak-anak ISIS itu, juga para perempuan simpatisan ISIS, mesti terus diawasi. Dia mengusulkan revisi Undang-undang Jerman yang membatasi pengawasan terhadap anak-anak di bawah umur 14 tahun. Dia tak asal bicara tanpa fakta. Sepanjang 2016, ada beberapa kali pengeboman dan rencana teror di Jerman dengan pelaku anak-anak di bawah umur. “Kami menganggap sebagian anak itu sebagai bom waktu berjalan,” kata Maassen.
Redaktur/Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban