Ilustrasi: Luthfy Syahban
Jumat, 23 Maret 2018Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Aisah Susilawati bakal menginjakkan kaki di Aleppo, Suriah. Ia bukan hendak bergabung dengan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau relawan kemanusiaan. Aisah adalah perempuan polos asal Karawang, Jawa Barat, yang hendak mengadu nasib menjadi pekerja migran Indonesia.
Negara tujuan Aisah sebetulnya Sudan. Namun agen penyalur yang mengirimnya ke luar negeri membawa Aisah transit di Suriah, negara yang porak-poranda akibat perang yang berkecamuk. Aisah pun merasakan bagaimana situasi menegangkan di Aleppo.
“Genting banget. Saya takut. Situasinya itu… ramai bunyi kayak petasan. Itu mah bukan petasan, itu bom,” katanya kepada detikX, Rabu, 21 Maret 2018. “Ternyata saya diantar ke tempat yang perang. Apalagi pas tahun baru, pada sembunyi di dalam rumah. Banyak ambulans yang lewat,” ujarnya mengenang.
Aisah adalah salah satu dari 169 korban dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus pengiriman pekerja migran Indonesia ilegal ke wilayah Timur Tengah. Satgas TPPO telah membekuk dua anggota sindikat yang menyelundupan para pekerja migran tersebut.
Selama di Suriah, Aisah tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak boleh memegang alat komunikasi untuk memberi kabar kepada keluarga di kampung. Ia juga dipaksa bekerja pada sebuah majikan yang kejam. “Di sana itu sistem kerjanya masak sampai ke atap-atap (rumah) harus dicuci pakai pemutih,” ucap Aisah.
Seorang pemuda berlari menyelamatkan diri di tengah hujan bom yang dijatuhkan pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad di Aleppo, 2 April 2015.
Foto: Rami Zayat/Reuters
Dan ternyata gaji yang diterima tidak sebesar yang dijanjikan Mohammad al-Ibrahim, agen penyalurnya di Indonesia. Ia dijanjikan gaji Rp 4,5 juta per bulan, tapi kenyataannya hanya Rp 1,9 juta yang ia terima. Mohammad adalah warga negara Suriah yang ditangkap oleh Satgas TPPO.
Beruntung, Aisah tidak lama ditempatkan di Suriah. Ia kemudian diterbangkan ke Sudan. Namun penderitaan lain rupanya telah menanti. Di Sudan, ia mendapat perlakuan yang sama kejinya dari majikan baru bernama Priyal. Aisah harus bekerja dari pukul 08.00 hingga pukul 05.00 keesokan harinya. Saban hari.
Baru beristirahat sebentar, Aisah disuruh majikannya membersihkan unit apartemen milik tetangga. Itu berjalan sebulan. Lama-lama ia merasa sangat tersiksa. Karena itu, ia pura-pura izin membuang sampah dengan membawa kantong sampah berisi pakaiannya sendiri. Pada 4 Februari 2018, Aisah kabur ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Khartoum.
Belum sepenuhnya bebas, Aisah dipertemukan dengan majikan. Aisah justru dituduh mencuri uang US$ 8.000 oleh majikan. Namun, karena tidak bisa menunjukkan bukti, majikannya pun menyerah. Paspor Aisah yang sebelumnya ditahan akhirnya diserahkan. Pihak KBRI kemudian meminta suami Aisah di Indonesia membuat laporan ke polisi.
Selama 24 hari Aisah berada dalam perlindungan KBRI Khartoum bersama dua orang yang juga menjadi korban TPPO oleh sindikat Mohammad cs, yakni Yati binti Jajang Ohi dan Suci Murni. Pada 28 Februari, mereka dipulangkan ke Indonesia oleh KBRI Khartoum bekerja sama dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Mereka tiba di Jakarta pada 1 Maret.
Aisah Susilawati di kantor KBRI Khartoum
Foto: dok. KBRI Khartoum
Sebelum pulang ke Karawang, ia dimintai keterangan oleh Satgas TPPO. “Suami saya bilang, ‘Alhamdulillah.' Sekarang saya sudah sampai di rumah,” ucap Aisah sambil tak henti mengucap bersyukur.
* * *
Baru saja selesai berkenalan dengan mertua laki-laki majikannya, Yati binti Jajang Ohi langsung mendapat perlakuan tak menyenangkan. Dia dimandikan oleh anggota keluarga majikannya di Sudan tersebut menggunakan kain kasar, yang membuat kulit punggungnya terluka.
“Begitu tiba di apartemen, saya diperlakukan seperti binatang. Selesai perkenalan, dimandiin sama dia. Badan saya digosok pakai kain kasar yang biasa dipakai untuk nyuci piring sampai punggung lecet-lecet,” kata Yati saat ditemui detikX di rumahnya, Desa Sukamulya, RT 03/07, Sukaluyu, Cianjur, Jawa Barat, Rabu, 21 Maret 2018.
Yati tiba di Sudan pada 18 Januari 2018 setelah dari Surabaya menempuh perjalanan dengan transit di berbagai negara. Di Bandara Khartoum, sekitar 30 menit perjalanan dari apartemen, ia dijemput oleh mertua majikannya, yang memperlakukannya secara tidak manusiawi tersebut.
Sekitar sebulan menjadi asisten rumah tangga keluarga Mohamad Bakrie dan istrinya, Madam Jasmin, siksaan fisik dan tekanan batin selalu diterima Yati dari mertua majikan, yang biasa dipanggil Jedoh, maupun dari Madam Jasmin sendiri.
Yati pun menunjukkan bekas luka di punggungnya. Luka memanjang itu masih terlihat cukup jelas. Luka tersebut, menurut Yati, kering dengan sendirinya tanpa upaya pengobatan dari sang majikan.
Yati binti Jajang Ohi di kampungnya, Desa Sukamulya, Sukaluyu, Cianjur, Jawa Barat
Foto: Syahdan Alamsyah/detikcom
Selama bekerja, Yati hanya beristirahat 3 jam. Dia baru diperbolehkan tidur sekitar pukul 02.00 waktu setempat, lalu bangun sekitar pukul 5 pagi dan mengurusi dua anak majikannya yang bersekolah. "Saya tidur di kursi ruang tamu. Di apartemen itu hanya ada dua kamar. Satu kamar diisi oleh Madam, satu lagi diisi anak-anaknya dan mertuanya,” katanya.
Tidak hanya beres-beres, Yati juga disuruh mencuci tiap sudut apartemen, mulai dinding, plafon, hingga balkon. Bila masih ada jejak kotoran yang tertinggal, ia disuruh mengulang dari awal. Bahkan dia disuruh membersihkan unit apartemen teman majikannya.
Yati nyaris saja menjadi korban pelecehan seksual Jedoh. Ia selalu disuruh tidur dengan pakaian ketat di ruang tamu. Suatu malam, ia dibangunkan dan diajak berbuat tidak senonoh. “Saya menolak. Dia juga sering pegang-pegang saya," ujar Yati begidik.
Semua perlakuan buruk itu baru berhenti ketika majikan laki-lakinya berada di apartemen. Menurut Yati, sifat dan sikap majikan laki-lakinya itu jauh berbeda. Ia jarang berada di apartemen karena urusan pekerjaan. "Dia baik, sering nanya kabar, terus nanyain bagaimana sikap istrinya. Saya bilang saja baik, karena saya takut," tuturnya.
Ia pernah mengadukan penyiksaan tersebut kepada Mohammad. Namun Mohammad malah melaporkannya kepada majikan. Alhasil, Yati dilarang menggunakan telepon. Beruntung, majikannya tidak tahu nomor ponsel Indonesia yang dibawanya bisa dipakai, sehingga ia bisa mengabarkan segala sesuatu kepada suaminya di Cianjur.
Karena tidak tahan lagi, Yati berniat kabur. Kesempatan pun tiba. Ia tahu kebiasaan Madam Jasmin pergi malam dan pulang pagi untuk berjudi. Pintu apartemen selalu dikunci dari luar. Nah, suatu hari, perjudian itu digelar di unit milik majikannya. Yati pun keluar dan berlari menjauh dari apartemen.
"Di lantai bawah, ada petugas keamanan sedang duduk. Dia nggak curiga pas saya jalan. Mungkin dia mengira saya sedang apa karena saat itu banyak orang yang memang keluar-masuk apartemen," kata Yati.
Yati bingung bagaimana caranya mencapai kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia Khartoum. Apes, ia justru ditemukan oleh seorang musafir di jalan dan diberikan kepada seorang warga negara Bangladesh. Ia disekap dan dipaksa bekerja di rumah orang asing itu selama 10 hari.
Ketika disekap itu, Yati ingat pada seorang warga negara Indonesia bernama Sardi, yang dia kenal begitu tiba di Bandara Khartoum. Yati pun membikin janji bertemu dengan Sardi dan staf KBRI Khartoum di sebuah tempat. “Ini cukup terakhir pengalaman saya. Sekarang mah mending diam di rumah, urus anak dan suami. Kapok," ujarnya mengakhiri cerita pengalaman panjang selama di Sudan.
Reporter: Gresnia Arela F, Syahdan Alamsyah (Cianjur)
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim