INVESTIGASI

Mereka Hidup
dengan Satu Ginjal

“Dunia rasanya sudah kiamat bagi saya. Tapi dokter, suami, dan keluarga memberikan dukungan moral.”

Ilustrasi: Edi Wahyono

Senin, 8 Januari 2018

Yuli Sibarani, seorang ibu rumah tangga, beraktivitas seperti kebanyakan orang. Semua pekerjaan rumah, termasuk merawat dan mengantar anak-anak ke sekolah, dilakukannya sendiri.

Ibu berusia 38 tahun ini secara fisik memang tak ada masalah. Padahal hidupnya selama ini hanya ditopang satu ginjal. Ia terpaksa merelakan satu ginjalnya diangkat pada 2012 karena tak berfungsi dengan baik.

Dokter yang merawatnya di salah satu rumah sakit di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, saat itu memutuskan mengoperasinya. Bila hal itu tak dilakukan, Yuli akan mengalami gagal ginjal.

“Dunia rasanya sudah kiamat bagi saya. Tapi dokter, suami, dan keluarga memberikan dukungan moral, sehingga saya mau dioperasi,” tutur Yuli dalam obrolan dengan detikX di kawasan Cibinong, Bogor, Jawa Barat, pekan lalu.

Yuli mengaku memang tidak banyak minum air putih dan sering menahan buang air kecil. Karena itulah ia kerap mengalami sakit pada bagian pinggangnya dan sempat menderita batu ginjal. Setelah itu, ia pun berkonsultasi dengan sejumlah dokter. Berat tubuhnya turun drastis.

Saat berkonsultasi dengan beberapa dokter, Yuli terkejut ketika satu ginjalnya menunjukkan penurunan fungsi begitu cepat. Dokter pun menyarankan dilakukan operasi pada satu ginjalnya, dibuang. Risiko itu harus diambil daripada merusak ginjal yang satu lagi. Kalau tidak dilakukan, hal itu bisa menyebabkan gagal ginjal dan mengharuskannya melakukan cuci darah, yang ujung-ujungnya adalah transplantasi ginjal dengan biaya ratusan juta rupiah. “Sudah biayanya ratusan juta rupiah, ginjal untuk pencangkokan itu kan langka di kita,” katanya.

Setelah menjalani operasi, Yuli diminta tak melakukan pekerjaan berat karena ginjalnya kini tinggal satu. Bahkan dokter menyarankan Yuli tak memiliki anak lagi.

Kenyataannya, pada 2015 Yuli hamil. Walau taruhannya nyawa ibu dan anaknya, Yuli melahirkan dengan cara caesar. Kini Yuli dan anak yang dilahirkannya pun sehat.

Ilustrasi pasien transplantasi ginjal.
Foto: dok. CNN

“Puji Tuhan, akhirnya saya nekat saja melahirkan dengan cara caesar. Sekarang anak sudah besar,” ujarnya. Meski begitu, Yuli harus berkonsultasi dan mengecek kesehatannya setiap bulan ke rumah sakit.

Berbeda dengan Tony Richard Samosir, 34 tahun, yang terpaksa menjalani pencangkokan ginjal pada 2016. Operasi transplantasi ginjal dilakukan setelah tujuh tahun dia menjalani cuci darah tiga kali seminggu sejak divonis mengalami gagal ginjal pada 2009. Selama itulah Tony merasakan siksaan sulit buang air kecil karena masalah pada ginjalnya itu.

“(Setelah pecangkokan) ya, amazing begitu rasanya. Lemas dan bisa buang air kecil lagi sekarang. Kan kalau gagal ginjal nggak bisa buang air kecil. Fungsi ginjal kan membentuk urine biar bisa pipis,” kata Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia ini kepada detikX, Jumat, 5 Januari 2018.

Tony menjelaskan gagal ginjal itu belum ada obatnya dan bisa disebut sebagai silent killer. Penyakit ini tidak akan dirasakan pada stadium I, II, III, dan IV, tapi tiba-tiba dirasakan pada stadium V. Penurunan fungsi ginjal sangat progresif dan tak pernah bisa membaik lagi kondisinya. Bila kerusakan pada ginjal tinggal menyisakan 20 persen, penyakit itu tidak akan sembuh lagi.

“Biasanya sampai (menyisakan) 30-20 persen kerusakannya pun nggak ada tanda-tandanya. Kamu masih bisa beraktivitas. Bisa main futsal atau melakukan banyak hal,” katanya.

Tony mengenang, sebelum divonis menderita gagal ginjal pada umur 26 tahun, ia selalu begadang, apalagi ia acap kali pulang dari kantor di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, saat larut malam. Ditambah dengan pola makan yang sering mengkonsumsi makanan cepat saji, kondisi ginjalnya drop.

Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia Tony Richard Samosir
Foto: Gresnia Arela F/detikX

Awalnya, pada 2007, Tony menjalani operasi usus buntu. Tak hanya itu, ia juga harus keluar-masuk rumah sakit karena menderita hipertensi (darah tinggi) serta sakit maag. Setelah sembuh, Tony tak lagi memeriksakan kesehatannya setelah obat habis. Ia merasa sudah sehat dan terus melakukan aktivitas seperti biasa di kantornya maupun rumah.

Pada 2008, ia kembali merasakan demam tinggi, yang dia kira gejala sakit maag-nya kambuh. Saat itu ia berada di dalam taksi yang mengantarnya pulang dari Kemang menuju rumahnya di kawasan BSD, Serpong, Tangerang Selatan. Ia sempat memeriksakan diri ke rumah sakit terdekat.

Namun, saat dicek darahnya, baru ketahuan ia mengalami kelainan pada ginjal, sehingga dirujuk ke RS Cikini, Jakarta Pusat. Saat itu hasil cek darahnya menunjukkan kreatinin pada ginjalnya tinggi. Dokter pun memvonisnya mengalami gagal ginjal, sehingga harus menjalani cuci darah pada 2009.

Tony sempat terpukul. Ia mengira hidupnya bakal habis. Apalagi sakit ginjal tak bisa diperbaiki atau disembuhkan. Seumur hidupnya harus dijalani dengan cuci darah. “Bayangin, itu kan usia muda dan produktif. Persentase usia produktif semakin lama meningkat,” tuturnya.

Pada 2016, akhirnya Tony melakukan transplantasi ginjal. Donor ginjalnya tak lain adalah istrinya sendiri, Eva Saulina Tampubolon. Tony menikah dengan Eva pada 2011. Saat menikah dengan Eva, Tony oleh dokter sempat divonis tak bisa punya anak. Tapi Tuhan berkata lain. Istrinya hamil pada 2013.

Dokter Daeng Mohammad Faqih, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
Foto: Gresnia Arela F/detikX

Tony sempat mengalami depresi. Di satu sisi ingin sekali membesarkan anak-anaknya, di sisi lain ia ingin sembuh dan tak mau cuci darah lagi. Setelah anaknya lahir, Eva mengajukan dirinya untuk mendonorkan ginjalnya kepada sang suami. Tidak mudah menjalani transplantasi, walau donornya adalah istrinya sendiri. Jalan penuh lika-liku dia hadapi menuju transplantasi.

Tony menjalani transplantasi ginjal di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia mengalami kesulitan, apalagi terbentur biaya yang memang sangat besar. Walau ginjal donor dari istrinya, Tony harus mengeluarkan biaya operasi Rp 150 juta.

“Manusia dengan satu ginjal sampai saat ini bisa hidup dengan normal. Kalau katanya akan lebih mudah lelah, saya kira itu sugesti saja,” dr Akbari Wahyudi Kusuma dari RS Mayapada, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, kepada detikhealth, 28 Maret 2017.

Menurut Akbari, orang dengan satu ginjal masih bisa beraktivitas seperti biasa. Tubuh dengan satu ginjal tak menghalangi seseorang bekerja atau berolahraga. Ia berpesan kepada semua orang agar berperilaku hidup sehat, seperti minum air putih yang cukup, mengurangi konsumsi obat yang memicu gangguan ginjal, dan berolahraga teratur.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr Daeng Mohammad Faqih mengatakan tidak ada efek samping dari operasi pengangkatan satu ginjal. “Kalau kondisinya baik, artinya memenuhi syarat, tidak terjadi efek samping,” ujar pria yang baru saja terpilih menjadi Ketua Umum PB IDI ini kepada detikX.


Reporter/Penulis: Ibad Durohman, Gresnia F Arela
Redaktur: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]
SHARE