Ilustrasi: Edi Wahyono
Selasa, 3 Oktober 2017Hampir setiap hari ada konsumen yang mencari obat terlarang di Pasar Pramuka, Jakarta Timur. Pasar obat-obatan terbesar di Indonesia itu selama ini memang disinyalir menjual obat apa pun, termasuk yang dilarang.
Sebut saja kasus vaksin palsu yang menggegerkan publik pada pertengahan 2016. Berdasarkan keterangan dokter H, mantan Direktur Rumah Sakit Sayang Bunda, Bekasi, yang jadi tersangka kasus vaksin palsu, ia mencari vaksin palsu di Pasar Pramuka dan Pasar Jatinegara.
“Pelaku mengaku mencari vaksin di Pasar Pramuka dan Pasar Jatinegara," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya di Mabes Polri, Jakarta, 15 Juli 2016.
Dari sebuah toko obat di Pasar Pramuka, dokter H kemudian dirujuk untuk menghubungi Toko Azka Medical guna mendapatkan pasokan vaksin secara langsung. Toko Azka Medical, yang berlokasi di Jalan Karang Satria Nomor 43, Bekasi, memasok vaksin ke beberapa rumah sakit swasta.
Begitupun dengan kasus Paracetamol Caffeine Carisoprodol (PCC), yang bisa membuat pemakainya mabuk. Kasus tersebut muncul di sejumlah daerah di Indonesia. Yang mengejutkan, dari operasi Badan Pengawas Obat dan Makanan Makassar pada pertengahan September 2017, di Makassar ditemukan sekitar 29 ribu butir PCC.
BPOM Makassar memperlihatkan puluhan ribu butir pil PCC hasil sitaan di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (16/9). Sekitar 29 ribu butir pil PCC disita dari distributor obat resmi farmasi di Makassar berinisial PBS SS pada Jumat (15/9) dan siap diedarkan ke wilayah Papua, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat.
Foto: Dewi Fajriani/Antara
Puluhan ribu obat terlarang tersebut rencananya diedarkan di Papua, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat. Kepala BPOM Makassar Muhammad Guntur mengatakan, dari keterangan distributor obat resmi farmasi di Makassar berinisial PBS SS, selain dari Tangerang dan Bandung, obat-obat berbahaya itu berasal dari Jalan Pasar Pramuka, Jakarta.
Bukan hanya obat palsu dan berbahaya, obat kedaluwarsa pun banyak beredar di Pasar Pramuka. Polda Metro Jaya menangkap pedagang berinisial M pada September 2016. Pelaku diketahui mengedarkan kembali obat-obatan kedaluwarsa itu di Toko MG miliknya, yang terletak di lantai dasar Pasar Pramuka.
Pelaku kemudian dijerat dengan Pasal 196 juncto Pasal 98 ayat 2 UU RI No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman penjara paling lama 10 tahun. Ia juga dijerat dengan Pasal 62 juncto Pasal 62 juncto Pasal 8 UU RI No 8 Tahun 1999 tentang Pelaku Usaha yang melanggar Ketentuan dengan ancaman penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.
Dari tangan M, polisi menyita sejumlah obat, berupa 1.963 strip obat kedaluwarsa berbagai merek. Obat kedaluwarsa itu antara lain Flavin (obat untuk alergi), Sohobal (obat pelancar darah), Scopamin Plus (obat sakit perut), Zincare (obat untuk diare), Lodia (obat untuk diare), Forbetes (obat untuk sakit gula atau obat diabetes).
Seorang dokter di rumah sakit di kawasan Depok, Jawa Barat, saat dimintai tanggapan mengatakan obat kedaluwarsa tersebut biasanya berasal dari rumah sakit. “Setiap rumah sakit biasanya ada sistem. Untuk stok obat yang hampir expired, selain dikembalikan ke distributor, ada yang dijual ke rumah sakit kecil atau ke Pasar Pramuka,” tutur dokter tersebut saat berbincang dengan detikX.
Tim Ditreskrimsus Polda Metro Jaya bersama BPOM mengusut peredaran obat ilegal di Jakarta, 7 September 2016. Lima apotek di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, digeledah.
Foto: Rachman Haryanto/detikcom
Selain obat kedaluwarsa, dikatakan dia, banyak pula obat tidak berizin yang beredar di Pasar Pramuka. Dia mencontohkan obat pemutih, yang tidak disertai izin dinas kesehatan, bisa dengan mudah didapatkan di pasar itu. Alat perawan palsu juga bisa beredar di situ.
Alasan harga murah dan mudah mendapatkan obat apa pun membuat sejumlah tenaga medis akhirnya menjadi pelanggan setia pedagang di Pasar Pramuka. “Misalnya bidan atau praktik swasta yang tidak punya apoteker pasti membeli obatnya di Pramuka,” tuturnya.
Namun aneka tudingan tersebut terang saja dibantah pedagang obat dan apotek rakyat di Pasar Pramuka. Mereka pun berkilah dengan mengatakan obat terlarang maupun obat palsu dijual oleh oknum. Menurut Yoyon, Sekjen Perhimpunan Pedagang Farmasi Pasar Pramuka, yang bikin rusak Pasar Pramuka adalah penjual yang tidak punya toko. Mereka disebut sebagai freelance.
Obat aneka jenis yang diperjualbelikan di Pasar Pramuka, Jakarta Timur.
Foto: Dikhy Sasra/detikcom
“Keberadaan mereka, ya, kayak gaib. Tiba-tiba ada, tiba-tiba hilang. Mereka tidak memiliki kejelasan tokonya di mana dan tidak punya keahlian juga,” ujar Yoyon.
Yoyon bilang obat palsu dan obat berbahaya merugikan para pedagang. Ia mencontohkan, dalam kasus obat PCC saja, omzet pedagang melorot hingga 60 persen. Sedangkan saat ribut-ribut vaksin palsu, pedagang mengalami penurunan omzet sekitar 40 persen.
Sanggahan serupa disampaikan Rita, pedagang obat dan alat kesehatan di Pasar Pramuka. Dia mengaku, sejak berdagang obat pada 1998, tidak pernah menemukan obat PCC. Istilah PCC sendiri baru dia ketahui dari pemberitaan.
“Mungkin masalahnya bukan di pemilik (toko). Masalahnya di luar-luar sana tapi dibawa-bawa ke Pramuka. Mungkin awalnya dari isu vaksin palsu itu, ya. Terus sekarang soal PCC,” jelas Rita.
Adapun Direktur Utama PD Pasar Jaya Arief Nasrudin menyebut pedagang yang kedapatan menjual obat palsu serta obat yang dilarang ditangkap dan kini sudah masuk bui. PD Pasar Jaya, ujar Nasrudin, selalu melakukan pengawasan bersama BPOM. Dan dari hasil pemantauan, jarang ditemui pelanggaran itu di masyarakat.
“Kalaupun ada yang tertangkap, itu laporan dari masyarakat yang langsung ke polisi. Kita lebih ke sarana dan prasarana tempatnya saja, kok,” kata Nasrudin.
Reporter: Ibad Durohman, Gresnia Arela F, Ratu Ghea Yurisa
Redaktur:: Deden Gunawan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim