INVESTIGASI

Apotek Rakyat Terancam Sekarat

Pedagang obat di Pasar Pramuka terancam gulung tikar. Mereka wajib menjadi apotek pada umumnya jika ingin tetap hidup.

Ilustrator: Edi Wahyono

Selasa, 3 Oktober 2017

Sepekan lalu, sejak 25 September 2017, para pedagang di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, tutup toko. Mereka cemas, jika berdagang, mereka akan berurusan dengan polisi. Namun ada pula pedagang yang tidak berjualan karena diminta tutup oleh pengelola pasar, yakni Perusahaan Daerah Pasar Jaya, sejak Sabtu, 23 September 2017.

“Pengurus pakai pengeras suara, bilang, mulai Senin (25 September) ada penutupan pasar. Alasannya, soal perizinan. Itu saja,” kata pedagang alat kesehatan yang enggan disebut namanya kepada detikX.

Pria berusia 46 tahun yang menempati kios di lantai dasar itu sebenarnya berkeberatan dengan penutupan pasar secara keseluruhan. Pasalnya, anjuran tutup itu hanya ditujukan untuk para pedagang obat yang ada di situ.

“Mereka sampai saat ini belum mengantongi izin apotek. Kesalahan pedagang juga sih terlalu menganggap enteng. Malah sibuk dagang terus. Jadi semua kena imbasnya juga, kan,” ujar pedagang yang sehari-hari menjual peralatan medis, semacam alat pengukur tensi, stetoskop, termometer, alat cek gula darah, dan suntik, di Pasar Pramuka.

Pasar Pramuka, yang terletak di Kecamatan Matraman, Jakarta Timur, selama ini memang dikenal sebagai pusat penjualan obat dan alat kesehatan. Konsumennya berasal dari seluruh penjuru negeri, dari Papua, Sulawesi, Kalimantan, hingga ke Aceh. Cakupannya hingga ke desa-desa terpencil.

Bangunan Pasar Pramuka dari sisi depan
Foto: Ibad Durohman/detikX

Sejumlah bidan maupun dokter yang berasal dari desa-desa, konon, menjadi pelanggan setia Pasar Pramuka. “Rumah sakit juga ambilnya ke sini. Bukan rumah sakit ecek-ecek, lo. Rumah Sakit Siloam suka belanja ke sini juga,” tuturnya.

Namun saat ini aktivitas penjualan obat di pasar itu terancam bubar dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan No 53 Tahun 2016, yang berisikan tentang pencabutan Permenkes 284/MENKES/PER/III/2007 tentang apotek rakyat Pasar Pramuka.

Keberadaan pedagang obat resep dokter di Pasar Pramuka selama ini berbentuk atau berizin sebagai apotek rakyat, yang punya tugas utama menjual obat-obat generik yang harganya terjangkau untuk masyarakat. Semangat itu kemudian dikukuhkan melalui Permenkes 284/MENKES/PER/III/2007, yang diteken Menkes Siti Fadilah Supari.

Namun, belakangan, keberadaan apotek tersebut sudah tidak lagi diperlukan lantaran pemerintah saat ini mengklaim telah gencar mendistribusikan obat-obatan generik, yang tentunya dengan harga terjangkau bagi masyarakat.

Atas dasar itu, Kementerian Kesehatan serta Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan meminta pedagang obat di Pasar Pramuka mengurus izin sebagai apotek reguler seperti apotek-apotek pada umumnya. Jika melanggar, usaha mereka terancam pidana karena izin yang mereka kantongi sudah kedaluwarsa.

Yoyon, Sekjen Perhimpunan Pedagang Farmasi Pasar Pramuka (PPFPP), saat ditemui detikX mengatakan sekitar 400 pedagang sempat mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung. Mereka berkeras ingin mempertahankan apotek rakyat itu. Namun upaya mereka kandas ketika pada 29 Agustus 2017 MA menolak gugatan tersebut.

Kios-kios di dalam Pasar Pramuka yang tengah tutup.
Foto: Ibad Durohman/detikX

Salinan putusan tersebut baru sampai ke tangan PPFPP selaku penggugat pada pertengahan September 2017. “Karena putusan itu, mau tidak mau kami harus mengurus izin untuk apotek reguler. Karena apotek rakyat sudah tidak boleh lagi,” ujar Yoyon pasrah.

Menurut Yoyon, sebenarnya apotek rakyat sangat membantu masyarakat dalam mengakses obat dengan harga murah dibanding di apotek reguler. Alasannya, para pedagang obat di Pramuka membeli obat dalam jumlah besar kepada produsen. Mereka mendapat diskon besar sehingga bisa menjual obat jauh lebih murah.

“Kalau apotek biasa paling ambil satu boks, sehingga dihargai tinggi. Kalau kami belinya satu bal, yang berisi beberapa boks, jadi harganya lebih murah,” kata Yoyon.

Hal lain yang membuat harga obat jadi miring di Pasar Pramuka, mereka tidak perlu mengeluarkan biaya sewa yang mahal. Harga sewa kios di situ, yang hanya berukuran 2 x 2 meter, berkisar Rp 30-75 juta per tahun, tergantung lokasi. Sedangkan apotek reguler harus menyewa tempat yang lebih mahal karena secara ketentuan harus memiliki beberapa fasilitas penunjang, seperti lemari obat yang steril serta ruang khusus untuk apoteker.

Untuk bisa menyentuh langsung konsumen, menurut Yoyon, para pedagang di Pasar Pramuka biasa menjual obat tanpa resep dokter. Dengan diubahnya status usaha menjadi apotek reguler, secara otomatis mereka tentu tidak lagi bisa membeli obat ke produsen dalam jumlah besar. Sebab, penjualannya juga sedikit karena harus sesuai dengan resep dokter.

Para pedagang di Pasar Pramuka menutup tokonya sembari mengurus perizinan apotek umum
Foto: Ibad Durohman/detikX

Selain itu, untuk menjadi apotek reguler, mereka tidak bisa menempati kios seperti sekarang yang hanya berukuran 2 x 2 meter. Dan mereka juga masing-masing harus punya apoteker. “Kalau soal izin sih sebenarnya simpel. Tapi soal lokasi dan aturan-aturan penjualan obat yang masih jadi persoalan kami,” ucap Yoyon, yang punya apotek berlabel Setia Kawan.

Sampai saat ini, para pedagang yang menempati 430 kios di Pasar Pramuka, menurut Yoyon, masih berupaya meminta kelonggaran kepada Dinas Kesehatan DKI Jakarta supaya bisa berjualan seperti saat ini. Tapi harapan pedagang sepertinya bakal menemui jalan buntu. Pasalnya, Dinas Kesehatan DKI Jakarta akan tetap menjalankan Permenkes/PMK No 53 Tahun 2016 tentang pencabutan Permenkes 284/MENKES/PER/III/2007 tentang apotek rakyat.

“Kami sudah memberikan kelonggaran waktu selama 3 bulan dan sudah 10 kali diadakan sosialisasi. Makanya kita langsung eksekusi,” ujar Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto kepada detikX, Jumat, 29 September 2017.

Dari pantauan Dinas Kesehatan DKI, para pedagang obat di Pasar Pramuka tidak mencerminkan apotek rakyat. Karena transaksi yang mereka lakukan berskala besar. Selain itu, apotek rakyat sejatinya hanya menjual barang-barang dan obat-obatan yang ringan yang bisa dibeli tanpa menggunakan resep.

“Kalau di situ (Pasar Pramuka) belinya kan bal-balan dan sampai dikirim ke luar daerah segala. Mereka mengaku apotek rakyat, tapi skala bisnisnya seperti pedagang besar farmasi,” tutur Koesmedi.

Aktivitas di Pasar Pramuka ketika sedang buka.
Foto: Arief Ikhsanudin/detikcom

Koesmedi, yang menjadi dokter kepresidenan pada era Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), juga mempersoalkan keberadaan puluhan apotek di dalam satu gedung serta ukuran apotek yang minimalis, yakni hanya berukuran 2 x 2 meter.

Jika para pedagang ingin mengubah izin sebagai apotek umum, tentu saja harus mengikuti aturan apotek berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 1332/MENKES/SK/X/2002. Dalam keputusan itu disebutkan apotek harus mempunyai luas bangunan standar minimal 4 x 15 meter (60 meter persegi).

Dan tiap apotek sekurang-kurangnya harus memiliki ruang tunggu, ruang informasi, ruang konseling, ruang racikan, keranjang sampah, serta harus dilengkapi dengan sumber air bersih, penerangan, alat pemadam kebakaran, serta ventilasi dan sanitasi yang baik.

Jika para pedagang Pasar Pramuka tidak mau memenuhi persyaratan sebagai sebuah apotek, Dinas Kesehatan DKI mengancam tidak akan mengeluarkan izin lagi kepada mereka untuk berjualan obat.


Reporter: Ibad Durohman, Gresnia Arela F, Ratu Ratu Ghea Yurisa
Redaktur:: Deden Gunawan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

[Widget:Baca Juga]
SHARE