INVESTIGASI
Masyarakat menunggu e-KTP dengan tidak pasti. Ironisnya, proyek ini justru penuh dengan korupsi di Senayan hingga pungli di kecamatan.
Ilustrasi: Edi Wahyono
Hampir delapan bulan lamanya Zaenal Mutaqin, warga Desa Majalengka Kulon, Kecamatan Majalengka, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, tak bisa mengurus pergantian surat izin mengemudi, perpanjangan surat tanda nomor kendaraan, dan berurusan dengan bank. Penyebabnya, kartu identitas yang berbasis nomor induk kependudukan (NIK) atau KTP elektronik (e-KTP) tak kunjung diterimanya.
Ia melakukan perekaman data untuk proses membuat e-KTP pada Juli 2016. Tapi, hingga Maret 2017 ini, e-KTP miliknya tak kunjung jadi. Selama itu, Zaenal hanya dibekali surat keterangan bukti telah melakukan perekaman data yang diberikan oleh petugas di kecamatan. Surat itu ternyata tak berlaku untuk mengurus perpanjangan SIM, STNK, dan transaksi di perbankan.
Zaenal pun mulai kesal karena harus sering meminta izin ke kantor tempatnya bekerja hanya untuk mengurus e-KTP. Ia harus bolak-balik ke kantor kelurahan, kecamatan, hingga Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Majalengka. “Petugas dinas setempat selalu mengatakan blangko e-KTP belum tersedia. Saya bolak-balik dan selalu disuguhi hasil yang nihil,” ungkap Zaenal Mutaqin dalam laporan pengaduannya yang di-posting di laman SaPa Kementerian Dalam Negeri, Rabu, 8 Maret 2017.
SaPa Kemendagri adalah aplikasi pengaduan dan aspirasi masyarakat terhadap layanan Kemendagri dan pemerintah daerah. Dari laman ini terlihat ada 1.912 pelapor, dan yang terbanyak berkaitan dengan lambannya proses pembuatan e-KTP. Itu yang tercatat di laman pengaduan resmi. Bagaimana dengan penduduk lainnya di sejumlah daerah di Indonesia yang mengalami masalah serupa? Pasti lebih banyak jumlahnya.
Mendagri Tjahjo Kumolo
Foto: dok. detikcom
Nah, yang duluan rekam data dikasih duluan cetaknya, itu sebagian perlu uang pelicin. Siapa yang bisa kasih, itu yang duluan dikerjakan.”
“Saya mengurus e-KTP yang hilang empat bulan lalu, sampai sekarang belum jadi juga. Sekarang pakai KTP sementara kayak zaman dulu,” ujar Riska, warga Kelurahan Ciherang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, saat berbincang dengan detikX Jumat, 10 Maret 2017.
Padahal Riska mengaku dijanjikan bahwa dalam 14 hari e-KTP sudah jadi. Ternyata, ketika pada akhir Februari lalu ia mendatangi kantor kelurahan, e-KTP yang berwarna biru muda itu belum juga jadi. “Masak blangko saja sampai nggak ada, ke mana anggarannya? Apalagi saya mau ngurus BPJS,” ujar anggota staf karyawan di Institut Pertanian Bogor ini.
Kelangkaan blangko e-KTP diakui sejumlah petugas di kelurahan dan kecamatan. Wahyudi, yang sehari-hari bekerja di Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, juga mengeluhkan lambannya distribusi blangko tersebut. Padahal sudah banyak sekali antrean warga masyarakat yang menunggu dibuatkan e-KTP.
“Kalau ini saya sih mau bilang bagaimana lagi. La di atasnya saja belum datang,” tutur Wahyudi kepada detikX.
Lembaga Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menilai, sejak awal proyek e-KTP dimulai sudah semrawut. Data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri mencatat, hingga September 2016 saja masih ada 22 juta orang yang belum terekam datanya. Sementara itu, untuk tahun 2016, Kemendagri hanya mengalokasikan anggaran untuk pengadaan 4,6 juta keping e-KTP.
Terdakwa kasus korupsi KTP elektronik, Irman dan Sugiharto, menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis, 9 Maret 2017.
Foto: Safir Makki/CNNIndonesia
“Pemerintah sama sekali tidak serius mengurus e-KTP ini. Baru akhir-akhir ini, setelah akhir Desember 2016, agak serius,” tutur komisioner Ombudsman, Ahmad Suaedy, kepada detikX, Jumat, 10 Maret.
Menurut Suaedy, pelayanan e-KTP sangat buruk di tingkat RT/RW, kelurahan, kecamatan, hingga kantor dukcapil. Daftar antrean membuat e-KTP semakin panjang dan lama. Apalagi untuk merekam data dan mencetak e-KTP harus dua kali antre, yaitu di kantor kecamatan dan disdukcapil.
Kondisi tersebut diperparah oleh maraknya pungli yang terjadi dalam pembuatan e-KTP. “Nah, yang duluan rekam data dikasih duluan cetaknya, itu sebagian perlu uang pelicin. Siapa yang bisa kasih, itu yang duluan dikerjakan,” ujar Suaedy.
Pada 2016, Ombudsman melakukan observasi tentang pelayanan e-KTP di 34 provinsi di Indonesia. Hasilnya, ditemukan praktek pungli di 12 provinsi, antara lain Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Pungutan itu dilakukan oleh biro jasa, calo, pegawai dukcapil, petugas keamanan, hingga staf kantor kecamatan.
Belum lagi, menurut Suaedy, banyaknya alat perekam dan cetak yang kini sudah rusak dan tak diperbarui. Juga soal ketersediaan jaringan internet dan listrik yang menghubungkan antardesa/kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, dan pusat.
Demo mahasiswa mendukung KPK dalam mengusut kasus e-KTP
Foto: Andry Novelino/CNNIndonesia
“Banyak yang rekam data pakai komputer biasa, pakai flash disk. Tapi, ketika dibawa ke kota, nggak bisa dibaca. Pokoknya ngenes banget,” ucapnya.
Oleh karena itu, Ombudsman RI berharap Presiden Joko Widodo segera menetapkan agar persoalan e-KTP ini menjadi prioritas untuk diselesaikan tahun 2017 ini. Sebab, persoalan ini menyangkut hak prinsipiil konstitusional setiap warga negara.
“Ini menjadi prasyarat untuk menjadi negara maju atau modern. Setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam pelayanan publik,” kata Suaedy.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sendiri juga pusing dengan proyek e-KTP. Beberapa waktu lalu, Tjahjo mengaku tiba-tiba mendapat tagihan utang proyek e-KTP sebesar US$ 90 juta atau sekitar Rp 1.211.400.000.000 (kurs US$ 1 = Rp 13.460). Tagihan tersebut muncul ketika beberapa hari dirinya baru dilantik pada 27 Oktober 2014.
“Jumlahnya nggak kecil, US$ 90 juta. Itu perusahaan yang terus-menerus mengejar saya,” kata Tjahjo saat mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Senayan, Jakarta, 23 November 2016.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakhrulloh menambahkan, tagihan itu berasal perusahaan di Amerika Serikat, PT Beomorf Lone Indonesia, yang ditunjuk Konsorsium PNRI (Percetakan Negara Republik Indonesia). Padahal, dalam proyek itu, Kemendagri tak memiliki kontrak kerja dengan perusahaan itu, kecuali dengan Konsorsium PNRI, yang terdiri atas Perum PNRI, PT Sucofindo, PT LEN Industri, PT Sandipala Artha Putra, dan PT Quadra Solution.
Antrian pembuatan e-KTP
Foto: dok. Karuniana Dianta
PT Beomorf Lone Indonesia menerima subkontrak dari salah perusahaan peserta Konsorsium PNRI, yaitu PT Quadra Solution. Perusahaan ini mendapatkan proyek untuk mengadakan sistem informasi penunggalan biometrik (automated biometric information system). Akhirnya masalah itu selesai setelah Kemendagri memfasilitasi perusahaan Amerika Serikat itu dengan pihak perusahaan konsorsium.
Karut-marut pembuatan e-KTP memang terasa sejak awal perencanaan proyek. Terjadi kongkalikong antara pejabat Kemendagri, anggota DPR, dan pihak rekanan dalam tender proyek ini. Hal inilah yang terungkap dalam surat dakwaan jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi bernomor DAK-15/24/02/2017 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Kamis, 9 Maret lalu.
Dalam berkas dakwaan atas mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Dirjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto dijelaskan bagaimana upaya memenangkan salah satu perusahaan konsorsium untuk melaksanakan proyek e-KTP itu. Proses tender pengadaan barang dan jasa yang dianggap tak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Juga pemilihan spesifikasi alat untuk pembuatan e-KTP dengan harga yang dianggap tak wajar.
Berdasarkan kontrak pekerjaan bernomor 027/886/IK tanggal 1 Juli 2011, Konsorsium PNRI adalah pelaksana pekerjaan penerapan e-KTP secara nasional. Di antaranya pengadaan blangko e-KTP berbasis chip, yang meliputi produksi, personalisasi, dan distribusi sebanyak 172.015.400 keping, dilaksanakan Perum PNRI dan PT Sandipala Artha Putra.
Untuk pekerjaan hardware dan software, di antaranya pengadaan printer-scanner dan AFIS, dilaksanakan oleh PT Quadra Solution dan PT LEN Industri. Pengerjaan pembangunan jaringan komunikasi data dilaksanakan oleh PT Quadra Solution. Pekerjaan helpdesk management system dan pendampingan teknis dilaksanakan oleh PT Sucofindo.
Petugas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil melakukan proses perekaman data untuk pembuatan e-KTP
Foto: dok. Antara Foto
Semua pekerjaan tersebut tidak dapat disubkontrakkan. Namun, dalam pelaksanaannya, anggota Konsorsium PNRI mensubkontrakkan sebagian pekerjaan pencetakan blangko, pembuatan hologram, dan personalisasi, yang seharusnya dikerjakan PNRI. Kenyataannya, hal itu disubkontrakkan ke PT Pura Barutama, PT Trisakti Mustika Grafika, PT Ceria Riau Mandiri, PT Mecosuprin Grafia, PT Sinergi Anugrah Mustika, dan PT Global Prima Media (pekerjaan punching).
Dalam paket pengadaan blangko e-KTP, yang dilaksanakan oleh PT Sandipala Artha Putra, pembuatan hologram serta overlay dan inlay disubkontrakkan kepada PT Trisakti Mustika Grafika, PT Pura Barutama, dan PT Betawi Mas Cemerlang. Sementara itu, PT Optima Infocitra Universal melalui PT Quadra Solution melakukan pekerjaan project card management system.
Dan yang lebih mencengangkan adalah soal bagi-bagi uang pelicin kepada para pejabat negara, baik eksekutif maupun legislatif, untuk memperlancar proyek ini. Memang fantastis nilai proyek pengadaan e-KTP ini, yakni mencapai Rp 5,9 triliunan, dan yang diduga dikorupsi hampir setengahnya.
Tak aneh bila dampaknya benar-benar dirasakan oleh warga, yang kesulitan mendapatkan e-KTP hingga kini. “Kesemrawutan ini yang terakhir. Saya kira karena korupsi juga,” kata Suaedy.
Reporter: Ibad Durohman, Gresnia Arela F.
Penulis: M. Rizal
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban
Rubrik Investigasi mengupas isu panas terbaru yang mendapat perhatian besar publik secara mendalam. Isu ini mencakup politik, hukum, kriminal, dan lingkungan.