INVESTIGASI

Langgam Hidup
Ayah Jokowi

Ayah Jokowi, Wijiatno Notomiharjo, sempat menjadi ketua ranting partai, namun tidak jago berpidato. Sebaliknya, suaranya sangat merdu saat menyanyikan lagu keroncong.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Sabtu, 14 Januari 2017

Wijiatno Notomiharjo memiliki permintaan nyeleneh ketika terbaring di salah satu rumah sakit di Jakarta pada tahun 2000. Ia minta dibawakan tape recorder serta kaset lagu keroncong.

Ayah Presiden Joko Widodo itu lalu mendekatkan speaker tape recorder itu ke telinganya. Ia mendengarkan lagu-lagu keroncong hingga tertidur pulas di ranjang rumah sakit.

“Sambil tiduran, dia mendengarkan lagu keroncong. Ketika itu lagunya Waldjinah,” ujar Sri saat ditemui detikX di sebuah rumah di Jalan Ahmad Yani Nomor 331, Manahan, Banjarsari, Solo, Jawa Tengah.

Sri bersama suaminya, Arso, sudah puluhan tahun bekerja di keluarga Jokowi. Rumah yang ditinggalinya saat ini merupakan salah satu rumah milik keluarga mantan Wali Kota Solo tersebut.

Menurut Sri, saat itu Notomiharjo dirawat karena menderita hernia. Rencananya, ia akan dibawa ke Singapura untuk menjalani operasi. Namun, ketika dirawat di Jakarta, ia keburu mangkat.

Notomiharjo, dalam ingatan Sri, memang seorang penggila keroncong. Dulu, ketika keluarga Jokowi masih tinggal di Jalan Ahmad Yani, Notomiharjo sering mengundang orkes keroncong di halaman rumah itu.

Rumah Jokowi di Jalan Ahmad Yani Nomor 331, Manahan, Solo
Foto: Iswahyudi/detikX


Jadi keroncong itu pakai gitar bas. Nah, Pak Noto itu pintar memainkannya. Lagu kesukaannya Caping Gunung. Sering itu dinyanyikan.”

Kebetulan rumah besar tersebut berhadapan dengan pool bus Damri. Orang berkerumun apabila digelar pertunjukan keroncong. Mereka yang lewat pun berhenti dan bergiliran memainkan gamelan.

Dan Notomiharjo selalu menjadi bintang panggung. Lelaki bertubuh tinggi, besar, dan berkulit putih itu tampak gagah bila sedang bersenandung sambil memainkan gitar bas.

“Jadi keroncong itu pakai gitar bas. Nah, Pak Noto itu pintar memainkannya. Lagu kesukaannya Caping Gunung. Sering itu dinyanyikan,” tuturnya.

Hobi menggelar musik keroncong itu rupanya sering dilakukan Notomiharjo saat masih tinggal di Kampung Cinderejo Lor, Gilingan. Notomiharjo senang mengumpulkan anak muda untuk bermain gitar.

Tempatnya berpindah-pindah, kadang di depan rumah, kadang di pinggir jalan tempat menurunkan kayu dagangan. “Ya namanya anak muda, ya, sama saja saya kira. Kan kita pernah muda, tahulah sifatnya,” kata teman kecil Jokowi, Bandi, kepada detikX.

Jiwa sosial Notomiharjo terlihat dalam kegiatan kumpul-kumpul itu. Ia sering membelikan makanan dan minuman buat kerumunan orang yang menonton pertunjukan keroncong. Tak hanya itu, ia juga memberikan sedekah.

Kumpulan pemain musik yang digawangi Notomiharjo sempat berkembang dengan nama Orkes Keroncong Jati. Sayang, tak ada lagi sisa kejayaan orkes keroncong itu. Alat-alat gamelan yang dibeli kini entah ke mana sepeninggal Notomiharjo.

Notomiharjo memiliki nama muda Wijiatno. Buku Saya Sujiatmi, Ibunda Jokowi, Kisah Perempuan Pengajar Kesederhanaan karya Kristin Salmah dan Fransisca Ria Susanti menyebutkan Notomiharjo tinggal bersama kakeknya di Kampung Klelesan, Giriroto, Ngemplak, Boyolali, Jawa Tengah, semasa melajang.

Wijitano Notomiharjo (kedua dari kanan) saat pernikahan anak kedua, IIt Sriyantini
Foto: Gresnia Arela F/detikX/repro

Wijiatno Notomiharjo (kiri) di pernikahan Iit Sriyantini
Foto: Gresnia Arela F/detikX/repro

Sujiatmi tertarik pada Wijiatno karena kegagahan dan ketampanannya. Sewaktu muda, Wijiatno sudah mengendarai sepeda motor BSA produksi The Birmingham Small Army, Inggris. Maklum, bapaknya adalah seorang lurah di Kragan, Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah.

Sosok ayah Jokowi ini masih terekam dalam foto keluarga yang terpampang dalam buku itu. Notomiharjo terlihat mendampingi Jokowi ketika bertunangan dengan Iriana dan pernikahan anak keduanya, Iit Sriyantini.

Setelah menikahi Sujiatmi pada 23 Agustus 1959, keluarga Notomiharjo menekuni bisnis kayu dan tinggal di daerah Srambatan, Surakarta. Bisnis kayu ini awalnya dilakoni Notomiharjo dibantu ayah Sujiatmi, Wirorejo, yang lebih dulu menekuni usaha kayu.

Sujiatmi baru bergabung setelah meninggalkan usaha menjahit. Namun pada akhirnya Sujiatmi-lah yang memegang andil lebih banyak dalam bisnis kayu itu. Sujiatmi sangat mahir membedakan jenis kayu hanya dari teksturnya.

Mereka kemudian memulai bisnis kayu sendiri begitu pindah ke Kampung Cinderejo Lor pada 1962. Namun Wirorejo dan kakak Sujiatmi, Miyono Suryo Sarjono, masih terus memberikan bimbingan.

“Nah, Bu Sujiatmi dan Pak Noto itu mulai kerja belakangan, yang bimbing orang tua saya,” ucap Miyono kepada detikX.

Notomiharjo membangun bengkel penggergajian kayu di rumahnya. Pekerjaan masih dilakukan secara manual, bukan gergaji mesin. Mereka memanfaatkan lahan sisa di depan rumah untuk menggelar kayu jati gelondongan.

Wijiatno Notomiharjo dan Sujiatmi
Foto: YouTube

Tak banyak pesaing pedagang kayu jati di daerah itu. Makanya usaha mereka cukup maju. Bandi ingat keluarga Jokowi mampu membeli bus tanpa kursi penumpang yang dioperasikan untuk mengangkut kayu dari daerah.

“Itu saya dulu yang suka mencuci busnya. Busnya itu polos, itu bekas AURI (Akademi Angkatan Udara Republik Indonesia),” Bandi mengenang.

Namun sejarah kelam tragedi 1965 juga berimbas pada Kampung Cinderejo. Kampung Cinderejo tergolong sebagai “daerah merah”. Banyak tetangga, kata Bandi, yang diciduk tentara karena terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Namun keluarganya dan keluarga Notomiharjo lolos, tidak ikut diciduk militer.

Bandi menjelaskan rumahnya gandeng dengan rumah Jokowi. Rumah di sebelah barat rumah mereka merupakan simpatisan komunis. Sedangkan di sebelah timur adalah simpatisan Marhaenisme. “Jadi (kalau dibilang) saya (dan Pak Noto) ikut PKI, ya tidak, ikut sini ya tidak,” katanya.

Sujiatmi juga mengenang ketika kampungnya diobrak-abrik tentara. Hati Sujiatmi ciut melihat banyak tetangganya dibawa tentara. Keluarganya sendiri tidak ikut diciduk karena tak ada bukti keterlibatan dengan PKI maupun organisasi sayapnya.

“Tetangga sebelah kiri rumah saya dibawa ke Nusakambangan,” tulis kesaksian Sujiatmi dalam buku itu.

Untungnya, bisnis kayu tidak terkena dampak dan usaha mereka terus berlanjut pascatragedi itu. Tapi kemudian, pada 1970-an, pemerintah menggusur kawasan Cinderejo, yang berada di pinggir Kali Pepe itu, untuk menjadi terminal truk dan perluasan Pasar Pring (Pasar Bambu).

Rumah Notomiharjo tak luput dari penggusuran sehingga harus pindah ke rumah di Jalan Ahmad Yani Nomor 331. Begitu juga dengan usaha kayu mereka, ikut dipindahkan ke rumah baru tersebut.

Pasar Gilingan, Solo, tempat dulu Wijiatno Notomiharjo mengontrak rumah dan berjualan kayu pada 1962-1970.
Foto: Ibad Durohman/detikX

Bisnis orang tua Jokowi ini terus berkembang walau lebih banyak dikelola Sujiatmi. Notomiharjo sendiri lebih rajin mencari kayu ke daerah dibantu oleh Arso, suami Sri.

Sri menyebutkan keluarga Notomiharjo termasuk keluarga kaya, bahkan sampai memiliki tiga unit mobil. Salah satu mobil jenis jip berwarna hijau hilang karena dibawa lari oleh teman Notomiharjo saat disewa.

Ketika angin reformasi berembus pada 1998, Notomiharjo tertarik ikut berkecimpung dalam partai politik. Miyono mengatakan adik iparnya itu sempat menjadi anggota satgas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Dalam bukunya, Sujiatmi menyebutkan Notomiharjo pernah menggantikan ketua ranting partai di kampungnya. Namun ia hanya menyebut suaminya menjadi ketua ranting sebuah partai nasionalis.

Nah, sementara urusan menyanyi keroncong Notomiharjo selalu terdepan, beda halnya jika ia diminta berpidato di depan kader partai. Seringnya justru Sujiatmi yang disuruh berpidato.

Tidak lama Notomiharjo menjadi pengurus partai, hanya sekitar dua tahun, karena ia meninggal pada 2000. Sri bercerita pemakaman majikannya itu benar-benar ramai. Tamu yang melayat berderet hingga sampai Terminal Tirtonadi.

Karena saking banyaknya pelayat itu, suami Sri sampai-sampai ia tak boleh ikut mengantar majikannya ke pekuburan. “Suami saya sampai tidak boleh ikut ke makam, suruh tunggu rumah, karena banyak sekali yang melayat,” kata Sri.


Reporter: Ibad Durohman, Deden Gunawan, Aryo Bhawono
Redaktur: Aryo Bhawono
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

Rubrik Investigasi mengupas isu panas terbaru yang mendapat perhatian besar publik secara mendalam. Isu ini mencakup politik, hukum, kriminal, dan lingkungan.

SHARE