Minggu, 22 September 2024
Teguh Joko Dwiyono melentingkan seni ke tahap yang bisa mengubah kebiasaan masyarakat memperlakukan limbah dan sampah. Dia mengajak semua orang membuat lukisan dari kulit telur dan sampah plastik. Keindahannya karya seninya bukan hanya terletak di lukisannya semata, tetapi gerak masyarakat yang mengumpulkan sampah, mau mengemasnya menjadi karya seni, dan bahkan meresap ke orang-orang yang hanya menikmati lukisan itu.
Saat ditemui reporter detikX di galeri seni Wayang Art miliknya di bilangan Jakarta Timur, Dwiyono mengambil satu lukisan. Lalu lelaki berusia 69 tahun itu mendekat dan menjelaskan proses membuat lukisan bertajuk Sabung Ayam itu. Inspirasinya ia dapatkan dari pengamatan atas realitas sehari-hari di sekitarnya lalu ia tuangkan ke kanvas. Makanya ia sering sekadar ke pasar atau tempat lainnya untuk mengamati bagaimana kehidupan bekerja.
“Itu adu kekuatan, bertarung mencari identitas diri,” katanya. “Kita harus mempelajari anatominya. Semuanya itu plastik, tapi terlihat seperti pake cat palet. Konsepnya abstrak.”
Teguh Joko Dwiyono saat membuat lukisan bertajuk Sabung Ayam menggunakan bahan berbagai jenis dan warna sampah plastik.
Foto : Dieqy Hasbi Widhana/detikX
Kemudian dia menunjuk satu lukisan sebesar sekitar 2x2 meter bergambar topeng watak dengan aneka ekspresi. Lukisan itu murni terbuat dari remahan kulit telur. Dia memadukan beragam warna dari berbagai jenis kulit telur, terutama telur ayam puyuh. “Itu saya bikin dua bulan,” tuturnya sambil terkekeh.
“Kalau melukis pakai cat minyak, saya tidak punya pendidikan formal, pasti kalah dong dengan yang lain. Tapi dengan kulit telur, seniman bahkan bisa belajar ke saya."
Padahal, Dwiyono ini tak memiliki dasar disiplin ilmu akademik untuk melukis. Saat masa bocah, ayahnya yang seorang guru tak mampu membelikan kertas gambar dan pensil warna. Namun, ayahnya kerap membawa oleh-oleh kapur papan tulis. Berbekal alat itu, Dwiyono menggambar di lantai. Kemudian semasa TK hingga SMA, ia kerap mewakili sekolahnya untuk lomba melukis.
Selepas SMA, ia tak diperbolehkan orang tuanya kuliah di jurusan seni. Sedangkan cita-cita Dwiyono ingin masuk Akademi Seni Rupa Indonesia, cikal bakal Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Namun, ia harus mengikuti kakak-kakaknya untuk kuliah Teknik Sipil. Setelah lulus dan bekerja, ia justru merasakan masih ada yang ganjil di hidupnya.
“Uang banyak. Tapi di sini.. di sini..” kata Dwiyono sambil menepuk-nepukkan tangan kanannya ke dadanya, “tidak nyaman. Saya tetap ingin melukis.”
Lambat laun, dia memupuk keberaniannya melepas pekerjaan sebagai konsultan teknik sipil. Semua itu berawal dari cangkang telur yang tak sengaja ia injak.
“Kalau melukis pakai cat minyak, saya tidak punya pendidikan formal, pasti kalah dong dengan yang lain. Tapi dengan kulit telur, seniman bahkan bisa belajar ke saya,” ujarnya.
Sebermula pada sekitar 1995, istri Teguh Joko Dwiyono memasak nasi goreng kesukaannya. Tak sengaja Dwiyono menginjak cangkang telur dari bahan masakan itu jatuh ke lantai.
“Krrrieekkk! Saya angkat (kaki) pelan-pelan, kok efek pecahannya bagus banget dan punya nilai seni tinggi,” kenangnya.
Kemudian butuh waktu sekitar dua tahun Dwiyono bereksperimen memahami karakteristik hingga kandungan kulit telur. Bahkan dia mendalami apa filosofinya. Kulit telur itu rapuh, kata Dwiyono, mudah patah, tapi di balik kerapuhanya, ada kekuatan yang luar biasa: tahan gores dan cuaca. Berjiwalah seperti kulit telur, sangat tipis, rapuh.
Bahkan kulit telur adalah bagian penting dalam rute kelahiran biologis menghadirkan nyawa ke bumi. Cangkang menjadi ruang bagi nyawa yang dalam waktu tertentu dikandung dalam rahim ibu.
“Lahirnya suatu kehidupan kan dari telur. Itu saya ibaratkan sebagai rahim. Rahim itu hanya dimiliki ibu. Jangan lupakan ibu kita. Itu kerangka lahirnya suatu kehidupan,” ujarnya.
Lebih dari itu, selain ibu kandung, membuat karya seni dengan bahan kulit telur juga akan melindungi ibu pertiwi dari limbah yang bisa merusaknya. Itulah yang mendorongnya bereksperimen hingga menemukan sekitar 40 jenis warna kulit telur.
“Kulit telur ayam kampung itu putih sekali sampai putih kecoklatan. Kulit telur ayam negeri itu cokelat muda sampai tua. telur bebek hijau muda sampai tua ada. Kalau telur puyuh ada cokelat, hitam, abu-abunya,” ungkapnya.
Kemudian awal 1998 Dwiyono nekat merekrut 32 pegawai yang terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK. Saat itu terjadi gempuran krisis moneter dan ambruknya mata uang rupiah membuat banyak perusahaan terkena dampaknya hingga gulung tikar. Para pegawai itu dilatih oleh Dwiyono untuk membuat karya dengan bahan kulit telur.
“Hasilnya saya pamerkan di Pasar Festival Jakarta. Itu langsung jadi perhatian karena kulit telur pertama muncul. Orang dari New Zealand langsung pesan, kami bingung karena belum siap me-manage. Basic saya bukan pengusaha. Itu masalah,” keluhnya.
Teguh Joko Dwiyono bersama karya seni lukisannya yang terbuat dari limbah kulit telur dan sampah plastik.
Foto : Dieqy Hasbi Widhana/detikX
Meski saat itu ia tenar mendadak karena diliput televisi, tetapi ini justru menjadi fase awal kejatuhannya. Dia mendapat banyak pesanan lukisan kulit telur dari Manado, Makassar, dan sebagainya. Namun, pesanan itu menumpuk. Ia kewalahan menuntaskannya. Dampaknya, ia diberondong komplain. Permasalahannya: tak memiliki pondasi pengetahuan soal produksi profesional, manajemen keuangan, hingga marketing.
Dari Astra saya sering diajak pameran. Saya belajar tentang kepemimpinan, manajemen keuangan, marketing, manajemen produksi. Akhirnya pameran di Jerman sampai empat kali."
Dwiyono tak putus asa. Dia tetap berkesenian meski dengan kondisi keuangan yang cekak. Dua tahun setelah itu keadaan perlahan berubah. “Tahun 2000 saya ikut pameran di JCC (Jakarta Convention Center), dilihat oleh Astra. Akhirnya ditawari menjadi binaan,” kenangnya.
Kala itu Dwiyono bangkit lagi karena menerima pembinaan dari Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA), Corporate Social Responsibility (CSR) PT Astra International Tbk yang didirikan oleh founder Astra, William Soeryadjaya.
Melalui kontribusi Astra dalam Pembinaan UMKM ini, karier Dwiyono justru melesat. Dari kondisi keuangan yang nyaris minus hingga ia bisa mengekspor ke Amerika Serikat hingga Bahrain. Karya seni kulit telur itu dikirim menggunakan truk kontainer. Dia juga dilatih YDBA terkait penerapan prinsip Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin (5R) guna meningkatkan produktivitas UMKM.
“Dari Astra saya sering diajak pameran. Saya belajar tentang kepemimpinan, manajemen keuangan, marketing, manajemen produksi. Akhirnya pameran di Jerman sampai empat kali. Di Perancis juga pameran dan Singapura. Dari situ saya bisa bertahan sampai sekarang. Alhamdulillah bisa menyekolahkan dan kuliah anak sampai selesai,” terangnya.
Pada Maret 2005, Dwiyono mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai Pelopor Seni Lukis dengan Bahan Kulit Telur Pertama di Indonesia. Proses verifikasinya sampai empat tahunan untuk memastikan orang pertama yang melukis dengan kulit telur. Itulah yang membuat kreasi kulit telur ala Dwiyono mendapatkan hak paten dari Direktorat Jenderal HKI yang berada di bawah Departemen Hukum dan HAM.
Namun baginya, seni harus menjadi milik semua orang. Hak kekayaan intelektual (HKI) itu jangan sampai membuat orang tak berani membuat karya dari kulit telur. Sebab imbasnya yang tersakiti justru ibu pertiwi karena limbah domestik.
“HKI itu hanya sebagai pengakuan saja, tapi bukan untuk menuntut orang. Misi saya berbeda. Bahkan saya bangga banyak yang bisa bikin karya dari kulit telur. Nilai keuntungan itu lebih berharga daripada saya dikasih uang. Karena kepuasan batiniah itu tidak bisa dibeli,” ujarnya.
Sebelum pandemi COVID-19, Teguh Joko Dwiyono semakin sering melihat sampah plastik berserakan di sekitarnya. Dia merenungkan dampak buruk dari limbah itu yang merusak ibu pertiwi. Sebab kantong plastik baru bisa terurai dalam kurun waktu sekitar 10 hingga lebih dari 20 tahun. Dari situ ia tergerak membuat karya seni lukis dari sampah plastik.
“Saya tanya ke pemulung kenapa dibuang? Katanya tidak laku. Saya lihat plastik warnanya bagus-bagus. Saya eksperimen bikin lukisan. Saya sering ambilin sampah plastik yang dibuang dari ibu-ibu beli barang online. Warnanya bagus-bagus, apalagi ada efek dari pembakaran,” tuturnya.
Dia mulai mencari lem water based, non-toxic atau tanpa bahan kimia. Tentunya agar karya seninya tak malah mencemari alam. Plastik dari beragam jenis dan warna itu ia coba bakar dengan alat seperti hair dryer seharga sekitar Rp 40 ribu. Tujuannya, agar orang-orang bisa ikutan mengolah limbah dengan cara mudah dan alat yang murah.
“Kalau dibakar muncul aksen warna yang artistik. Ini plastik semua tanpa cat sama sekali. Itu kresek semua, tidak ada warna cat sama sekali. Itu betul-betul limbah plastik. Pencemaran lingkungan terbesar dari limbah ini,” jelasnya.
Perlahan karya seni lukis dari sampah plastik Dwiyono diminati kolektor seni mancanegara. Dia mendapatkan pesanan dari London, Amerika Serikat, Perancis, Bahrain, hingga Jepang. Ini yang membuatnya mantap dengan nama Wayang Art, singkatan dari Wahana Gaya Gemilang. Agar saat pameran ke luar negeri, penikmat lukisan langsung mengenal image budaya Indonesia.
“Dari Jepang kalau pesan enggak banyak tapi eksklusif. Misalnya 50 pieces tapi tidak boleh ada yang sama. Itu biasanya shipping pakai pesawat. Kalau ke Amerika Serikat biasanya sampai 3 bulan pengerjaannya, dikirim per kontainer,” ungkapnya.
Teguh Joko Dwiyono tengah memegang foto bersamanya dengan I Gede Ardika, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada masa Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di belakang Dwiyono ada lukisan pewayangan berbahan dasar sampah plastik yang dibuat oleh muridnya.
Foto : Dieqy Hasbi Widhana/detikX
Dia tak mau bergerak sendiri untuk melindungi lingkungan dari kerusakan. Dwiyono mengembangkan konsep pola edukasi dan inspirasi masyarakat. Dia mengajar secara gratis. Pada HUT ke-497 DKI Jakarta lalu, ia keliling 15 RW di Jakarta Timur untuk mengajak 497 warga memanfaatkan limbah plastik menjadi karya seni sebesar 2x2 meter.
“Itu jadi lukisan besar dan saya pajang di kelurahan sekarang. Jadi setiap orang membuat satu bunga, jumlahnya jadi 497 bunga,” ucapnya.
Dia juga pernah mengajari anak-anak sekolah TK. Bahkan ia juga pernah mengumpulkan anak-anak pemulung di Bantagebang untuk melukis dengan dasar limbah plastik. Ke depan, ia ingin memamerkannya di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang dengan latar belakang panorama gunung sampah.
Harus saya seimbangkan antara profit dan sosial. Saya bikin gerakan belajar gratis, tapi syaratnya bawa sampah”.
Dengan begitu, Dwiyono membuktikan, upaya peduli lingkungan dengan membuat karya seni dari limbah itu bisa dilakukan semua kalangan dan usia. Bahkan, ini bisa menjadi gerakan besar untuk menjaga ibu pertiwi.
“Ini bisa jadi gerakan satu hari tidak membuang plastik, jadi satu hari melukis. Itu bisa dilakukan banyak orang. Sebelum melukis bisa sampai tiga hari mengumpulkan bahan, jadi selama tiga hari sampah plastik tidak terbuang,” tegasnya.
Bagi Dwiyono, harus dipisahkan antara bisnis dan profit. Sebab tujuan awal dia berkesenian adalah menjaga alam raya dari racun limbah.
“Ada saatnya cari duit, seperti kemarin ke Jogja lukisan kulit telur laku Rp 30 juta. Tapi harus saya seimbangkan antara profit dan sosial. Saya bikin gerakan belajar gratis, tapi syaratnya bawa sampah,” ujarnya.
Pengetahuan teknik melukis dari kulit telur dan sampah plastik yang ditanam oleh Dwiyono ini, telah berbuah kesadaran masyarakat bertanggung jawab, paling tidak atas sampahnya sendiri.
Reporter/Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Irwan Nugroho