Ilustrasi: Edi Wahyono
Berbekal riset sejarah selama berbulan-bulan tentang jalur perdagangan di Sumatera Utara, Saparudin Barus memetakan lokasi-lokasi yang sempat dijadikan tempat pelabuhan besar tempat transaksi jual-beli barang pada zaman dahulu kala, pada akhir 2020.
Wilayah Kabupaten Batu Bara menjadi salah satu fokusnya. Doktor sejarah Universitas Diponegoro itu membuat titik-titik di wilayah Batu Bara yang berpotensi menjadi tempat peninggalan uang kuno. Dari risetnya, Barus menyimpulkan, wilayah yang sekarang sebagiannya sudah menjadi perkebunan dan perkampungan itu dulu merupakan sebuah pelabuhan.
“Di daerah Batu Bara itu dulu dijadikan pelabuhan terbesar. Di tempat itu terjadi proses perdagangan, tempat ribuan kapal pendatang berlabuh untuk menaruh dan mengambil barang,” kata Barus kepada detikX, kemarin.
Pemetaan yang dia lakukan itu kemudian menjadi perbincangan di Komunitas Telusur Sejarah, sebuah komunitas pencinta sejarah yang didirikannya pada 2020. Sejak saat itu, para anggota komunitas terus mendiskusikan hal tersebut, sambil sesekali mengecek ke lapangan menggunakan metal detector.
“Karena kami komunitas yang para anggotanya memiliki pekerjaan lain, jadi sangat fleksibel. Di saat libur, seminggu satu kali atau dua kali, kami datang ke lokasi,” kata dia.
Uang kuno Kerajaan Nagur yang dikoleksi oleh Saparudin Barus
Foto: Dok Pribadi
Ini mengubah historigrafi Islam pertama di Indonesia. Karena diklaim, (Islam) pertama kali masuk di Aceh pada abad ke-11."
Selama hampir setahun melakukan pencarian, Komunitas Telusur Sejarah akhirnya menemukan sekitar 20 keping mata uang pada akhir 2021. Uang yang dibuat dengan bahan timah itu bergambar trisula pada bagian depan dan belakangnya.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Barus dan komunitasnya menemukan petunjuk lain. Di sekitar lokasi penemuan uang itu terdapat makam Raja-raja Nagur. Selain itu, warga sekitar mengisahkan bahwa pada zaman dahulu, terdapat simbol trisula di pipi para Raja Nagur.
Ini menjadi temuan penting yang mengubah pandangan banyak orang selama ini tentang kerajaan pertama di Sumatera. Barus mengatakan, secara umum, orang tahu bahwa kerajaan tertua di Sumatera adalah Kerajaan Sriwijaya, di mana Sumatera Utara masih termasuk kekuasaan Sriwijaya. Dengan penemuan uang yang identik dengan Kerajaan Nagur tersebut, pengetahuan tentang kerajaan tertua di Sumatera itu akan dapat dikembangkan.
“Selama ini diklaim kerajaan tertua di Sumatera itu kan Sriwijaya karena sangat mendominasi Sumatera Utara, jadi itulah yang kita tahu. Ternyata di Sumatera Utara sebelumnya ada juga kerajaan yang besar dan bertahan lama, yang berasal dari India,” kata Barus.
Kerajaan Sriwijaya berdiri pada abad ketujuh. Sedangkan Kerajaan Nagur sudah ada pada abad keenam. “Abad keenam sudah berdiri, jadi dia tertua sebenarnya,” lanjut Barus.
Berdasarkan riset-riset yang sudah ada sebelumnya, Barus melanjutkan, pada abad keempat, marga Damanik, yang berasal dari India Selatan, datang ke Sumatera Utara. Mereka kemudian mendirikan Kerajaan Nagur (Nagore). Kerajaan ini bertahan hingga tahun 1400-an.
Saat ini, penemuan mata uang Kerajaan Nagur masih dalam penyempurnaan riset. Nantinya, Barus akan menerbitkan riset dan temuannya ini ke jurnal internasional.
Namun riset sejarah tentang alat tukar ini bukanlah yang pertama dilakukan Barus. Sebelumnya, dia menemukan alat tukar penting lainnya, antara lain mata uang Kesultanan Batu Bahara dan mata uang dirham lokal Jago-jago.
Penemuan alat tukar Kesultanan Batu Bahara (Batu Bara) mengejutkan banyak pihak. Sebab, selama ini orang-orang menganggap Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, pada abad ke-18 tidak pernah memiliki kesultanan dan hanya pemimpin yang bergelar datuk.
Barus telah menerbitkan risetnya tentang penemuan-penemuannya dan terbit di jurnal internasional berjudul ‘The Discovery of Deli Sultanate Currency in Batubara, North Sumatra’ untuk penemuan mata uang Kesultanan Deli dan ‘Batu Bahara Currency Discovery as Representation of the Existence of Batu Bahara Sultanate in 1745 AD’ untuk penemuan mata uang Kesultanan Batu Bahara.
“Selama ini tidak ada yang mempelajari bahwa pada periode tahun tertentu pernah ada Sultan Bara,” kata dia.
Sedangkan mata uang dirham di Jago-jago, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, menunjukkan lokasi pertama Islam masuk ke Indonesia. Barus mengatakan para ahli sejarah selama ini menganggap Aceh adalah lokasi pertama masuknya Islam ke Indonesia. Penemuan mata uang di Jago-jago mematahkan pendapat tersebut. Penemuan mata uang dirham di Jago-jago dan ditambah bukti pendukung lainnya mematahkan pendapat tersebut.
“Ini mengubah historiografi Islam pertama di Indonesia. Karena diklaim, (Islam) pertama kali masuk di Aceh pada abad ke-11, kemudian ada bantahan, bahwa di Barus abad ke-8,” kata dia. “Nah, ini kami menemukan mata uang dirham di Jago-jago sejak abad ke-7, dari Dinasti Umayyah.”
Saat ini, seluruh mata uang kuno yang Barus dapatkan tersimpan di Museum Uang Sumatera. Museum yang didirikan pada 2017 itu menyimpan ribuan koleksi mata uang milik Barus. Selain dari pencarian sendiri, sebagian uang kuno di sana Barus dapatkan dengan cara membeli.
Uang dirham Jago-jago yang ditemukan Barus
Foto: Dok Pribadi
Kegiatan yang dilakukan Barus ini dikenal dengan istilah numismatika. Istilah ini merujuk pada ilmu yang mempelajari tentang asal usul terbitnya suatu mata uang. Sebagai seorang numismatis, Barus memandang, Indonesia belum terlalu menganggap penting ilmu ini.
“Ilmu ini bahkan belum menjadi studi yang bisa dipelajari di kampus-kampus,” kata Barus. “Padahal, kalau di luar negeri, seperti di Amerika, numismatika sudah menjadi jurusan di universitas.”
Numismatis lainnya, Uno, memandang di Indonesia bahkan masih banyak yang salah paham dengan istilah numismatika. Banyak orang menyamakan numismatis dengan kolektor uang. Padahal keduanya berbeda.
Kolektor, menurut Uno, hanyalah orang yang mengumpulkan uang karena sebatas hobi. Sedangkan numismatis tidak hanya mengoleksi, tetapi juga mempelajari segala hal yang melatarbelakangi terbitnya suatu mata uang. “Kalau kolektor, hanya mengoleksi saja sebagai hobi dan investasi,” kata dia.
Numismatika juga kerap dikaitkan dengan uang-uang kuno. Padahal, menurut Uno, numismatika juga mempelajari mata uang modern. Sebab, pada prinsipnya, numismatika mempelajari latar belakang penerbitan suatu mata uang.
“Apakah itu sejarahnya, latar belakang sosial-politiknya, alasan uang itu diedarkan, mengapa gambarnya seperti itu, kaitannya dengan kondisi moneter pada saat itu, dan lain-lain,” kata pendiri Club Oeang Revoloesi ini.
Uno memaparkan, pada akhir 1980-an, misalnya, mata uang terbesar adalah pecahan Rp 10 ribu, kemudian pada awal 1990-an terbit pecahan Rp 20 ribu. Lalu kemudian muncul pecahan Rp 100 ribu.
“Dari situ bisa disimpulkan ternyata ada korelasi kondisi ekonomi dan sosial-politik yang mempengaruhi terbitnya suatu mata uang. Semakin kacau kondisinya, semakin besar inflasinya, uang akan dimunculkan dengan nominal yang semakin besar,” kata dia.
Penulis: May Rahmadi
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban