Ilustrasi: Edi Wahyono
Sabtu, 17 Desember 2022Prraaang! Mangkok berisi bubur dan isinya jatuh ke lantai. Lagi-lagi bubur bikinan Wanda Wijaya ditolak oleh ibunya dengan alasan sedang tak berselera makan. Ingin sekali Wanda memaki ibunya yang tengah terkapar tak berdaya di ranjang. Namun, keinginan itu ia simpan dalam hati. Wanda segera mengambil kain lap dan membereskan kekacauan itu.
"Kadang kepengen sekali jadi anak durhaka. Aku mau marah sampai hati ini lega. Tapi aku mana tega ngelakuin itu semua ke orangtua yang lagi sakit,” cerita Wanda kepada detikX.
Selama lebih dari tiga tahun Wanda menjadi caregiver alias satu-satunya orang yang paling diandalkan saat ibunya sakit. Sejak tahun 2016, ibu Wanda didiagnosa menderita penyakit diabetes lalu disusul dengan serangan stroke. Penyakit ini membuat ibu Wanda tak bisa lagi berjalan dan beraktivitas secara mandiri.
“Mulai dari mandi, pakai baju, makan, kencing sampai BAB (buang air besar), pokoknya semua, lah, harus aku yang ngebantuin. Apalagi sejak serangan stroke, mama nggak bisa ditinggal sendiri,” katanya.
Merawat orangtua yang terkapar dan tak berdaya karena sakit bukan pekerjaan mudah. Butuh hati lapang dan kesabaran tak terbatas seluas samudera. Waktu itu Wanda baru saja menamatkan kuliah dan sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan keuangan yang sudah lama menjadi tempat kerja idamannya.
Tapi dalam sekejap Wanda harus terbangun dari mimpi indahnya. Ketimbang uang bulanan yang ditransfer tiap bulan, saat itu ibu Wanda lebih membutuhkan kehadiran dirinya di rumah. Selama ini Wanda dan ibunya memang hanya tinggal berdua saja. Ayahnya sudah lama meninggal, sedangkan kakak Wanda sudah menikah dan tinggal bersama keluarga kecilnya.
Foto ilustrasi anak yang harus merawat orantuanya yang sakit
Foto: Andhika Prasetya/detikcom
“Kita berdua bagi tugas. Aku ngurusin mama, kakak aku yang support untuk keuangan kita karena aku juga nggak bisa kerja,” ucap perempuan asal Medan ini.
Meski kecewa karena tak bisa melanjutkan kehidupan seperti teman seangkatannya yang sudah mulai bekerja, Wanda tak keberatan karena sang ibu merupakan sosok terpenting dalam hidupnya. Selama ini ibunya sudah membesarkan dua orang putri tanpa kehadiran sosok ayah. Mungkin inilah saatnya membalas budi, begitu pikir Wanda.
“Saat itu aku mikirnya apa salah berkorban buat orangtua yang sudah membesarkan kita. Lagian saat itu aku masih optimis kalau mama bisa sehat lagi, kehidupan kita balik normal lagi. Aku juga bisa bekerja,” katanya.
Sewaktu dibawa pulang dari rumah sakit, Wanda sempat terbingung-bingung bagaimana cara merawat ibunya yang sudah lemah tak berdaya. Awalnya, Wanda ditemani sang kakak bahu membahu memandikan berikut membereskan kotoran hajat.
“Aku sama kakak yang awalnya nyebokin sambil dikasih alas koran biar nggak berantakan. Terus dilap pakai tissue basah dan dibilas pakai air hangat. Awalnya mungkin karena nggak biasa, sempat mual-mual dikit. Tapi, lama kelamaan, udah jadi ahli membersihkan mama,” cerita Wanda. Setelah dirasa Wanda sanggup mengurusi ibunya seorang diri, kakaknya pun kembali ke rumahnya di Depok.
Namun, entah mengapa, sejak sakit ibu Wanda berubah menjadi sosok berbeda. Sebelum sakit, ibunya adalah sosok pendengar yang baik dan penyabar. Wanda sering kali menjadikan ibunya sebagai tempat curhat. Setelah sakit, ia mudah sekali marah. Perkara semangkok bubur itu merupakan salah satu contohnya.
Wanda semakin sedih di kala melihat teman-teman seumurannya sudah meraih prestasi di bidangnya masing-masing, sementara Wanda seakan terbelenggu dengan rantai yang tak bisa ia lepas sesuka hati. Beban fisik dan mental menghajar dirinya. Di saat kakaknya menjenguk, barulah Wanda bisa sejenak menghirup udara bebas.
“Aku kalau lagi sendiri sering nangis. Aku ngelihat teman-teman pada bisa main, jalan-jalan, pacaran, kerja, tapi aku harus ngerawat mama di rumah. Dibilang capek, ya, pasti capek banget. Sedih juga karena ngurus sendiri, ngurusin rumah juga,” ucapnya. Wanda merasa seolah hal yang menimpanya ini telah merenggut keceriaannya di masa muda.
Merawat orangtua yang sakit juga dilakukan Diva, remaja asal Malang. Diva juga mencari nafkah dengan membantu mengurus kambing dan domba milik tetangga.
Foto: berbuatbaik.id
Hari berganti hari. Sebaik apapun Wanda merawat ibunya, kondisinya tetap mengalami penurunan. Tiba-tiba saja ibu Wanda terkena serangan stroke yang kedua. Bagaimana kejadian pastinya, Wanda tidak tahu. Karena saat itu ia tengah mandi. Karena saat itu virus COVID-19 tengah melanda, Wanda dan kakaknya terpaksa mendatangkan dokter dan perawat serta melakukan perawatan intensif di rumah selama beberapa bulan.
Wanda semakin tak tega melihat kondisi ibunya yang semakin menurun. Untuk mencerna makanan saja sudah sulit. Lauk pauk seperti nasi dan daging harus digilas hingga halus agar mudah ditelan. Entah karena kondisi fisiknya yang semakin melemah, emosi sang ibu juga ikut melunak.
“Mungkin mama kesepian. Kalau malam-malam mama suka ajak aku ngobrol. Aku kaget banget waktu dia tiba-tiba minta maaf ke aku. ‘Maaf, ya, dek, mama udah ngerepotin kamu’,“ tutur Wanda mengingat kembali obrolan singkat malam itu. Rasa lelah yang selama ini Wanda rasakan seakan musnah. Sambil berurai air mata, malam itu keduanya berpelukan hangat.
Kini Wanda sudah mendapatkan kembali kehidupannya. Wanda sudah bekerja sebagai staf di salah satu bank swasta. Sudah setahun pula sejak kepergian ibunya.
“Jujur menjadi orang yang merawat orangtua itu memang berat banget. Tapi setidaknya aku nggak menyesal karena aku udah berusaha sebaik mungkin buat mama di saat beliau masih hidup. Kalau waktu itu aku nyerah, mungkin seluruh hidup aku akan diisi dengan penyesalan,” tuturnya.
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho