Ilustrasi: Edi Wahyono
Jumat, 4 November 2022Warga Batavia gempar ketika tersiar kabar penemuan mayat di dalam karung goni yang tersangkut di Pintu Air Kali Baru, Tanah Abang, pada 17 Mei 1912. Polisi Batavia dan warga terkejut melihat karung itu berisi jasad perempuan yang kedua tangan dan kakinya terikat.
Jasad yang sudah mulai membusuk karena lama terendam air sungai itu masih lengkap mengenakan pakaian kebaya dan kain jarit. Polisi langsung melakukan penyelidikan secara serius. Awalnya, polisi menduga sosok mayat perempuan itu warga keturunan Tionghoa.
Tapi, setelah diidentifikasi lebih mendalam, terungkap korban adalah seorang perempuan berumur 19 tahun berdarah campuran Indo-Eropa bernama Fientje de Feniks. Ia sering dipanggil Nona Fientje karena diketahui merupakan primadona kembang latar (pelacur) di rumah bordil di Batavia.
Entah siapa yang tega menghabisi nyawa perempuan cantik berkulit putih bersih, mata bulat, hidung mancung, bibir seksi dengan rambut hitam panjang bergelombang itu. Ia adalah anak seorang nyai yang menjadi gundik Lin Scholte, penulis asal Amsterdam.
Awalnya Fientje dan ibunya tinggal di kawasan Kampung Pakis, Surabaya. Tak diketahui secara pasti kapan dan pada umur berapa Fientje pindah ke Batavia serta terjun ke dunia prostitusi. Fientje tinggal di Mangga Dua bersama seorang pelayan. Fientje juga dekat dengan dua orang lelaki peranakan Tionghoa, yaitu Baba Sia Katja Mata dan seorang pemuda kaya di Pasar Baru.
Ada tiga versi tempat Fientje biasa mangkal di lokalisasi. Pertama, di rumah bordil milik Jeanne Oort, pelacur papan atas Belanda yang menjadi muncikari. Kedua, ia disebut biasa mangkal di rumah bordil Umar Ompong di Mangga Besar. Versi satu lagi, ketiga, Fientje biasa mangkal di rumah bordil di kawasan Palmerah.
Sebelum ditemukan tewas, Fientje sangat populer di kalangan pejabat Hindia Belanda. Ia kerap membuat cemburu para nyonya pejabat elite Belanda. Bahkan ia sering menjadi bahan gunjingan di klub khusus masyarakat kulit putih di Batavia, Societat de Convordia.
Fientje de Feniks
Foto: KITLV Leiden
Berita pembunuhan Fientje menghiasi headline sejumlah koran, di antaranya Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch Indie (Batavia), Soerabaisch Handelsblad (Surabaya), Darmo-Kondo (Surakarta). Juga ditulis dalam buku Tan Boen Kim dengan judul Nona Fientje de Feniks atawa Djadi Korban dari Tjemboeroean (1916) dan buku De Moord Op Fientje de Feniks: een Indische Tragedie karya Peter van Zonneveld (1992).
Polisi Batavia yang dipimpin Komisaris Reumpol berupaya mencari keterangan kepada sejumlah teman Fientje di rumah bordil Umar Ompong. Reumpol mendapatkan secercah bukti tentang tersangka pelaku pembunuhan itu dari keterangan Rosna, teman dekat Fientje.
Rosna mengatakan Fientje memiliki pelanggan setia bernama Williem Frederick Gramser Brinkman, pegawai perusahaan pemerintah Hindia Belanda. Ia melihat Fientje dan Brinkman bertengkar. Melalui celah dinding bilik bambu, ia melihat Brinkman mencekik leher Fientje. Polisi pun akhirnya memburu Brinkman sebagai tersangka.
Mula perkenalan Fientje dan Brinkman terjadi saat keduanya menghadiri pertunjukan sirkus di kawasan Pecenongan pada 1911. Brinkman rupanya kepincut pada kecantikan Fientje, apalagi perempuan muda itu fasih berbahasa Belanda. Singkat cerita, Brinkman sering menemui Fientje hingga muncul benih cinta di antara keduanya.
Tak beberapa lama, Brinkman meminta Fientje menjadi gundiknya dan tak boleh menerima pria lain. Hal itu disetujui Fientje. Selama menjadi gundik, Fientje sangat setia. Tapi Brinkman, yang ternyata berjiwa playboy, justru memacari perempuan asal Belanda. Hal ini membuat Fientje kecewa.
Fientje kembali menjalani kebiasaannya menerima tamu lelaki hidung belang dengan bayaran mahal. Dalam melayani pria hidung belang, Fientje selalu pindah dari satu rumah bordil ke rumah pelacuran lainnya. Lambat laun, sikap Fientje membuat hati Brinkman membara dibakar cemburu.
Dengan emosi, Brinkman mendatangi Fientje dan langsung memukulinya hingga babak belur. Karena dianiaya, Fientje sempat melaporkan tindakan Brinkman kepada Nyonya Leben, pemilik rumah judi di Mangga Dua. Ia juga memberi tahu Jeanne Oort dan Ena, rekan sesama pramuria.
Kali Baru, Tanah Abang
Foto: Tropenmuseum
Pada Kamis, 14 Mei 1912, malam, Fientje, yang tengah pergi sendirian di Mangga Besar, bertemu lagi dengan Brinkman. Perempuan itu dipaksa naik delman menuju rumah bordil Umar Ompong. Malam itu Rosna dan Idup, pramuria lokal, melihat keduanya masuk salah satu kamar.
Di dalam kamar, Brinkman kembali murka dan mencekik Fientje hingga kembang latar papan atas itu mati lemas kehabisan napas. Brinkman lalu mengupah tiga jawara untuk memasukkan jasad Fientje ke karung goni dan menjahitnya.
Atas keterangan Umar Ompung, Rosna, dan Idup, polisi yang dipimpin Komisaris Reumpol menangkap Brinkman, Marzuki, Umar, Silun, dan dua antek lainnya. Saat ditahan, Brinkman menyuap Wedana Weltevren, Sabarudin, sebanyak 3.000 gulden dan asisten jaksa 2.000 gulden.
Brinkman menyewa pengacara top Batavia kala itu, Mr Hoorweg, dengan bayaran 15 ribu gulden dan janji 6.000 gulden kalau ia bisa bebas dari jerat hukuman. Akhirnya pengadilan Raad van Justitie memutuskan Brinkman dan Marzuki bebas. Di luar pengadilan, kerabat dan teman Fientje menangis dan marah atas ketidakadilan kepada seorang wanita Hindia Belanda.
Tapi dua tahun setelah putusan bebas, Brinkman bangkrut. Ia akhirnya bertemu dengan penjahat kambuhan asal Jerman di Batavia, Johan Emil Soffing. Keduanya kerap merampok orang di jalanan, apotek, atau toko yang buka hingga larut malam.
Brinkman juga berencana menghabisi semua saksi yang memberatkannya di persidangan kasus Fientje dengan cara membunuh menggunakan racun. Untuk itu, ia mengajak Shafma, serdadu Koninklijk Netherlands Indische Leger (KNIL) dan gundiknya, Nyai Aisah, untuk merampok apotek besar dan mencari sianida.
Dalam suatu perampokan di Cikini, Shafma tertangkap. Brinkman dan Soffing khawatir, gundiknya Shafma akan membongkar rahasia mereka. Lalu keduanya membunuh Aisah. Brinkman mencekik perempuan itu sama ketika ia membunuh Fientje di pemakaman Cina di Kramat Sentiong. Sementara itu, Soffing menikam tubuh Aisah berkali-kali dengan pisau.
Williem Frederick Gramser Brinkman
Foto: KITLV Leiden
Keesokan harinya, jasad Aisah yang dalam kondisi bugil ditemukan warga di pemakaman tersebut. Polisi datang menyelidikinya. Kali ini Komisaris Reumpol dan Rossen yang turun kembali. Reumpol curiga terhadap luka cekikan di leher Aisah. Siapa lagi kalau bukan ulah Brinkman yang dulu mencekik Fientje.
Benar saja, ketika akan ditangkap, Brinkman dan Soffing tengah membakar pakaian Aisah. Di rumahnya juga ditemukan banyak sianida hasil rampokan dari apotek, pisau masih berlumur darah, dan perkakas untuk membobol toko.
Brinkman dan Soffing tak berkutik ketika ditangkap dan diseret ke penjara Glodok. Raad van Justitie menyidangkan keduanya pada 18 Mei 1915. Soffing mengakui perbuatannya, tapi Brinkman tak mau mengaku. Soffing divonis hukuman 20 tahun penjara. Sedangkan Brinkman divonis hukuman mati pada 14 Juni 1915.
Brinkman, yang sudah bangkrut, tak bisa lagi menyuap pejabat Hindia Belanda dan kejaksaan. Brinkman sempat menulis surat permohonan pengampunan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Alexander Willem Frederik Idenburg. Tapi permohonan itu ditolak.
Akhirnya Dewan Kehakiman Hindia Belanda memutuskan Brinkman dihukum gantung pada 24 September 1915. Tapi pagi hari sebelum eksekusi dilaksanakan, sipir penjara yang akan menjemputnya terkejut. Brinkman justru ditemukan mati bunuh diri dengan cara gantung diri di dalam selnya.
Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho