Ilustrasi: Edi Wahyono
Sabtu, 08 Oktober 2022Begitu sampai di Stasiun Bogor, Gadis Kusniadi tak kuasa menahan air mata di atas ojek online tumpangannya. Apalagi saat melihat jam di ponselnya yang sudah bergerak ke angka 05:30 WIB, tangisan Gadis semakin menjadi-jadi. Si tukang ojek itu sampai kebingungan dibuatnya.
Berdasarkan perhitungan Gadis, jika menempuh perjalanan ke kantornya menggunakan commuter line atau KRL, tidak mungkin ia bisa sampai di sana pukul 09:00 WIB alias tepat waktu. Upaya Gadis mengejar kereta jurusan Bogor-Jatinegara berakhir sia-sia. Padahal, Gadis sudah mati-matian melawan rasa kantuk. Gadis tak peduli meski harus menerjang pancuran air dingin di kamar mandi.
“Gue selalu berangkat pagi-pagi, bahkan kayaknya lebih pagi dari karyawan lain. Tapi sampai kantor telat, gaji tetep dipotong,” kata Gadis yang bekerja sebagai graphic designer di sebuah perusahaan swasta di Cengkareng, Jakarta Barat.
Pagi itu, Gadis menumpahkan segala kekesalannya pada ojek yang menjemputnya di pagi-pagi buta. “Neng, nggak usah sedih, rezeki, mah, udah ada yang atur,” ucap tukang ojek itu berusaha menghibur Gadis. Kalimat singkat tapi cukup mampu menenangkan pikirannya yang kalut.
Sudah hampir satu tahun Gadis menempuh perjalanan sejauh 60 km dari rumahnya di Bogor Nirwana Residence ke kantornya di Cengkareng, Jakarta Barat. Jika ditotal, artinya dalam sehari, Gadis menempuh perjalanan pulang pergi sepanjang 120 km. Sedikit lagi hampir menyamai perjalanan dari Jakarta menuju Bandung via tol Cipularang.
Para pekerja mengantre KRL ke Jakarta dari Bogor
Foto : Yulius Satria Wijaya/ANTARA Foto
“Dari Stasiun Bogor sekarang gue transit di Manggarai, terus nyambung ke arah Duri. Dari Duri lanjut naik kereta tujuan ke Tangerang. Gue turun di Stasiun Rawa Buaya. Habis itu lanjut ojek online,” kata perempuan berusia 25 tahun ini. “Jadi total perjalanan gue sekali jalan hampir tiga jam kalau nggak macet di Cengkareng.”
Gadis bertahan dengan rutinitas yang melelahkan karena ditawari gaji yang cukup besar untuk ukuran fresh graduate seperti dirinya. Itu mengapa Gadis tak masalah meski ia harus berangkat bekerja saat matahari belum terbit dan pulang ketika langit sudah gelap.
“Karena dapet gaji di atas rata-rata lulusan mahasiswa baru gue jadi seneng banget. Nggak pikir konsekuensinya apa, gue ambil, aja, tuh, kerjaan. Mana awalnya gue sempat ngerasain WFH. Tapi cuma dua bulan doang,” ucapnya. Sekarang Gadis mulai berpikir ulang untuk mencari pekerjaan baru, apalagi ia sempat diopname karena penyakit gerd.
Di perjalanan pulang yang memakan waktu hampir tiga jam itu, terkadang Gadis masih suka diganggu perihal revisi pekerjaan. Sambil menunggu kereta datang di Stasiun Manggarai, ada kalanya Gadis memanfaatkan waktu itu untuk membuka laptop dan melanjutkan pekerjaan.
“Di jalan pun gue nggak tenang, sambil tek-tokan pekerjaan. Sampai rumah udah nggak ada waktu buat ngobrol sama nyokab. Pulang, tuh, cuma buat taruh tas, tidur, bangun terus pergi lagi,” kata Gadis yang tidak tega indekos karena harus meninggalkan ibunya seorang diri di rumah.
Potret karyawan di Jakarta menumpak ojek online ke tempat kerja
Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom
Donny Reza sudah merasakan kenyangnya bermacet-macetan di jalan selama sempat bekerja di Bandara Soekarno Hatta di tahun 2018. Saat itu Donny sempat bekerja sebagai teknisi listrik di perusahaan BUMN selama dua tahun. Namun, akhirnya Donny memilih resign karena tak kuat dengan perjuangan pergi dan pulang dari rumah menuju tempat kerja dan sebaliknya.
“Setiap hari naik motor ke tempat kerja udah kayak lagi touring aja saya ini, sampai melewati tiga provinsi,” ucap Donny yang tinggal di Gunung Putri, Bogor. Donny berangkat dari rumah pukul 05.00 WIB pagi dan tiba di rumah pukul 21.00 WIB.
Laki-laki yang kini berusia 20 tahun dan beralih profesi menjadi broker saham ini tidak memilih transportasi umum karena aksesnya yang tidak memungkinkan. Selain itu jika Donny harus menggunakan transportasi umum seperti busway, bus, kereta atau angkot, akan memakan waktu perjalanan lebih lama.
“Menurut saya yang bikin capek itu bukan kerjaannya, tapi infrastruktur yang kurang merata. Di daerah pelosok kayak saya ini sampai ke bandara belum ada transportasi publik yang saling terkoneksi. Jadi mau nggak mau bawa kendaraan pribadi,” imbuh Donny.
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho