Ilustrator: Luthfy Syahban
Jumat, 30 September 2022Situasi ekonomi Indonesia terpuruk menjelang meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap rupiah anjlok 500 persen. Nilai 1 dolar AS yang dihargai Rp 45 melambung menjadi Rp 8.500. Harga beras melambung naik sembilan kali dari harga normal.
Suhu politik memanas di tengah kondisi Presiden Sukarno sakit-sakitan. Indonesia menghadapi konfrontasi dengan negeri jiran Malaysia di perbatasan Kalimantan dan Sarawak. Sukarno berang negeri itu diberi kursi sebagai anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB). Karena itu, Sukarno memutuskan kebijakan keluar dari lembaga dunia itu dan terlibat konfrontasi dengan Malaysia pada 7 Januari 1965.
Situasi ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia, yang menuntut Sukarno membentuk milisi rakyat bersenjata, yang diorganisasi dalam Angkatan Kelima. Tentu saja ide itu membuat para petinggi di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia kebakaran jenggot, khususnya Angkatan Darat, yang dipimpin Letnan Jenderal Ahmad Yani dan Menteri Pertahanan Jenderal Abdul Haris Nasution.
Antonie CA Dake dalam bukunya ‘Sukarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan’ (2005) menyebutkan, pertama kali yang mengusulkan pembentukan Angkatan Kelima adalah Asmu, Ketua Barisan Tani Indonesia, pada November 1964. Ia menyerukan kepada Sukarno agar petani Indonesia segera dipersenjatai dengan argumentasi bahwa invasi Amerika Serikat ke Indonesia sudah di ambang pintu.
Ide tersebut disokong penuh oleh Ketua CC PKI Dipa Nusantara Aidit. Kepada Sukarno, Aidit mengatakan ada 10 juta buruh dan tani yang siap dipersenjatai untuk menghadapi konfrontasi dengan Malaysia dan Inggris Raya di Kalimantan. Tapi, sebelumnya, Sukarno juga mendapat masukan dari Perdana Menteri Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Chou En Lai di Beijing tentang pembentukan suatu milisi buruh dan tani yang dipersenjatai dengan nama Angkatan Kelima juga.
Saat itu, Chou mengatakan, negerinya berhasil melawan kekuatan Jenderal Chang Kai Sek dan angkatan perang China Nasionalis. “Sangat bermanfaatlah bahwa kaum tani setempat telah dipersenjatai, sehingga mata-mata itu dapat dimusnahkan. Hal serupa dapat terjadi di Indonesia,” demikian kata Chou seperti dikutip Dake.
DN Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia
Foto: Bundesarchiv/Ulmer, Rudi via Wikimedia Commons
Sukarno saat itu belum mengatakan setuju atau tidak dengan ide tersebut. Sukarno juga menolak seruan Aidit untuk mempersenjatai buruh dan tani. Sukarno menimbang-nimbang ide tersebut. Ia pun menugasi Wakil Perdana Menteri I sekaligus Menteri Luar Negeri Subandrio untuk bertemu dengan Chou En Lai lagi di Beijing.
Kepada Subandrio, Chou mengatakan pihaknya akan memberikan bantuan pasokan 100 ribu pucuk senjata otomatis jenis Chung tanpa bayaran. Senjata tersebut disebut sangat ideal bagi para anggota milisi rakyat sipil nantinya. Subandrio lantas pulang dan melaporkan hasil pertemuannya itu kepada Sukarno.
Sementara itu, menurut pengakuan Subandrio, keberangkatannya ke Negeri Tirai Bambu terjadi pada akhir 1964. Ia bertemu langsung dengan Perdana Menteri RRT Chou En Lai, Presiden RRT Mau Tse Tung (Zedong), dan Menlu RRT Chen Yi. Dalam pertemuan tersebut, para pemimpin RRT itu menawarkan bantuan militer untuk 40 batalion tentara Indonesia.
“Ini peralatan lengkap, mulai senjata manual, otomatis, tank, dan kendaraan lapis baja. Hebatnya, semua itu gratis, juga tanpa syarat,” kata Subandrio dalam bukunya ‘Kesaksianku tentang G30S’ yang ditulis Djono W Oesman (2001).
Setelah mendapatkan laporan dari Subandrio, Sukarno menyatakan menerima bantuan tersebut. Hanya, bantuan peralatan militer itu tak kunjung dikirim karena Sukarno tak menjawab kapan waktu pihak China bisa mengirimkannya ke Indonesia. Barulah muncul gagasan dibentuknya Angkatan Kelima untuk menampung semua bantuan peralatan militer dari China tersebut.
Tapi saat itu Sukarno belum memerinci bentuk Angkatan Kelima seperti apa. Ia hanya mengatakan angkatan itu tidak sama dengan empat angkatan yang sudah ada. Hal ini ditegaskan Subandrio untuk membantah isu yang akhirnya berkembang bahwa Angkatan Kelima adalah para buruh dan tani yang dipersenjatai.
“PKI memang pernah mengatakan hal itu, tetapi Bung Karno belum pernah merinci bagaimana bentuk Angkatan Kelima itu,” tegas Subandrio lagi.
Letnat Jenderal Ahmad Yani
Foto : Repro buku Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam
Meski saat Sukarno melontarkan ide Angkatan Kelima belum ada embel-embel untuk mengorganisasi petani dan buruh, kalangan militer di Indonesia tak setuju. Hal itu sering disampaikan Sukarno dalam beberapa pertemuan dengan petinggi ABRI. Salah satunya disampaikan dalam pertemuan para petinggi militer di Lembaga Pertahanan Nasional pada Mei 1965. Usul Sukarno langsung ditentang para jenderal, khususnya Letjen Ahmad Yani selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad).
Penolakan Yani tersebut didukung oleh Menteri Pertahanan/Panglima ABRI Jenderal AH Nasution. Ia tak mau kecolongan dengan agitasi PKI mengenai Angkatan Kelima. Namun, di belakang layar, Politbiro PKI melalui Nyono mendirikan semacam Angkatan Kelima. Secara rahasia, PKI merekrut 3.000 orang dari anggota Barisan Tani Indonesia, SOBSI, buruh, dan Pemuda Rakyat untuk bergabung dalam latihan paramiliter di sekitar daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada 5 Juli 1965.
Melihat kondisi tersebut, Yani dalam rapat Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) yang dihadiri para panglima kodam dan petinggi militer lainnya di Istora Senayan, Jakarta, pada 30 Juli 1965 menolak pembentukan Angkatan Kelima dan Nasakom. Baginya, empat angkatan yang ada saat ini sudah cukup. Yani menyadari betul sikapnya ini dianggap menantang PKI sekaligus Sukarno.
Muncul berbagai praduga tentang penolakan Yani, Nasution, dan jenderal lainnya terhadap ide Sukarno dari kalangan elite politik. Sementara itu, Sukarno tetap tidak menjelaskan secara rinci bentuk Angkatan Kelima tersebut. “Saya sebagai orang yang paling deket dengan Bung Karno saat itu pun tidak diberi tahu,” ungkap Subandrio lagi.
Akhirnya Sukarno menjadwalkan untuk memanggil Yani bersama jenderal lainnya ke Istana Negara untuk membahas masalah Angkatan Kelima dan isu Dewan Jenderal pada 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. “Seorang sumber saya mengatakan, ketika Yani menerima surat panggilan dari Presiden, beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, Yani sempat mengatakan, ‘Saya mungkin akan dicopot dari Menpangad, sebab saya tidak setuju Angkatan Kelima’,” ujar Subandrio seraya mengutip ucapan sumbernya itu.
Ucapan Yani ini menyebar dengan cepat. Bahkan beredar isu di kalangan petinggi AD bakal pengganti Yani adalah Mayjen Gatot Subroto atau Mayjen Murysid. Namun apa yang terjadi, Yani dibunuh beberapa jam sebelum menghadap Presiden Sukarno. “Diduga Yani dibunuh sekitar pukul 04.00 WIB (1 Oktober) atau empat jam sebelum menghadap Sukarno,” pungkas Subandrio, yang wafat pada 2004.
Presiden Sukarno
Foto: Keystone/Hulton Archive/Getty Images
Yani bersama lima jenderal lainnya diculik dan dibunuh di Jakarta oleh pasukan Satuan Pasopati pimpinan Letnan Dul Arief dari Resimen Cakrabirawa (Pengawal Presiden), anak buah langsung dari Komandan Batalion 1 Cakrabirawa Letkol Untung Syamsuri. Kelima jenderal yang juga menolak Angkatan Kelima ini juga dituding bagian dari Dewan Jenderal yang diisukan PKI akan menggulingkan Sukarno.
Kelima korban itu adalah Mayjen Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD Bidang Administrasi), Mayjen Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD Bidang Perencanaan dan Pembinaan), Mayjen Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD Bidang Intelijen), Brigjen Donald Isac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik), dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal AD).
Turut menjadi korban, Letnan Pierre Andreas Tendean, salah seorang ajudan Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal AH Nasution. Juga salah satu penjaga rumah Wakil Perdana Menteri II Dr Johannes Leimena bernama Brigadir Polisi Kepala Karel Satsuit Tubun. Termasuk putri bungsu Nasution menjadi korban adalah Ade Irma.
Selain itu, di Yogyakarta, dua perwira menengah AD diculik dan dibunuh sekelompok tentara yang disusupi PKI, yaitu Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas Kodam VII/Diponegoro) dan Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 071/Pamungkas).
Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho