Ilustrasi: Edi Wahyono
Kamis, 29 September 2022Setengah abad silam, 6 perwira tinggi, 2 perwira menengah, 1 perwira pertama Tentara Nasional Angkatan Darat (TNI AD), serta 1 bintara polisi diculik dan dibunuh oleh segerombolan orang yang menamakan diri Dewan Revolusi. Peristiwa pada 30 September 1965 (Gerakan G30S) itu diawali oleh kabar burung adanya sekelompok jenderal atau Dewan Jenderal yang hendak mengkudeta Presiden Sukarno.
Kelompok pemberontak yang dipimpin Komandan Batalion I Cakrabirawa (resimen pengawal presiden) Letnan Kolonel Untung Syamsuri menculik dan membunuh 6 petinggi TNI AD. Keenam korban adalah Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat), Mayor Jenderal Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD Bidang Administrasi).
Kemudian korban lainnya adalah Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD Bidang Perencanaan dan Pembinaan), Mayor Jenderal Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD Bidang Intelijen), Brigadir Jenderal Donald Isac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik), dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal AD).
Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution, yang juga diincar pasukan pemberontak, berhasil meloloskan diri ketika akan diculik dari rumahnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Tapi putri bungsunya meninggal dunia, yaitu Ade Irma Nasution. Begitu juga dengan ajudan Nasution, Letnan Satu Pierre Andreas Tendean, diculik dan dibunuh.
Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun, penjaga rumah Wakil Perdana Menteri II Dr Johannes Leimena, yang dekat dengan kediaman Nasution, juga gugur diberondong tembakan pasukan Cakrabirawa.
Bukan hanya di Jakarta, gerombolan tentara pemberontak yang dipimpin Mayor Mulyono juga menculik dan membunuh Kolonel Katamso Darmokusumo dan Letnan Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto di Yogyakarta pada Jumat, 1 Oktober 1965, sore. Keduanya sebagai Komandan Korem 072/Pamungkas dan Kepala Staf Korem 072/Pamungkas di Kodam VII/Diponegoro.
Judul Foto
Foto : Credit By
Semua korban diisukan merupakan bagian dari Dewan Jenderal yang hendak mengkudeta Sukarno pada 5 Oktober 1965, bersamaan dengan pelaksanaan HUT Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI). Nasution, Yani, dan beberapa jenderal lainnya dikenal sangat nasionalis, antikomunis, dan tak suka dekatnya hubungan Sukarno dengan PKI.
Isu keberadaan Dewan Jenderal muncul pertama kali ketika ditemukan ‘Dokumen Gilchrist’ pada 24 Maret 1965. Surat rahasia milik Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Sir Andrew Gilchrist, kepada Kementerian Luar Negeri Inggris itu ditemukan di rumah Bill Palmer, seorang importir film Amerika Serikat atau Motion Picture Association of Indonesia (AMPAI) ketika diobrak-abrik kelompok Pemuda Rakyat. Palmer oleh dinas rahasia Uni Soviet dan Cekoslovakia dituding bagian dari agen rahasia AS atau Central Intelligence Agency (CIA).
Dalam buku ‘Biografi daripada Soeharto: Dari Kemusuk hingga Kudeta Camdessus’ (2012) tulisan A Yogaswara disebutkan, isi dokumen tersebut mengabarkan tentang adanya suatu operasi bersama antara Inggris dan AS untuk menjatuhkan kekuasaan Sukarno. Operasi bersama dilakukan dengan bantuan sekelompok militer Indonesia yang disebut ‘our local army friends’.
Isu tersebut makin diperkuat oleh beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal. Dalam rekaman itu terdengar suara Mayjen Parman yang sedang menguraikan rencana Dewan Jenderal menggulingkan Sukarno serta mengambil alih kekuasaan. Dalam rekaman itu juga disebutkan nama-nama jenderal yang masuk susunan kabinet baru nantinya.
Dalam dokumen Gilchrist terdengar Subandrio, yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri sekaligus Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI). Rumor Dewan Jenderal itu pun akhirnya mampir ke telinga Presiden Sukarno. Sukarno lalu mengadakan rapat dengan keempat panglima angkatan bersenjata (AD, AL, AU, dan Kepolisian Negara) pada 26 Mei 1965. Proklamator RI itu menanyakan kebenaran berita tentang keberadaan dewan tersebut.
Ahmad Yani menjelaskan tidak benar ada Dewan Jenderal. Yani mengakui telah menyuruh Parman dan Brigjen Ahmad Sukendro menjalin relasi dengan Kedubes Inggris dan AS, tapi bukan untuk tujuan kudeta. Saat itu, Yani mengakui Dewan Jenderal yang dimaksudkan tak lain adalah Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti). Lembaga itu bertugas menilai dan mempromosikan perwira militer ke jabatan yang lebih tinggi.
Meskipun telah disanggah Yani, kabar seputar Dewan Jenderal terus berembus. Sukarno tak 100 persen percaya atas keterangan Yani. Apalagi Yani mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakpatuhan dan ketidaksetujuan atas rencana pembentukan Angkatan Kelima. Sukarno juga melihat tindakan tegas AD dalam menghambat perkembangan PKI yang membuatnya berpikir untuk mencopot Yani dari jabatannya sebagai Panglima AD.
Letjen Ahmad Yani
Foto: Istimewa
Salah satu ketidakpatuhan AD saat itu tecermin dari dukungannya terhadap terbentuknya sebuah golongan fungsional, Sekretaris Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Sekber ini nyatanya tak hanya didukung AD, tapi juga angkatan lainnya di angkatan bersenjata.
Sementara itu, Subandrio dalam bukunya ‘Kesaksianku tentang G30S’ (2001) mengakui menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal pertama kali dari anak buahnya di BPI. Tapi laporan itu tak lengkap, yang hanya menyebut sekelompok jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap Presiden. Ia pun menyampaikan informasi itu kepada Sukarno dan sempat menanyakannya kepada Ahmad Yani.
“Saya bertanya langsung kepada Letjen Ahmad Yani tentang hal itu. Jawab Yani enteng saja, ‘Memang ada? Tapi itu dewan yang bertugas merancang kepangkatan di Angkatan Bersenjata dan bukan dewan yang akan melakukan kudeta’,” ungkap Subandrio.
Subandrio mengatakan informasi yang lebih jelas tentang Dewan Jenderal muncul pada 26 September 1965. Informasi ini muncul dari empat orang sipil bernama Muchlis Bratanata, Nawawi Nasution, Sumantri, dan Agus Herman Simatupang. Mereka bercerita bahwa pada 21 September 1965 ada rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rapat itu membicarakan antara lain pengesahan kabinet versi Dewan Jenderal.
Salah satu di antara mereka juga menyerahkan pita rekaman pembicaraan dalam rapat. Dalam rekaman itu terdengar suara Parman (korban G30S) membacakan susunan kabinet. Susunan kabinet dalam rekaman itu adalah Letjen AH Nasution akan menjadi Perdana Menteri, Letjen Ahmad Yani sebagai Wakil Perdana Menteri I merangkap Menhankam, Mayjen MT Haryono sebagai Menlu, Mayjen R Suprapto sebagai Mendagri, Letjen S Parman sebagai Menteri Kehakiman, dan Ibnu Sutowo sebagai Menteri Pertambangan.
Rekaman itu lalu disampaikan kepada Sukarno. Rencana Dewan Jenderal dalam rekaman itu sangatlah peka dan bersifat gawat bagi keberlangsungan pemerintahan Sukarno. Seharusnya rencana itu dalam klasifikasi rahasia, tapi mengapa bisa dibocorkan empat orang sipil? “Saya menarik kesimpulan, tiada lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi, rekaman itu palsu,” jelas Subandrio.
Subandrio
Foto : Dutch National
Tujuan penyebaran rekaman itu untuk mematangkan rencana besar yang semakin jelas gambarannya. Hal ini bisa mempengaruhi Letkol Untung Syamsuri sebagai Komandan Batalion 1 Cakrabirawa yang sejak awal sangat begitu yakin dengan keberadaan Dewan Jenderal. Apalagi saat itu dibarengi dengan penemuan Dokumen Gilchrist.
Sukarno, lanjut Subandrio, rupanya terbakar oleh provokasi yang menyebutkan Inggris dan AS bekerja sama untuk menumbangkannya karena masalah konflik konfrontasi Indonesia-Malaysia di Borneo (Kalimantan) tersebut. Terlepas dari asli-tidaknya dokumen itu, Subandrio menilai bahwa ini adalah alat provokasi untuk memainkan TNI AD dalam situasi politik Indonesia yang memang tidak stabil.
“Dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung Bung Karno dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia seperti itu berada di rumah Palmer, yang menjadi bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan suatu cara provokasi?” ujar Subandrio lagi.
Mantan Kepala Pos CIA di Jakarta B Hugh Tovar dalam catatan kaki buku ‘Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto' (2008) tulisan John Roosa menyangkal laporan pimpinannya tentang peristiwa G30S, di mana pihak AS telah memanasi dan memancing TNI AD dan PKI bentrokan dengan operasi-operasi rahasia, termasuk operasi surat kaleng dan media massa. Bahkan ia juga menyangkal bahwa Letjen Ahmad Yani dan beberapa jenderal lainnya berkomplot untuk melawan Sukarno. “Ide tentang Dewan Jenderal yang telah disas-suskan selama tahun-tahun itu hanyalah mitos (maksud saya benar-benar mitos),” kata Tovar.
Sejarawan Taufik Abdullah dalam buku ‘Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI’ (2006) tulisan Eros Djarot dkk mengatakan isu tentang Dewan Jenderal yang disuarakan PKI tidaklah benar. Sebab, logikanya, para jenderal selalu rapat di Markas Besar ABRI saat itu. Tapi PKI menuduh rapat para jenderal itu untuk merancang kudeta. “Ini kan jenderal-jenderal yang memutuskan siapa yang naik pangkat atau tidak, siapa dapat jabatan apa. Jadi nggak benar tuduhan PKI itu,” kata Taufik.
Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho