Ilustrasi: Denny Putra
Jumat, 19 Agustus 2022“Indonesia berdasarkan Pancasila itu mengapa disetujui ulama? Karena dasarnya tauhid, Ketuhanan yang Maha Esa. Ini pun pengertian saya terakhir. Dulunya saya, Pancasila itu syirik. Tapi, setelah saya pelajari selanjutnya, ndak mungkin ulama menyetujui dasar negara syirik, itu ndak mungkin. Karena ulama itu mesti niatnya ikhlas.”
Itulah penggalan pernyataan Ustaz Abu Bakar Ba’asyir, pendiri Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, yang kini menerima Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia. Video rekaman pernyataannya berdurasi 30-an detik tersebut diunggah akun Facebook KataKita pada Senin, 1 Agustus 2022.
Pengakuan terkini Ustaz Abu Bakar Ba’asyir itu dibenarkan salah satu putranya, Abdul Rochim, yang biasa disapa Iim. Abdul Rochim menjelaskan pernyataan ayahnya itu direkam sudah lama. “Betul, itu video sudah cukup lama, sekitar tiga atau empat bulan lalu,” kata Iim, Selasa, 2 Agustus 2022.
Iim menegaskan sebenarnya sudah lama Pancasila diterima oleh Ba’asyir. Hanya, ada pihak lain yang menarik Pancasila dengan pemahaman yang ingin dibenturkan dengan ajaran Islam. Pancasila yang diakui Ba’asyir adalah yang sesuai dengan maksud para pendiri bangsa. “Kalau dipahami sesuai aslinya, sebagaimana maksud para pendiri bangsa, beliau tidak pernah ada masalah dari dulu,” jelas dia.
Putra Abu Bakar Ba'asyir, Abdul Rochim
Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikJateng
Ba’asyir, yang kini berusia 84 tahun, terlihat bijak menyampaikan pernyataannya tersebut. Padahal pria kelahiran Pekuden, Mojo Agung, Jombang, Jawa Timur, 17 Agustus 1938, itu dikenal sebagai tokoh yang gigih melawan pemerintah dengan tak mengakui NKRI dan Pancasila. Ia banyak disangkutpautkan dengan aksi-aksi terorisme di Indonesia sepanjang 1980 hingga 2000-an.
Deputi VII Bidang Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara Wawan Hari Purwanto bilang pengakuan dan pernyataan Ba’asyir merupakan hasil renungan pribadi setelah menjalani rangkaian proses interaksi di lembaga pemasyarakatan. Bahwa ternyata ajaran Pancasila selaras dengan ajaran ketauhidan (Islam).
“Menurut saya, Ustaz (Abu Bakar Ba’asyir) sudah mau menerima Pancasila dan kembali ke pangkuan NKRI,” kata Wawan kepada detikX, Kamis, 18 Agustus 2022.
Dari sejumlah sumber yang dirangkum detikX, Ba’asyir pernah mengenyam pendidikan di Ponpes Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, hingga 1959. Ia melanjutkan studi di Fakultas Dakwah Universitas Al-Irsyad, Surakarta, hingga 1963.
Saat di bangku kuliah, Ba’asyir aktif dalam organisasi Pemuda Al Irsyad Solo dan Himpunan Mahasiswa Islam Solo. Kemudian ia sempat menjadi Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia pada 1961 dan Ketua Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam.
Selain aktif di organisasi kepemudaan tersebut, Ba’asyir aktif dalam forum pengajian. Ia sempat mendirikan Radio Dakwah Islam Al Irsyad pada 1967 dan kemudian Radio Dakwah Islamiyah Surakarta (RADIS). Melalui pancaran radio itu, Ba’asyir berdakwah yang isinya banyak bersinggungan dengan kebijakan pemerintah. Tak lama kemudian, radio tersebut dilarang mengudara oleh pemerintah.
Abu Bakar Ba'asyir
Foto: Ari Saputra/detikcom
Lalu, bersama sejumlah temannya, seperti Abdullah Sungkar, Abdullah Baraja, Yoyok Rosywandi, Abdul Qohar Daeng Matase, dan Hasan Basri, Ba’asyir mendirikan Pondok Pesantren Islam Al Mukim di Dukuh Ngruki, Desa Cemani, Kecamatan Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, pada 10 Maret 1972. Sepuluh tahun kemudian, Ba’asyir dan Abdullah Sungkar ditangkap karena dituduh menghasut orang untuk menolak asas tunggal Pancasila. Ba’asyir juga melarang santrinya melakukan hormat bendera karena, menurutnya, hal itu merupakan perbuatan syirik.
Bukan hanya itu. Ba’asyir dan Abdullah Sungkar juga dianggap bagian dari gerakan Haji Ismail Pranoto atau Hispran, salah satu tokoh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Jawa Tengah. Keduanya lalu divonis hukuman 9 tahun bui. Selama masa tahanan rumah, karena keduanya mengajukan proses kasasi di Mahkamah Agung, keduanya berusaha melarikan diri ke Malaysia.
Presiden Soeharto mengesahkan aturan asas tunggal Pancasila pada 1985. Semua partai politik dan organisasi kemasyarakatan wajib menjadikan Pancasila sebagai ideologi organisasi. Saat itu, semua organisasi keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, menerima asas tunggal Pancasila karena tidak bertentangan dengan Islam atau tidak menggantikan agama.
Namun sejumlah aktivis muslim lainnya menolaknya dan lebih menginginkan negara Islam. Mereka yang menolak banyak yang dijebloskan ke penjara, sementara yang lainnya terpaksa melarikan diri ke pengasingan. Salah satu yang memilih kabur adalah Ba’asyir dan Abdullah Sungkar.
Karena menolak pemberlakuan asas tunggal tersebut, Ba’asyir dan Abdullah Sungkar diburu pihak keamanan dan intelijen. Keduanya berhasil melarikan diri dari Solo ke Jakarta, lalu ke Medan. Di Medan mereka berhasil menyeberang ke negeri jiran Malaysia melalui Tanjung Balai, Asahan.
Abu Bakar Ba'asyir saat bebas murni dari Lapas Gunung Sindur, Bogor, pada 8 Januari 2021
Foto: Yulius Satria Wijaya/ANTARA Foto
Keduanya juga sempat sampai ke Arab Saudi dan Pakistan. Di Pakistan mereka bertemu dengan Abdul Rabbi Rasul Sayyaf, pimpinan faksi Mujahidin Ijtihad Al Islami, yang juga karib Osama bin Laden, pemimpin Al Qaeda. Hasil pertemuan tersebut dijajaki kemungkinan pengiriman kader-kader Darul Islam (DI) dari Indonesia untuk pelatihan militer di Afghanistan. Sejak itulah Ba’asyir dan Abdullah Sungkar mendirikan Jamaah Islamiyah (JI) di Malaysia pada 1 Januari 1993. JI dipercayai memiliki hubungan erat dengan organisasi teroris internasional, Al Qaeda.
Dikutip dari buku Perkembangan Terorisme Indonesia yang disusun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2013 disebutkan, Ba’asyir dan Abdullah Sungkar tak hanya mengembangkan negara Islam Indonesia, tetapi daulah/khilafah Islam. Wilayah politiknya meliputi Malaysia, Singapura, Indonesia, Thailand, Filipina, dan Australia.
Alasannya membentuk daulah Islam adalah mereka menilai pemerintah Indonesia sebagai pemerintahan thogut dan kafir dengan tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara, melainkan Pancasila.
Sementara itu, International Crisis Group (ICG) dalam laporannya menyebutkan, JI ingin mengubah Indonesia sebagai negara Islam atau merevitalisasi kekhalifahan Islam melalui jihad. Dalam laporan itu juga disebutkan sejumlah warga negara Indonesia pernah dilatih di kamp pelatihan militer di Afghanistan pada 1980 hingga 1990-an.
Awalnya, aktivis JI lebih pada membantu Al Qaeda dalam melakukan teror melawan Amerika Serikat. Namun, pada 2000, JI mulai melancarkan aksi terornya sendiri di Indonesia, mulai bom malam Natal pada 2000, bom gereja di Medan dan Jakarta, bom Istiqlal, bom di rumah Duta Besar Filipina untuk Indonesia di Jakarta, serta Bom Bali I pada 2002.
Setelah bermukim di Malaysia selama 17 tahun, Ba’asyir kembali ke Indonesia di era Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999. Ia sempat mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), salah satu organisasi keagamaan bergaris keras yang ingin menegakkan syariat Islam di Indonesia.
Abu Bakar Ba'asyir di Ponpes Ngruki
Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikJateng
Pada 2002, Ba’asyir sempat akan dieksekusi pihak kejaksaan atas putusan MA terkait kasus penolakan asas tunggal Pancasila pada 1983. Tapi hal itu urung dilakukan karena Kejaksaan Agung menyatakan Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Tindak Pidana Subversi sudah dicabut. Namun Ba’asyir sempat ditahan 1 tahun 6 bulan karena dituduh melanggar keimigrasian pada Oktober 2002.
Pada 22 September 2002, majalah Time memuat berita berjudul 'Confessions of an Al Qaeda Terrorist' yang berisi bahwa Ba’asyir disebut terlibat perencanaan peledakan masjid Istiqlal. Tuduhan itu berdasarkan pengakuan tersangka terorisme Umar Al Faruq, yang ditangkap di Bogor, Jawa Barat, kepada interogator agen Central Intelligence Agency (CIA) di kamp tahanan militer Bagram, Afghanistan.
Al Faruq mengaku sebagai operator Al Qaeda di Asia Tenggara dan memiliki hubungan erat dengan Ba’asyir. Ia pun bernyanyi tentang keterlibatannya sebagai otak rangkaian bom pada 24 Desember 2000 (Bom Natal) dan Bom Bali 2002.
Karena ada pengakuan tersebut, tim Polri dikirim ke Bagram untuk menindaklanjuti pengakuan Umar Al Faruq. Akhirnya Ba’asyir ditetapkan sebagai tersangka pada 10 Oktober 2002. Pada 3 Maret 2005, Ba’asyir dijatuhi vonis hukuman 2 tahun 6 bulan penjara atas konspirasi serangan bom 2002 dan baru bebas pada 14 Juni 2006.
Setelah bebas, Ba’asyir menyatakan keluar dari MMI dan membentuk Jamaah Anshorut Tauhid (JAT). Empat tahun kemudian, ia kembali ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri atas tuduhan membiayai kamp pelatihan paramiliter atau teroris di Aceh senilai Rp 1,39 miliar pada Agustus 2010.
Atas kasus tersebut, Ba’asyir diganjar hukuman 15 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 16 Juni 2011. Ia sempat mengajukan banding dan kasasi ke MA, tapi ditolak. Akhirnya Ba’asyir harus mendekam di sel jeruji besi di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap. Selama di sel tahanan, ia selalu menerima sejumlah aktivis MMI dan pengikutnya. Ia pun sempat membuat buku tipis dua jilid berjudul 'Tadzkiroh' pada 2012.
Momen saat Abu Bakar Ba'asyir hendak mengikuti upacara 17 Agustus 1945
Foto: ANTARA Foto
Isi buku tersebut mengajak kaum muslimin atau pengikutnya berjihad melawan pemerintah Indonesia yang dianggap thogut dan kafir. Ia pun mengajak para pemimpin negara dan pemerintahan, baik presiden, MPR/DPR, Polri, dan TNI, segera bertobat. Ia menyatakan penguasa NKRI yang muslim wajib mengatur negara sesuai syariat Islam secara murni, bukan malah mencampur-adukkan dengan ideologi syirik, seperti Pancasila, nasionalisme, dan demokrasi ala Barat. Peredaran buku itu tercium aparat keamanan dan dilarang peredarannya oleh Kejaksaan Agung.
Tempat penahanan Ba’asyir dipindahkan dari Nusakambangan ke LP Gunung Sindur, Bogor, pada 2018. Selama masa tahanan itu pula, Ba’asyir menerima remisi setiap perayaan Idul Fitri dan HUT Kemerdekaan RI.
Ba’asyir yang kian sepuh dan sakit-sakitan sempat bakal dibebaskan oleh Presiden Joko Widodo bila mengajukan grasi. Sayangnya, melalui kuasa hukumnya, Ba’asyir tak mengajukan grasi dan menolak meneken nota kesetiaan kepada NKRI dan Pancasila.
Akhirnya, setelah 10 tahun mendekam di dalam penjara, Ba’asyir bisa bebas murni dari LP Gunung Sindur pada 8 Januari 2021. Ia kembali ke Ponpes Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo.
Setahun kemudian, ia menyatakan Pancasila sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Bahkan, untuk pertama kalinya, semua santri dan pengajar di Ponpes Al Mukmin menyelenggarakan upacara pengibaran bendera Merah-Putih merayakan kemerdekaan atau HUT ke-77 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2022.
Reporter: M Rizal, Bayu Ardi Isnanto (detikJateng)
Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho