Ilustrasi: Edi Wahyono
Minggu, 14 Agustus 2022Seorang pria asal China berusia sekitar 35 tahun terlihat begitu mencolok di antara para warga lokal berkulit hitam di Desa Kamwendo, sebuah daerah di negara Malawi, Afrika. Sejauh mata memandang, hanya dia satu-satunya orang berkulit putih di sana. Warga lokal, kebanyakan anak-anak, menyebutnya dengan panggilan Susu. Dalam Bahasa Mandarin Susu memiliki arti paman.
Di pagi hari, biasanya Susu memanggil anak-anak untuk berkumpul. Sambil menyiapkan tripod dan kamera, Susu mulai memasang lagu dan memerintahkan anak-anak itu untuk meneriakan kata-kata dan berjoget di tengah panasnya terik matahari. Sementara Susu berlindung di bawah pintu belakang mobil van putih miliknya sambil duduk dan merekam anak-anak.
Pria yang belakangan diketahui bernama Lu Ke itu ternyata merupakan salah satu otak di balik munculnya tren mengirim video berisi aneka ucapan personal dari Afrika. Di dalam konten buatan Lu Ke, orang-orang Afrika bernyanyi dan berjoget sambil menyerukan berbagai pesan manis seperti ucapan selamat ulang tahun atau berbagai pesan personal lainnya.
Anda mungkin juga pernah melihat video ini berseliweran di sosial media. Bisa jadi video itu juga dibikin oleh Lu Ke. Sejumlah artis dan selebgram di Indonesia pun pernah memakai jasa mereka. Tren video ucapan dari Afrika Viral ini tidak hanya viral di Indonesia, tapi juga di negara lain seperti China, Jepang, Singapura, dan Malaysia.
Memang banyak orang terhibur dengan konten bikinan Lu Ke. Orang-orang Afrika yang berjoget dengan riang selalu sukses membuat penontonnya tertawa geli. Namun, sayangnya gara-gara konten itu pula, Lu Ke malah menjadi buronan hingga akhirnya ditangkap oleh pemerintah Malawi. Belum lama ini ia diekstradisi ke negeri asalnya untuk diadili di sana.
Rekaman video bernada rasis yang dibuat Lu Ke
Foto: Dok BBC
Semua berawal dari sebuah video bermuatan konten rasialis yang muncul di media sosial China pada Februari 2020. Konten tersebut memperlihatkan sekelompok anak Afrika menyerukan kata-kata dalam bahasa Mandarin melalui instruksi seseorang di balik kamera. Kata-kata tersebut diucapkan dengan penuh semangat dan keceriaan.
Tapi anak-anak itu tidak mengerti jika kata-kata yang baru saja mereka serukan begitu merendahkan mereka. "Saya seorang monster hitam dan IQ saya sangat rendah". Video itu sontak mengundang kemarahan tidak hanya di kalangan pengguna sosial media di China, tapi juga di seluruh dunia.
Video itu juga memancing emosi Runako Celina, seorang perempuan asal Afrika yang menempuh pendidikan pascasarjana jurusan International Politics and African Studies di Peking University, Beijing. Runako diam-diam melakukan investigasi untuk mengumpulkan bukti-bukti kejahatan Lu Ke. Hasil investigasi itu dimuat dalam sebuah video dokumenter yang ditayangkan dua bulan lalu oleh BBC Africa Eye dengan judul ‘Racism for Sale’.
Dari China, perempuan yang fasih berbahasa Mandarin ini sengaja terbang ke Afrika. Runako ‘melabrak’ Lu Ke saat ia tengah duduk sambil asyik menyesap sebatang rokok di Desa Kamwendo. Tampaknya Lu Ke baru saja selesai melakukan kegiatannya, yaitu membuat konten video ucapan. Tanpa basa basi, Runako langsung saja melancarkan pertanyaan beserta bukti temuan yang berhasil ia kumpulkan bersama Henry Mhango, seorang jurnalis asal Malawi.
“Saya cuma ingin menyebarkan budaya China, musik, tarian, termasuk Bahasa Mandarin lewat kata-kata dan menyanyikan lagu-lagu China,” begitu jawab Lu Ke, sedikit agak gelagapan ketika tiba-tiba ditanya mengenai tujuannya membuat video-video itu. Namun. Lu Ke langsung menolak mentah-mentah ketika dituduh sebagai pembuat video bermuatan rasialis itu. “Bukan saya yang membuatnya, tapi teman saya. Dia sudah tidak ada di sini, dia kembali ke China,” tegas Lu Ke.
Lu Ke
Foto: Dok. BBC
Tapi di hadapan Paul, seorang pria asal China yang telah berkerja sama dengan Runako, Lu Ke membuat pernyataan berbeda. Menggunakan kamera tersembunyi, Paul menyamar menjadi seorang pengusaha yang ingin memakai jasa Lu Ke untuk membuat video iklan. Paul berhasil membuat Lu Ke berbicara mengenai industri yang ia jalani
“Jangan perlakukan mereka sebagai teman. Jangan pernah kasihani mereka, anda harus ingat itu. Jangan pernah kasihani mereka. Bagaimanapun situasi keluarganya. Itu cara anda memperlakukan orang kulit hitam. Ingat-ingat itu,” begitu pesan Lu Ke kepada Paul sebagai sesama keturunan Tiongkok yang bekerja di Afrika.
Pada pertemuan selanjutnya Paul langsung menunjukan "video IQ rendah" dan bertanya apakah dia adalah pembuatnya. “Iya, ini punya saya,” kata Lu Ke. Tapi tidak sampai satu menit, ia menyanggah kalimatnya barusan. “Tunggu ini bukan punya saya. Itu dibuat oleh teman saya. Saya merekomendasikan anda untuk menghapus video itu. Jangan sampai orang kulit hitam melihat video ini, ” ucapnya. Lu Ke tahu betul jika video yang dibuatnya merupakan video kontroversial. Nampaknya, Lu Ke merasa kelepasan telah membocorkan rahasianya.
Tak cukup sampai di situ, Runako menemukan bukti lain saat bertemu dengan anak-anak yang sering muncul di video bikinan Lu Ke. Bocah berusia enam tahun ini bernama Bright. Sejak dua tahun lalu, Bright sudah menjadi salah satu artis dari konten buatan Lu Ke. Bright mengungkapkan berbagai perlakuan Lu Ke yang begitu bejat kepada anak-anak di sana.
“Dia akan mencubit saya kalau kami melakukan kesalahan. Dan ketika kami salah dia akan memukul kami menggunakan batang kayu dan menghukum kami,” ucap Bright dengan nada sedih.
Di dalam rumahnya yang begitu sederhana, Fausika Banda, ibu Bright, juga mencurahkan isi hatinya. Ia tidak berdaya ketika Lu Ke membawa pergi anaknya untuk membuat video. Terlebih lagi video itu dia buat di pukul 09.00 pagi di saat seharusnya anak-anak itu pergi sekolah.
“Saya sudah membawanya pergi. Tapi pria itu akan kembali dan membawa anak saya pergi lagi. Itu sangat menyakitkan bagi saya. Anak saya sudah banyak menderita,” kata Fausika. Tak peduli meski Bright sedang sakit, Lu Ke akan datang sambil membawa iming-iming berupa sepotong ayam kecil. Bright akan memakannya lalu pergi bekerja.
Saat Lu Ke datang ke desa mereka, warga lokal sempat mengira Lu Ke merekam video itu untuk kegiatan amal. Mereka mengira Lu Ke melakukan itu untuk ikut memperbaiki desa sekaligus mengajarkan Bahasa Mandarin. Anak-anak itu memang bisa melafalkan Bahasa Mandarin namun mereka tidak mengerti apa artinya. Warga pun mulai khawatir di saat anak-anak mereka tidak lagi pergi sekolah.
“Mereka (anak-anak) akan berakhir menjadi tidak berpendidikan. Mereka akan berakhir mengemis atau mencuri. Jadi saya tidak senang tentang itu,” ucap salah seorang warga Desa Kamwendo yang ditemui Runako.
Salah satu video ucapan ulang tahun dari pria-pria Afrika
Foto: Dok @yourjoystudio
Kenyataannya, imigran asal negeri bambu ini malah menggunakan anak-anak sebagai properti untuk kepentingan pribadi. Dengan menjual kemiskinan sebagai komoditas yang bisa dimanfaatkan untuk menyanyi dan menari demi keuntungan.
Beberapa tahun lalu, Negara Malawi dinobatkan sebagai negara termiskin di dunia dengan pendapatan kurang dari 1 US Dollar per hari. Wajar saja jika para anak-anak ini tidak menolak jika Lu Ke memberikan imbalan berupa amplop berisi uang setengah dollar seusai syuting video selesai.
Asal tahu saja, satu video yang dibikin Lu Ke dijual dengan kisaran harga US$ 10-70 atau setara dengan Rp 150 ribu sampai Rp 1 juta. Di hadapan Paul, Lu Ke sempat mengaku ia mengeruk keuntungan besar dari bisnis ini. “Saya pernah rekor membuat 380 video dalam sehari,” ucap Lu Ke. Untuk satu video bikinannya Lu Ke mendapatkan keuntungan US$ 29,8. Itu artinya dalam sehari, Lu Ke pernah mengantongi uang sebanyak US$ 11.324 atau setara Rp 116 juta.
Dengan penghasilan sebanyak itu, tak ada sedikit pun bantuan yang datang dari Lu Ke untuk warga di sana. Lu Ke malah memperlakukan mereka layaknya binatang. Dalam sebuah video di akun sosial media miliknya, Lu Ke tengah berlagak bak raja. Sementara anak-anak polos itu memijat dan mencuci kakinya.
Meski kini Lu Ke sudah dikembalikan ke negeri asalnya, namun nampaknya industri ini akan tetap berkembang dengan anak-anak seperti Bright yang dieksploitasi setiap hari untuk menghibur orang-orang yang tinggal jauh dari mereka. Dari hasil telusur Runako, kelihatannya Lu Ke tidak bekerja seorang diri. Saat diberondong pertanyaan, lagi-lagi Lu Ke sempat keceplosan. “Saya tidak menghasilkan uang dari sini. Yang menghasilkan uang adalah agen,” Kata Lu Ke.
“Apa tadi kamu bilang ada agen, jadi ini industri yang sangat besar, kan?” cecar Runako. “Anda pikir itu besar karena ada agen?” jawab Lu Ke. Namun, tanpa sempat memberikan waktu kepada Lu Ke untuk melanjutkan kalimatnya, Runako buru-buru memotong. “Lalu kenapa kamu butuh agen? Jika itu hanya syuting dan untuk kepentingan publik, mengapa Anda membutuhkan agen?” Video dokumenter itu pun berakhir tanpa jawaban pasti.
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho