INTERMESO

Upacara
Kemerdekaan Perdana
di Rengasdengklok

Para camat, lurah, dan masyarakat di Karawang lebih dulu menggelar upacara bendera sebelum proklamasi kemerdekaan dibacakan. Bendera Jepang diturunkan.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Jumat, 12 Agustus 2022

Dudum umurnya baru 10 tahun dan duduk di kelas III sekolah dasar di Kampung Bojong, Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, pada 1945 itu. Dudum dikenal pandai melukis. Tak salah bila kakak angkatnya seorang komandan peleton pasukan Pembela Tanah Air (PETA) Shudanco Umar Bahsan memintanya membuat sketsa peristiwa penting pada hari Kamis, 16 Agustus 1945.

Hari itu adalah sehari sebelum teks proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Sukarno-Hatta di Jakarta, 17 Agustus 1945, di Jakarta. “Dum, sekarang tidak ada kodak (kamera). Kamu harus menggambar semua yang kamu lihat, cepat,” pinta Umar.

Berbekal pensil dan kertas, Dudum melukis sketsa peristiwa penting yang terjadi di Kampung Bojong, Rengasdengklok. Pertama, membuat sketsa kedatangan rombongan Sukarno-Hatta yang diamankan para pemuda pejuang ke kampung itu. Kedua, membuat sketsa penurunan bendera Hinomaru (Jepang) dan pengibaran bendera Merah-Putih di halaman kantor Kawedanan Rengasdengklok.

Sepenggal kisah bocah pelukis yang menjadi saksi kedatangan Sukarno-Hatta dan pengibaran bendera Merah-Putih pada 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok itu terangkum dalam buku Rengasdengklok Tentara PETA dan Proklamasi 17 Agustus 1945 karya Sanusi Wirasuminta (1995) dan buku Rengasdengklok Undercover yang disusun Forum Pemuda Peduli Sejarah Karawang (2018).

Setelah dewasa, Dudum, yang memiliki nama lengkap Haji Tubagus Dudum Sonjaya, menjadi seniman lukis profesional hingga akhir hayatnya di Cianjur, Jawa Barat.

Sketsa pengibaran bendera Merah-Putih dan upacara proklamasi kemerdekaan di halaman Kawedanan Rengasdengklok karya Dudum Sonjaya
Foto: repro buku Rengasdengklok Undercover

Sebelumnya, di pagi pada hari yang sama, Socho atau Camat Rengasdengklok R Suyono Hadipranoto didatangi anggota PETA, yang memintanya segera hadir ke Chudan II (markas Kompi II) di Kampung Kalimati. Suyono bingung ada apa gerangan. Padahal hari itu ia harus hadir dalam acara rapat membahas masalah cadangan padi bersama Sutaryo Kartohadikusumo (Syuchokan/Residen Jakarta), R Juarsa (Karawang Kencho/Bupati), Rengasdengklok Guncho (Wedana), para soncho (camat), kucho (kepala desa), hingga para pengurus kumiai (koperasi padi dan beras) di pendapa Kawedanan Rengasdengklok.

Di tengah perjalanan, Suyono diberi tahu anggota PETA bahwa serombongan pemuda dari Jakarta datang membawa Sukarno, Mohammad Hatta, dan Fatmawati beserta putra sulungnya, Guntur, ke markas Chudan. Sesampainya di markas, Suyono disambut Sukarni dan dua orang berpakaian perwira PETA, yaitu Dokter Sucipto dan Singgih. Ketiganya menerangkan bahwa Sukarno-Hatta terpaksa diamankan karena situasi di Jakarta tak aman.

Mereka juga mengabarkan, Jepang sudah kalah perang dan tak lama lagi Sekutu akan datang menguasai Tanah Air. Sebelum hal itu terjadi, bangsa Indonesia harus segera menyatakan merdeka. “Karena itu, kepada Saudara (Suyono) sebagai satu-satunya penguasa di wilayah ini yang kami percayai dan kami kenal, saya minta agar mengumumkan pernyataan bahwa sejak saat ini ‘Bangsa Indonesia adalah bangsa yang merdeka, yang berkuasa penuh dalam negerinya sendiri yang berbentuk republik, Republik Indonesia',” pinta mereka kepada Suyono.

Suyono pun diminta menyiapkan bendera Merah-Putih dan mengumpulkan rakyat sebanyak mungkin untuk berkumpul di kantor Kawedanan Rengasdengklok. Setelah itu dikibarkan bendera Merah-Putih untuk menggantikan bendera Hinomaru. Tak lupa Suyono pun diminta memberikan pidato penjelasan kepada rakyat yang ditutup dengan kalimat ‘Bangsa dan Negara Indonesia sejak detik ini merdeka’.

Raden Suyono Hadipranoto, Bupati Purwakarta pertama, saat menjadi Camat Rengasdengklok menjadi inspektur upacara proklamasi kemerdekaan 16 Agustus 1945
Foto: Arsip Nasional Republik Indonesia

Suyono sempat bertanya, kenapa tugas itu dilimpahkan kepada dirinya yang hanya sebagai camat. “Mengapa saya? Mengapa tidak Paduka Tuan Wedana Rengasdengklok atau salah satu dari kalian?”. Pertanyaan itu langsung dijawab Dokter Sucipto. “Kami bukan penguasa dalam daerah ini, dan wedanamu sudah kami tawan. Sekarang berada bersama-sama dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Jadi kamu sekarang mempunyai keleluasaan yang tak terbatas. Ayolah laksanakan cepat dan jangan banyak bertanya.”

Kira-kira pukul 08.30 WIB, Suyono kembali ke pendapa Kawedanan. Ternyata para camat lain dan kepala desa sudah berdatangan. Ia menugaskan Wakil Wedana menyiapkan bendera Merah-Putih dengan ukuran 2x1 meter. Camat lainnya diserahi tugas mengumpulkan rakyat di Pasar Rengasdengklok serta para pejabat di kantor-kantor sekitar kantor Wedana. Suyono menyiapkan isi pidato yang akan disampaikan nanti.

Hari semakin siang. Tepat pukul 10.00 WIB, semua camat, kepala desa, dan rakyat berkumpul mengelilingi tiang bendera di halaman pendapa Kawedanan. Sebagai inspektur upacara, Suyono mulai melaksanakan upacara. Dengan suara yang keras, ia berkata, “Saudara-saudara, perhatikan, perhatikan... bendera Hinomaru turunkan.” Para pemuda dari anggota seinendan pun menurunkan bendera Jepang itu. Tak lama, Suyono pun berkata kembali, “Kibarkan Sang Merah-Putih.” Seketika para seinendan menaikkan bendera Merah-Putih. Semua terdiam, hening dan terharu.

Suyono, yang pernah ikut Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), bingung. Ia pernah memimpin pengibaran bendera ketika di kepanduan. Ketika bendera dinaikkan, akan ada lagu perjuangan yang dinyanyikan. Kali ini ia tak bisa memberi aba-aba untuk menghormat bendera atau menyanyikan lagu Indonesia Raya. Karena orang-orang yang berkumpul mengelilingi tiang bendera adalah rakyat biasa. Kebanyakan adalah tukang sayur, tukang ikan, tukang tani, tukang gerabah, kusir sado, tukang kain, mantri kesehatan, juru tulis, juru telepon, pegawai dan pejabat, serta entah pekerjaan yang lainnya.

Tempat Sukarno dan Hatta singgah di rumah Djiaw Kie Siong, Kalimati, Rengasdengklok, 16 Agustus 1945
Foto: Arsip Nasional Republik Indonesia

Suyono hanya diam saja sambil membiarkan air mata meleleh membasahi pipinya. Sementara itu, semua orang memandang Sang Merah Putih seperti orang yang rindu akan keluarganya yang baru muncul setelah beberapa tahun tak bertemu. “Saudara-saudara sekalian! Kita sekarang ini berkumpul di sini akan menghayati suatu peristiwa penting dalam sejarah tanah air kita,” ucap Suyono seperti dikutip dalam buku Rengasdengklok: Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 karya Her Suganda (2009).

Setelah itu, Suyono pun menjelaskan kenapa semua orang dikumpulkan di halaman Kawedanan Rengasdengklok. Ia memberi tahu bahwa Jepang sudah kalah perang dan menyerah kepada Sekutu. Tentara Inggris dan Amerika Serikat dan yang lain akan datang melucuti pasukan Jepang. Karena itu, bangsa Indonesia tak mau lagi bila negara ini diserahkan kepada Sekutu.

“Pemerintah di wilayah ini, di Kewedanan Rengasdengklok, saya dengan ini menyatakan rakyat atau bangsa Indonesia merdeka. Merdeka dalam negaranya sendiri, merdeka yang berarti tidak dijajah oleh siapa pun. Oleh karenanya, tidak mau dan tidak boleh ditimbang-timbang oleh balatentara Dai Nippon atau oleh siapa pun kepada siapa pun juga,” begitu pidato Suyono, yang langsung disambut sorak dan tepuk tangan dengan teriakan ‘Hidup…!’ dan ‘Merdeka…!’. Tapi ada juga yang tertawa dan tersenyum saja karena tak tahu apa yang harus diperbuat.

Setelah upacara bubar, tiba-tiba para pejabat Bupati Karawang dan jajarannya datang pukul 11.00 WIB. Kedatangan mereka untuk menghadiri rapat masalah cadangan padi sesuai jadwal yang ada, bukan upacara bendera. Lalu Suyono dan beberapa camat lainnya mempersilakan para pejabat itu menuju markas Chundco II PETA. Di tempat itu ada rombongan Sukarno-Hatta, yang tengah berdiskusi dengan para pemuda pergerakan.

Di rumah Djiaw Ki Siong, seorang pembuat dan pedagang peti mati, Sukarno-Hatta berdebat hebat dengan para pemuda pergerakan yang dianggap telah menculiknya. Kelompok pemuda tetap mendesak Sukarno-Hatta segera mengumumkan proklamasi kemerdekaan hari itu juga. Setelah kondisinya tenang, Sukarno menjelaskan bahwa ia sebelumnya sudah memikirkan akan mengumumkan proklamasi kemerdekaan itu sejak berada di Saigon, Vietnam, yaitu pada 17 Agustus 1945.

Gedung eks Kawedanan Rengasdengklok yang tak terurus.
Foto: dok. Darma PG

“Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan secara pertimbangan akal mengapa 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku bahwa waktu itu adalah saat yang baik,” ucap Sukarno, seperti dikutip dalam buku Samudera Merah Putih. Sukarno menjelaskan, angka 17 adalah angka keramat dan suci. Apalagi saat itu bersamaan dengan bulan suci Ramadan dan persis di hari Jumat Legi, hari Jumat yang berbahagia. “Selain itu, Al-Qur’an diturunkan di tanggal 17 dan orang Islam sembahyang 17 rakaat. Oleh karena itu, kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia,” jelas Sukarno lagi.

Sementara itu, menurut Ketua Forum Pemuda Peduli Sejarah Karawang, Dharma Putra Gotama, apa yang terjadi di Rengasdengklok tersebut merupakan bagian dari strategi untuk memerdekakan Indonesia. Awalnya proklamasi dan pengibaran bendera akan dilakukan di Rengasdengklok. Tetapi akhirnya ada keputusan tidak bisa di Karawang, karena bukan daerah sentral. “Akhirnya dipilih di Jakarta walaupun di Jakarta pun tempatnya berubah, yang awalnya di Lapangan Ikada (Monas) akhirnya berubah di Jalan Pegangsaan Timur karena alasan keamanan dan akan menyebabkan konflik besar. Jadi sebenarnya, kalau Rengasdengklok dianggap tempat penculikan, menjadi ambigu,” kata Dharma kepada detikX, Jumat, 12 Agustus 2022.

Dalam kesempatan itu, Dharma menyayangkan kepedulian masyarakat dan pejabat pemerintah saat ini, khususnya di Pemkab Karawang, terhadap bekas kantor Kawedanan Rengasdengklok, yang dibiarkan terbengkalai tak terurus. Saat ini bekas kantor Kawedanan itu teronggok tak terpelihara, penuh dengan coretan dan ilalang, bau pesing, serta di depannya menjadi lahan parkiran. Padahal bangunan itu bisa menjadi cagar budaya nasional.

“Kalau usaha, sama sekali nggak ada (dari Pemkab Karawang). Cuma istilahnya ada rapat-rapat saja nggak jelas membahas revitalisasi gedung itu. Usaha untuk merevitalisasi dan menjaganya itu nggak ada,” pungkas Dharma.


Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE