INTERMESO

Dari Lotre Sampai SDSB

“Kalau banyak masalah seperti ini, sakit kepala saya. Kerjaan kita banyak.”

Ilustrasi: Edi Wahyono

Jumat, 08 Juli 2022

Sebagai aktivis mahasiswa, Hasyim Asy’ari beberapa kali turun ke jalan untuk menentang kebijakan rezim Orde Baru. Salah satu aksi demonstrasinya yang terbesar adalah ketika menolak kebijakan Presiden Soeharto yang melegalkan judi lotre berkedok sumbangan pada 1991-1993. Nama program Soeharto itu adalah Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).

Kala itu, Hasyim masih duduk di bangku kuliah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah. Ia mengerahkan sekitar 3.000 mahasiswa untuk mendemo Soeharto. Dengan berapi-api, Haysim berorasi menuntut Soeharto segera menghentikan peredaran kupon SDSB.

Soeharto melegalkan SDSB dengan dalih untuk mengembangkan dana olahraga di Indonesia. Tapi, kenyataannya, sistem sumbangan itu mirip judi yang sudah ada sebelumnya di Indonesia. "Kami turun ke jalan mendemo kebijakan itu,” kata Hasyim Asy’ari, yang kini menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Rabu, 13 April 2022, lalu.

Aksi demontrasi memprotes SDSB tak hanya terjadi di Purwokerto. Demo mahasiswa dalam jumlah besar juga muncul di Makassar (Sulawesi Selatan), Jember dan Surabaya (Jawa Timur), Solo dan Pekalongan (Jawa Tengah), Yogyakarta, dan Jakarta. Di samping mahasiswa, banyak organisasi kepemudaan dan Majelis Ulama Indonesia menyuarakan hal yang sama: tutup SDSB.

Para penentang kupon SDSB tambah geram ketika pemerintah begitu lamban menangani masalah tersebut. Buntutnya, gelombang protes makin memuncak dan panas. Sejumlah kios penjualan kupon SDSB dibakar di beberapa wilayah di Jakarta dan daerah lainnya. Akhirnya, dalam rapat di DPR, Menteri Sosial Endang Kusuma Inten Soewono mengumumkan penghapusan kupon SDSB.

Presiden Soeharto
Foto: Dok detikcom 

Peredaran kupon SDSB, yang dikelola Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) sesuai Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor BS-10-4/91 yang diteken Mensos Haryati Soebadio, akhirnya bisa berhenti pada 24 September 1994. Sejak saat itu, SDSB menghilang dari Indonesia.

Judi berkedok dana sumbangan memang cukup panjang sejarahnya. Wayu Lumaksono dan Anik Andayani dalam tulisannya yang dimuat dalam Jurnal Pendidikan Sejarah berjudul “Legalisasi Porkas dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Pada 1985-1987” (2014) menyebutkan, pada era kemerdekaan hingga tahun 1960-an, kondisi ekonomi dan sosial masih buruk. Masyarakat pun banyak yang mengambil jalan pintas untuk menyejahterakan hidupnya dengan cara berjudi.

Perjudian yang pernah dilegalkan seperti lotre buntut, lotre toto raga, lotre toto, Nasional Lotere (Nalo) dan lotre totalisator tengah marak saat itu. Karena banyak ditentang sejumlah kalangan, model perjudian yang ada saat itu dihapus melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian.

Tapi, empat tahun kemudian, muncul perjudian dengan model undian berhadiah. Diawali dengan munculnya Lotere Dana Harapan yang dikelola Yayasan Rehabilitasi Sosial dan pada 1978 menjadi Badan Usaha Undian Harapan. Lotere Dana Harapan ini hasilnya digunakan untuk membiayai penanggulangan masalah sosial. Hal itu sesuai dengan aturan yang tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor B.A. 5-4-76/169.

Tak beberapa lama, Dana Harapan dibekukan setelah diprotes karena menjurus ke perjudian. Setelah itu, muncul Sumbangan Sosial Berhadiah (SSB) yang dikelola Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) pada 1979. Kupon sumbangan ini disebut dengan nama Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB) atau Kupon Sumbangan Sosial Berhadiah (KSSB).

Kupon ini dicetak 4 juta lembar dan diundi setiap dua pekan sekali. Sejak TSSB/KSSB beroperasi pada 1979 hingga 1988, diperkirakanan perputaran uangnya mencapai Rp 1 triliun per tahun. Untuk tahun 1988 saja, omzetnya mencapai Rp 962,4 miliar. Dana itu digunakan untuk bantuan sosial, pendidikan, dan olahraga. Dana disebarkan kepada rakyat dalam bentuk hadiah serta honor bagi para agen dan pengecer kupon.

Robby Sumampaw yang dikenal sebagai raja Porkas karena mengelola Porkas melalui YDBKS
Foto: Istimewa

Dalam kurun waktu yang sama, diedarkan pula kupon Pekan Olahraga dan Ketangkasan (Porkas). Porkas dimanfaatkan untuk pembinaan olahraga, yang dimulai sejak 1986. Sebelum Porkas beredar, Soeharto menugaskan Menteri Sosial Mohammad Syafa’at Mintaredja ke Inggris untuk mempelajari bagaimana undian berhadiah ini dilakukan oleh Forecast Inggris selama dua tahun. Penyelengaaraan Forecast Inggris dilaksanakan dengan bentuk sederhana dan tidak menimbulkan ekses judi.

Pemerintah mencoba mengaplikasikan Forecast itu dengan nama Porkas Sepakbola, mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1954 tentang Undian. Kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor BSS-10-12/1985 tanggal 10 Desember 1985 yang diteken Mensos Nani Soedarsono. Tapi, secara resmi, Porkas baru diberlakukan pada 1986. Kemunculannya sempat ditentang masyarakat, karena dianggap perjudian baru.

Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu, Abdul Gafur, menyatakan bahwa Porkas Sepakbola adalah permainan, bukan judi. Ia menegaskan, sebelum Porkas diberlakukan, pemerintah telah mengadakan penelitian cukup lama dan komprehensif. Porkas sebenarnya mirip dengan lotre atau toto di Spanyol pada 1985, yaitu menebak hasil pertandingan sepakbola atas 14 klub profesional yang masuk divisi utama di negeri itu.

Peluang menang Porkas adalah 1:10 juta. Artinya, seorang pembeli kupon harus membeli 10 juta kupon untuk mendapatkan hadiah utama. Hal itulah yang menjadikan Porkas sangat sulit ditebak. Padahal tujuan utamanya adalah untuk mencari dana pembinaan olahraga. Jadi permainan Porkas dibuat sulit dalam sistem menebaknya agar tidak mudah bangkrut.

Porkas terbilang sukses. Dana besar yang terkumpul dari undian itu dipakai untuk membiayai kompetisi sepakbola Galatama yang dikelola Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Pembeli Porkas harus memilih hasil pertandingan yang terdiri dari menang-seri-kalah. Pemerintah melalui PSSI dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) melakukan undian setiap sepekan sekali setelah 14 klub bertanding.

Kupon SDSB
Foto : Twitter Wahyu Susilo

“Sepak bola menjadi lahan basah untuk praktik undian berhadiah ini. Bagaimana pun ini tetap berbau unsur spekulasi karena ada unsur itu masuk ke judi,” kata sosiolog Universitas Gadjah Mada Suprapto seperti dikutip detikcom, Oktober 2020, lalu.

Pemerintah pun keukeuh menyatakan Porkas bukan judi. Sebab, judi selalu dikaitkan dengan angka, sedangkan Porkas tidak. Aturan tentang Porkas mengacu pada UU No. 2 Tahun 1954 tentang Undian. Kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Sosial No. BSS-10-12/85 bertanggal 10 Desember 1985.

“Pemerintah tetap mengklaim Porkas berbeda dengan undian hadiah berbau judi sebelumnya. Dalam Porkas tidak ada tebakan angka, melainkan penebakan menang-seri-kalah. Peredarannya pun hanya sampai tingkat kabupaten, dan batasan usianya 17 tahun,” bebernya.

Porkas kemudian bertransformasi menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) pada 1987. Pelaksanaan KSOB mengacu pada Surat Keputusan Menteri Sosoal Nomor 29/BSS 1987. Kupon undian ini dijual Rp 600 per lembar dengan hadiah utama Rp 8 juta. Dalam KSOB, ada dua macam kupon. Pertama kupon tak hanya berisi tebakan menang-seri-kalah, tapi juga skor pertandingan, skor babak pertama, dan babak kedua. Kupon kedua berisi tebakan sepakbola dan huruf.

Dari Januari-Desember 1987, undian KSOB ini menyedot dana masyarakat mencapai Rp 221,2 miliar. Pertengahan tahun 1988, Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi Persatuan Pembangunan menyatakan Porkas dan KSOB menimbulkan akibat negatif. Saat itu masyarakat menengah ke bawah, termasuk di pedesaan, menjadi sasaran empuk. Mereka dibuat miskin oleh Porkas.

Bachriar Chamsyah usai bebas dari LP Cipinang pada 25 Mei 2012 
Foto : Jhoni Hutapea/detikcom

Porkas atau KSOB ditentang MUI, karena digolongkan sebagai judi. Bukannya hilang, tapi muncul bentuk baru dengan nama Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) berdasarkan keputusan Menteri Sosoal Nomor 21/BSS/XII/1988 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengumpulan SDSB dan Keputusan Menteri Sosial Nomor BSS 16-11/1988 tentang Pemberian Izin Penyelenggaraan Pengumpulan SDSB kepada YDBKS.

Sama dengan pendahulunya, undian SDSB akhirnya mengarah pada praktek judi juga. Undian Porkas dan SDSB ini menghilang seiring dengan jatuhnya Soeharto pada 1999 silam. Enam tahun kemudian sempat muncul akan diterbitkannya undian serupa, tapi dengan nama Kartu Pos Olahraga (KPO) yang dikelola PT Prima Selaras pada 2005. Tapi ide itu tenggelam.

Menteri Sosial saat itu, Bachtiar Chamsyah, menolak untuk memberikan izin undian berhadiah itu. “Kalau banyak masalah seperti ini, sakit kepala saya. Kerjaan kita banyak,” kata Bachtiar seraya terkekeh dan memegangi kepalanya saat ditemui di Istana Presiden, Jakarta, 19 September 2005.


Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE