INTERMESO

Jangan Sembarangan Sentuh Anakku

Orang tua harus mengajarkan buah hati mereka pemahaman soal otoritas tubuh. Juga menyadari bahwa tak boleh sembarangan menyentuh anak.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Sabtu, 2 Juli 2022

Kasus kekerasan seksual yang belakangan ini menimpa anak-anak membuat semua orang tua was-was, tak terkecuali Amanda Melanie. Di Gresik, Jawa Timur, seorang pria tertangkap basah kamera CCTV tengah mencium bocah. Dan yang terbaru di sebuah mal di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, seorang pria nekat mencolek anak di mal. Di depan orang tuanya pula. Sungguh gila.

Akibatnya, Amanda tak tenang jika harus meninggalkan anak perempuan dan anak laki-lakinya yang masing-masing berusia empat tahun dan sembilan tahun di rumah. Terlebih yang menjaga mereka berdua di kala orang tuanya sedang bekerja hanya ibunya dan seorang asisten rumah tangga. Sejak berita viral itu, Amanda bahkan sempat melarang anaknya bermain di luar rumah.

“Sebenarnya sejak pandemi udah mulai menurun. Aku udah mulai ngebebasin anak aku main di luar. Tapi sejak ada kasus ini jadi ngeri banget. Banyak orang sinting di luar sana,” ucap Amanda.

Cerita yang ia dengar dari teman kantornya membuat Amanda semakin bergidik ngeri. Saat itu temannya tak sengaja menyaksikan seorang bocah laki-laki sedang buang air kecil di sebuah toilet di pusat perbelanjaan. Lalu ada seorang pria asing yang mencolek bokong anak itu dari belakang. Pria itu segera pergi setelah dihardik oleh temannya.

“Dulu aku pikirnya anak pas udah gedean dibiarin ke toilet sendiri biar bisa mandiri. Wah, setelah dengar cerita itu sekarang aku nggak berani lagi, deh,” ungkapnya. “Mendingan kalau di toilet terpisah, tetap bawa anaknya ke satu toilet yang sama dengan orangtuanya.”

Video penangkapan seorang laki-laki yang diduga melecehkan anak di sebuah mal di Jakarta Selatan 28 Juni 2022
Foto : YouTube CNN Indonesia

Wajar saja jika para orang tua seperti Amanda mengambil langkah ekstra untuk melindungi buah hati mereka dari predator seksual anak. Amanda harus menelan pil pahit bahwasanya Indonesia masih belum menjadi negara yang bisa memberikan rasa aman pada anak. Dari seluruh kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak dan perempuan di tahun 2021, mirisnya kasus kekerasan seksual pada anak mengambil porsi yang besar.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat sekitar 14.517 kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan. Sementara dari jumlah itu, terdapat 45,1 persen atau setara dengan 6.547 kasus kekerasan seksual pada anak. Lebih parahnya lagi, laporan kasus kekerasan seksual seperti fenomena gunung es, di mana jumlah kasus tercatat bisa jadi lebih sedikit dari pada jumlah persoalan yang sebenarnya terjadi di masyarakat.

Lalu, apakah itu artinya orang tua harus menutup rapat pintu rumah dan ‘memenjarakan’ anaknya di balik pagar rumah? Menurut Pakar Psikologi Universitas Airlangga (Unair), Margaretha Rehulina, S.Psi., G.Dip.Psych., M.Sc., membatasi interaksi sosial mereka bukanlah tindakan tepat. Langkah yang seharusnya orang tua lakukan agar anak mereka tidak menjadi korban selanjutnya dari predator seksual adalah dengan memberdayakan anak itu sendiri.

“Jangan nantinya anak dilarang ke luar. Jangan main. Jadi dibatasi interaksi sosial. Anak harus diberdayakan. Anak harus bisa membedakan apa relasi sehat dan tidak sehat,” ujar Margaretha saat dihubungi detikX. “Relasi sehat adalah hubungan yang akan memberikan sukacita. Kalau malah muncul rasa, gelisah, bingung, takut, perasaan tidak nyaman, itu bukan relasi sehat.”

Ketimbang melarang anak, lebih baik orang tua mengajarkan buah hati mereka pemahaman soal otoritas tubuh. Anak berhak dan memiliki keuasaan penuh atas tubuhnya sendiri. Dengan demikian, si anak dapat menolak kontak fisik orang lain yang tidak ia inginkan. Pelajaran ini sebaiknya diajarkan sedini mungkin. Respons anak untuk menolak ini penting karena jika kekerasan seksual itu terjadi, pernyataan penolakan anak bisa dijadikan bukti pelanggaran kuat di pengadilan.

Psikolog anak Universitas Airlangga, Margaretha Rehulina
Foto: Dok Pribadi

“Anaknya harus diajarkan bahwa tubuhnya bukan milik orang lain. Siapa yang diperbolehkan dan diberikan izin menyentuh harus berdasarkan keputusan anaknya. Kalau ada yang melanggar kamu berhak bilang 'tidak.' 'Stop menyentuh tubuh saya'. Itu harus diajarkan secara eksplisit kepada anak,” ungkap pengajar dan peneliti di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga sejak 2004, serta Konselor Anak dan Remaja di Unit Pelayanan Psikologi Universitas Airlangga ini.

“Persetujuan atau konsen dapat dijadikan moral magic untuk membedakan apakah tindakan orang itu benar atau salah. Persetujuan atau konsen itu seperti moral magic yang bisa membedakan mana yang main bersama dan mana yang pelecehan seksual,” katanya.

Di saat sentuhan tidak aman terjadi, anak harus diajarkan untuk pergi atau melapor ke tempat aman. Untuk itu, di lingkungannya, harus ada figur yang bisa dipercaya dan menjadi tempat anak untuk bercerita. “Anak akan melihat orangtua sebagai tempat aman dan nyaman. Sayangnya tidak semua orangtua dianggap cukup hangat. Yang ada malah mereka menyalahakan, mengabaikan, jangan ngomong begitu, bikin malu keluarga. Jelas anak tidak akan menyampaikan apa yang dialami,” jelasnya.

Di lain pihak, sudah sepantasnya orang dewasa belajar menahan diri untuk tidak sembarangan memegang anak orang lain, apalagi tanpa izin dari anak itu dan orangtuanya. Jika menyentuh anak tanpa izin, bisa-bisa tindakan itu diartikan sebagai bentuk kekerasan seksual pada anak.

“Itu terjadi karena rendahnya kendali seksualitas dan orang yang tidak cakap mengelola stress. Semua orang tau namanya minat seksual terhadap anak salah. Hanya orang yang lemah kendalinya sampai dia melakukan itu,” katanya.

Ilustrasi pelecehan anak
Foto:  iStock

Perilaku kekerasan seksual semacam ini, menurut Margaretha, sangat beresiko terjadi secara jamak dan dilakukan secara berulang. Maka dari itu, ia sangat menyayangkan jika tindak kekerasan seksual diselesaikan melalui jalan damai atau secara kekeluargaan.

Dengan resiko pengulangan yang sangat tinggi, ketika laporan tindak pelecehan seksual terhadap anak diselesaikan secara kekeluargaan, maka nama pelaku tidak akan tersimpan dalam catatan kriminal. Di lain kesempatan, tidak mustahil jika pelaku kembali beraksi atau berkecimpung di pekerjaan yang berhubungan dengan dunia anak.

Untuk mencegah pengulangan kejahatan seksual terjadi, pelaku dalam usia produktif seksual sangat disarankan mendapatkan hukuman maksimal dan dibantu untuk mampu mengelola seksualitasnya kelak. “Katakan pelaku masih berusia 20-30 tahun. Lalu mendapat hukuman maksimal 15 tahun penjara. Begitu keluar tahanan, residivis masih di usia produktif,” tutupnya.


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE