Ilustrasi: Edi Wahyono
Jumat, 1 Juli 202232 tahun silam, tabloid hiburan Monitor dibredel. Surat Izin Usaha Perusahaan Pers-nya (SIUPP) dicabut pada 1990. Bahkan, pemimpin redaksi tabloid tersebut, Arswendo Atmowiloto, divonis hukuman lima tahun penjara. Dia dituduh melakukan penistaan agama dalam artikel berjudul “Ini Dia: 50 Tokoh Yang Dikagumi Pembaca Kita” yang terbit pada edisi Nomor 225/IV, 15 Oktober 1990.
Awalnya, format Monitor berupa majalah yang dikelola oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI) sejak 1972. Sayangnya, oplah penjualan majalah itu melempem, hanya 10 ribu eksemplar. Akhirnya, majalah tersebut berhenti produksi pada edisi ke-24 pada tahun 1973. Setelah mati suri selama lima tahun, Monitor dihidupkan kembali dengan format tabloid oleh Yayasan Gema Tanah Air pada 1979.
Tabloid Monitor mencapai titik puncaknya dengan menjadi salah satu media cetak yang mengulas dunia film, televisi, dan hiburan secara lebih lepas dan mendalam. Arswendo, yang didapuk menjadi penanggungjawab atau pemimpin redaksi, menjadikan tabloid itu lebih menarik. Tak heran jika hingga medio 1987-1990, oplah tabloid ini mencapai 800 ribu eksemplar dengan harga eceran Rp 500.
Tahun 1989 adalah masa keemasan tabloid berukuran 28,5 x 41 centimeter dengan 16 halaman tersebut. Belanja iklan melejit hingga mencapai Rp 6,32 miliar. Kala itu, duduk sebagai Komisaris Utama di tabloid itu Menteri Penerangan Harmoko, yang memiliki 30 persen saham. Direktur Utama perusahaan itu Jakob Oetama, yang juga memiliki 40 persen saham. Sedangkan Pemimpin Umum dan wakilnya adalah M. Sani dan Suyanto.
Salah satu kiat sukses Arswendo mengelola Monitor adalah dengan menerapkan jurnalisme lher. Waktu itu, jurnalisme lher dikenal sebagai jurnalisme yang memadukan sensasi dan pornografi. Secara umum, konten Monitor berisi seputar dunia hiburan. Tabloid itu membahas program televisi, film, musik, dan gosip artis. Juga melengkapinya dengan infografis, tabel, dan berbagai data yang menarik.
Arswendo ingin menjadikan Monitor sebagai TV Guide. Hanya saja, untuk halaman sampul, Monitor biasa menampilkan foto-foto seronok. Judul-judulnya juga dibuat menggoda dan cenderung berasosiasi ke urusan seksualitas. Banyak yang memuji Monitor dan Arswendo pada waktu itu, tetapi juga banyak yang mencibir tabloid tersebut dengan menyebut para pengelolanya berselera rendahan.
Arswendo Atmowiloto
Foto: Dok Detikcom
Arswendo tak bergeming dengan cibiran itu. Apalagi banyak orang yang menggemari produk tabloid yang dikelolanya itu. Kejayaan Monitor mulai sirna sejak edisi 2 September 1990. Saat itu, Monitor mengeluarkan sebuah kuis atau angket bertajuk “Kagum 5 Juta”. Kuis itu mengajak para pembaca tabloid ikut memilih tokoh favorit yang mereka kagumi dengan cara mengirimkan kartu pos.
Hasil angket tersebut mencatat pembaca Monitor menjadikan tokoh favoritnya seperti Presiden Suharto sebanyak 5.003 kartu pos pembaca. Lalu di bawahnya Menteri Negera Riset dan Teknologi (Menristek) BJ Habibie dikagumi oleh 2.975 kartu pos pembaca. Selanjutnya, Presiden Sukarno (2.662 kartu pos), penyanyi Iwan Fals (2.431 kartu pos), dan pendakwah Zainuddin MZ (1.663 kartu pos).
Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Jenderal Try Sutrisno, dikagumi oleh 1.447 kartu pos pembaca. Di bawahnya berturut-turut adalah Presiden Irak Sadam Hussein (847 kartu pos), Siti Hardijanti Indra Rukmana alias Mbak Tutut Suharto (800 kartu pos), Menteri Penerangan Harmoko (797 kartu pos), Arswendo Atmowiloto (663 kartu pos), dan Nabi Muhammad SAW (616 kartu pos).
Hasil kuis tersebut lalu dimuat di edisi Nomor 225/IV, 15 Oktober 1990 dengan judul “Ini Dia: 50 Tokoh Yang Dikagumi Pembaca Kita.” Di artikel tersebut, Suharto menempati peringkat pertama, disusul BJ Habibie, Sukarno, Iwan Fals, Zainuddin MZ, Try Sutrisno, Sadam Hussein, Mbak Tutut, dan Harmoko. Lalu Arswendo di urutan ke-10 dan Nabi Muhammad di urutan ke-11.
Sontak masyarakat, khususnya umat Islam di Indonesia, dibuat marah dengan artikel itu. Monitor dan Arswendo dituduh telah menghinaIslam. Reaksi keras muncul dari mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir, Amien Rais, Rhoma Irama, Zainuddin MZ, Patrialis Akbar, Din Syamsuddin, KH. Hasan Basri, Deliar Noer, hingga Nurcholis Madjid (Cak Nur). Reaksi keras juga muncul dari kalangan pemerintah, seperti Harmoko dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Moerdiono.
“Angket yang dimuat Monitor telah menjurus ke hal SARA. Kalau pun pengelola menganggap angket itu sebagai suatu gurauan, harusnya mereka tahu diri, mana yang boleh diguraukan dan mana yang tidak. Keyakinan adalah hal yang hakiki, tidak boleh dibuat suatu gurauan,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Hasan Basri kala itu seperti dikutip Pantau dan Gramedia pada 2019.
Salah satu contoh edisi Tabloid Monitor
Foto: dok. zagabookz/tokopedia
Tapi rupanya kemarahan massa yang protes terus memuncak. Mereka menggeruduk kantor redaksi Monitor di Jalan Palmerah, Jakarta Barat, pada 17 Oktober 1990. Arswendo meminta maaf secara terbuka melalui siaran televisi pada tanggal 19 Oktober. Ia meminta maaf karena menerbitkan hasil jajak pendapat ‘tanpa penyuntingan’. Tabloid Monitor juga merilis permohonan maaf di berbagai surat kabar nasional pada 22 Oktober.
Tapi, karena kadung emosional, massa pemuda Islam kembali menggeruduk dan mengobrak-abrik kantor Monitor pada hari itu. Kaca jendela pecah, komputer dirusak, dan foto artis yang dipajang di dinding pun menjadi sasaran. Arswendo sempat menyelamatkan diri dan meminta perlindungan ke Polres Jakarta Pusat di Jalan Kramat.
Menteri Penerangan mengeluarkan keputusan Nomor 162/Kep/Menpen/1990 pada 23 Oktober 1990 yang isinya membatalkan SIUPP atau membredel Monitor. Arswendo pun dipecat dari Group Gramedia dan resmi ditahan polisi pada 26 Oktober 1990 dan dipindahkan ke Rutan Salemba ketika kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selama persidangan, sekitar 1.000 personel polisi dan militer berjaga-jaga.
Jaksa menuntut Arswendo, pria kelahiran Surakarta, 24 November 1948, itu, dengan pasal berlapis. Arswendo dikenakan Pasal 156 KUHP tentang penghinaan agama, Pasal 157 KUHP tentang penyebaran penghinaan terhadap golongan penduduk dan Pasal 19 Undang-Undang Pokok Pers tahun 1982 tentang pelanggaran fungsi dan kewajiban pers.
Dalam persidangan, Arswendo membacakan pledoi setebal 16 halaman berjudul “Sebagai Pribadi Atau Kelompok Kita Ini Lemah dan Mudah Cemas. Sebagai Bangsa Kita ini Kuat, Liat, dan Selalu Mayoritas”. Dia meminta maaf lagi dan menyatakan penyesalan dalam pledoinya sembari menjelaskan kronologi pembuatan angket “Kagum 5 Juta” itu.“Harusnya saya sudah tahu. Tanpa ada yang memberi tahu pun, harusnya sudah tahu. Nyatanya saya bego. Sangat bego. Jahilun,” ungkap Arswendo saat itu.
Arswendo Atmowiloto
Foto: Dok Detikcom
Akhirnya Arswendo divonis majelis hakim hukuman lima tahun penjara pada April 1991. Selama dibui di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Arswendo pun masih tetap rajin menulis artikel, naskah skenario, novel, hingga cerita bersambung. Ia kerap memakai nama alias, seperti Sukmo Sasmito, Lani Biki, Said Saat, dan BMD Hararap.
Dari semua tokoh yang begitu keras mengkritik tabloid Monitor dan Arswendo, hanya KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang lebih moderat. Sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Gus Dur saat itu tak sepakat bila media cetak itu dibredel SIUPP-nya dan menolak adanya aksi main hakim sendiri.
“Saya tidak setuju dengan pencabutan SIUPP apapun. Bawalah ke pengadilan. Itulah penyelesaian yang terbaik. Bung Karno zaman kolonial dia dihukum oleh pemerintah kolonial, tapi dia membuat pledoi dalam 'Indonesia Menggugat'" kata Gus Dur dalam buku Tabayyun Gus Dur (1998).
Atas pembelaan Gus Dur itulah, Arswendo memuji sosok yang dianggapnya dewa tersebut. "Bagi saya Gus Dur itu bukan wali, aslinya sampai sekarang pun saya yakin beliau itu dewa, cuma nyamar jadi kiai. Saya tidak habis pikir, apa untungnya membela saya? Toh saya nggak kenal dekat dengan Gus Dur,” kata Arswendo dalam sebuah acara di kantor PBNU pada 2014.
Arswendo meninggal dunia pada 19 Juli 2019 di rumahnya di kawasan Jakarta Selatan. Jurnalis senior yang nyentrik ini tutup usia pada usia 71 tahun dan dikuburkan di tempat pemakaman San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.
Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho