Ilustrasi : Foto para korban Tragedi 12 Mei 1998 saat peringatan Tragedi Trisakti 1998 yang digelar di Universitas Trisakti, Jakarta, 12 Mei 2015 (Agung Pambudhy/detikcom)
Kamis, 12 Mei 2022Tepat 24 tahun silam, mahasiswa turun ke jalan. Aksi demonstrasi serentak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia pada Mei 1998. Tuntutannya adalah Soeharto harus segera lengser dari jabatannya sebagai presiden. Sudah 32 tahun lamanya jabatan itu digenggam oleh Soeharto.
Dilantiknya Soeharto menjadi Presiden untuk periode keenam dalam Sidang Umum MPR, 10 Maret 1998, memicu mendidihnya suhu perpolitikan nasional. Situasi juga diperparah oleh dampak krisis moneter di Asia Tenggara, yang membuat perekonomian Indonesia terpuruk.
Mahasiswa dari berbagai elemen dan kampus turun ke jalanan, tak terkecuali mahasiswa Universitas Trisakti (Usakti), Jakarta. Selasa, 12 Mei 1998, semua civitas akademika kampus tersebut, yang berjumlah 6.000 orang, berkumpul dan menggelar aksi mimbar bebas di pelataran Gedung Syarif Thayeb (Gedung M) pukul 10.00 WIB.
Dikutip dari laman Universitas Trisakti, acara pada hari itu diawali dengan penurunan bendera setengah tiang, diiringi alunan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Tak lupa pembacaan doa atas kondisi bangsa dan rakyat yang tengah susah. Setelah itu, orasi secara bergiliran dilakukan perwakilan dosen, karyawan, dan mahasiswa.
Awalnya acara mimbar bebas berjalan aman dan lancar. Tetapi, situasi kemudian memanas ketika aparat keamanan, yaitu Brimob Polri dan TNI, menghadang pergerakan mahasiswa tepat di bawah jalan layang Jalan Jenderal S. Parman.
Satgas mahasiswa bersiaga penuh mengatur barisan. Mereka mengimbau mahasiswa tetap tertib. Sekitar pukul 12.40 WIB - 12.50 WIB, gerbang kampus dibuka. Mahasiswa ke luar untuk long march ke gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat (MPR/DPR), melewati kampus Universitas Tarumanegara (Untar).
Ribuan mahasiswa dari Universitas Trisakti dihadang oleh mobil lapis baja polisi ketika menggelar aksi di jalanan kawasan Jakarta Barat, 12 Mei 1998
Foto EN/FY/AA via REUTERS
Tapi long march itu terhalang polisi bertameng-pentungan tepat di depan pintu masuk kantor Wali Kota Jakarta Barat. Perwakilan senat mahasiswa sempat bernegosiasi dengan Komandan Kodim Jakarta Barat, Letkol Inf A. Amril, dan Kepala Polres Jakarta Barat, Letkol Timur Pradopo. Gagal. Mahasiswa dilarang long march dengan alasan akan menimbulkan kemacetan lalu lintas.
Mahasiswa kecewa. Saat itu massa lain pun datang bergabung dalam aksi mimbar bebas di jalanan depan kantor Wali Kota Jakarta Barat. Bersamaan waktunya, datang tambahan aparat pengendali massa (Dalmas) sebanyak 4 truk. Pasukan dari Kodam Jaya dan polisi lainnya juga berdatangan ke lokasi.
Sekitar pukul 16.45 WIB-16.55 WIB, perwakilan mahasiswa kembali melakukan negosiasi. Hasilnya disepakati. Baik mahasiswa dan aparat keamanan sama-sama harus mundur. Awalnya mahasiswa enggan mundur, tapi setelah dibujuk oleh dekan Fakultas Ekonomi dan Hukum, serta SMUT, mereka berjalan mundur.
Sekitar pukul 17.00 WIB, ketika mahasiswa mundur, tiba-tiba seorang oknum bernama Mashud, yang mengaku alumni, berteriak memaki massa. Hal itu mancing massa untuk mengejarnya hingga ke barisan aparat. Kejadian itu memancing gesekan antara aparat keamanan dan mahasiswa. Tapi kerusuhan segera dapat dikendalikan.
Akhirnya tepat pukul 17.15 WIB, mahasiswa mundur. Tapi kali ini, terdengar ejekan dari oknum aparat keamanan. Hal itu memicu mahasiswa untuk berbalik arah. Aparat mulai menembakkan peluru karet dan gas air mata ke arah massa. Mahasiwa panik dan tercerai-berai, berlindung di dalam Kampus Usakti.
Aparat terus melakukan penembakan. Korban berjatuhan dan dilarikan ke Rumah Sakit Sumber Waras. Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brimob, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam, serta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Steyr, dan SS-1.
Aparat menembak secara membabi buta, melempar gas air mata di hampir setiap sisi jalan, memukul mahasiswa dengan pentungan dan popor, menendang dan menginjak mereka, serta melakukan pelecehan seksual terhadap para mahasiswi. Termasuk Ketua SMUT yang berada di antara aparat dan massa mahasiswa tertembak oleh dua peluru karet di pinggang sebelah kanan.
Demonstran melempar batu ke arah polisi antihuru-hara di persimpangan dekat Universitas Trisakti, Jakarta, 12 Mei 1998
Foto: REUTERS
Kemudian datang pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan rompi yang bertuliskan URC mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan sebagian naik ke jembatan layang Grogol. Sementara aparat lainnya sambil berlari mengejar mahasiswa, juga menangkap dan menganiaya beberapa mahasiswa dan mahasiswi. Mereka lalu dibiarkan begitu saja tergeletak di tengah jalan.
Aksi penyerbuan terus dilakukan aparat. Aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakan ke mahasiswa yang berlarian di dalam kampus. Aparat yang di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang. Mereka membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri) lalu melesakkan tembakan ke mahasiswa yang kocar-kacir di dalam kampus.
Rentetan tembakan itu mengakibatkan jatuhnya korban, baik luka maupun meninggal dunia. Yang meninggal dunia seketika di dalam kampus tiga orang dan satu orang lainnya di rumah sakit. Beberapa mahasiswa dalam kondisi kritis. Sementara korban luka-luka ada 15 orang dan memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
Pukul 19.00 WIB, tembakan mereda. Para mahasiswa mulai melakukan evakuasi korban di beberapa titik lokasi menuju rumah sakit. Empat mahasiswa Trisakti yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (20), Heri Hertanto (21), Hafidin Royan (22) dan Hendriawan Sie (23). Mereka tertembak peluru tajam di dalam kampus.
Dikutip dari buku Indonesia X-Files tulisan ahli forensik RSCM, dr. Abdul Mun'im Idries tahun 2013, masing-masing korban mendapat luka tembak pada daerah yang mematikan bukan untuk melumpuhkan. "Ini jelas dari lokasi luka tembak, yaitu di bagian tubuh mematikan, ada di daerah dahi dan tembus ke belakang kepala, ada yang di daerah leher, di daerah punggung dan dada," terang Mun'im.
Mun'im yang saat itu melakukan pemeriksaan forensik menemukan mantel dari proyektil berwarna kuning tembaga di daerah leher di belakang batang tengkorak. Satu proyektil ukuran 5,56 milimeter ditemukan masih bersarang di dada kiri salah satu korban. Dua korban lainnya tak ditemukan proyektil karena menembus tubuh mereka.
Baca Juga : Dulu Mereka Mengamankan Garis Belakang
Potret pemakaman Elang Mulyana Lesmana, salah satu korban Tragedi Trisakti, 12 Mei 1998
Foto: EN/FY/CLH via REUTERS
Kematian keempat mahasiswa Trisakti itu membuat rakyat marah. Buntutnya terjadi kerusuhan massa di sejumlah kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi, Solo, Medan, dan Makassar. Mahasiswa pun terus berkonsolidasi dan menduduki gedung DPR, hingga akhirnya Soeharto menyatakan lengser.
Sementara jenazah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Kematian keempat mahasiswa itu akhirnya menyerat enam personil Brimob di Mahkamah Militer. Hasil autopsi Tim Pencari Fakta ABRI (TNI saat itu) mengungkapkan temuan serupa dengan Abdul Mun'im.
Tapi, Kepala Polri saat itu Jenderal Pol Dibyo Widodo membantah bila anak buahnya menggunakan peluru tajam. Begitu juga dengan Kepala Polda Metro Jaya, Mayjen Pol Hamami Nata. Ia menyatakan polisi yang mengamankan demo saat itu hanya menggunakan tongkat pemukul, peluru hampa (kosong), peluru karet, dan gas air mata.
Baru pada 27 Agustus 2001, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM). Tim penyelidik Ad Hoc ini bertugas menyeliduki dugaan pelanggaran HAM tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, tragedi Semanggi I pada 13 November 1998 dan Semanggi II pada 23 September 1999. Tim itu dipimpin Albert Hasibuan sebagai ketua dan Todung Mulya Lubis sebagai wakil ketua.
Anggota lainnya seperti Saparinah Sadli, Hendardi, Dadab Umar Daihani, Munarman Zoemrotin K Soesilo, Ita F Nadia, Ruth Indiah Rahayu dan Azyumardi Azra. Dalam lampiran tertanggal 20 Maret 2002, KPP HAM menyebut ada dua struktur komando operasi pada pengamanan saat peristiwa Trisakti. Pertama yaitu Komando Operasi Mantap Jaya III, yang merupakan bagian dari Operasi Mantap AVRI di bawah tanggungjawab Panglima ABRI Jenderal Wiranto.
Komando Operasi Mantap Jaya III terdiri dari satuan tempur ABRI dalam rangka pengamanan di Jakarta saat itu. Struktur komando kedua yaitu Komando Operasi Mantap Brata III yang dijalankan Kapolri Jenderal Dibyo Widodo. KPP HAM menemukan cukup bukti kuat adanya pelanggaran HAM berat dalam kasus Trisakti.
Potret pemakaman Hery Hartanto, salah satu korban Tragedi Trisakti, 12 Mei 1998
Foto: EN/FY/AA via REUTERS
Hampir seperempat abad kasus tragedi Trisakti belum mendapat titik terang penuntasannya. Komnas HAM sudah mengajukan berkas penyelidikannya ke Kejakaan Agung. Tapi sudah tiga kali berkas itu dikembalikan dengan berbagai alasan.
Tujuh tahun setelah kasus berdarah di Trisakti, almarhum Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hertanto, dan Hendriawan Sie ditetapkan sebagai Pahlawan Reformasi melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 057/PK/2005 tanggal 15 Agustus 2005. Keempatnya juga dianugerahi Bintang Jasa Kehormatan Pratama oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Negara.
Namun, keluarga korban tetap menuntut penuntasan kasus pembunuhan tersebut dan pelakunya ditangkap. Keluarga korban Trisakti juga sempat bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 13 Mei 2018 lalu.
Dalam pertemuan itu, peserta aksi Kamisan meminta Jokowi mengakui telah terjadi sejumlah pelanggaraan HAM di masa lalu, salah satunya Tragedi Trisakti. Mereka juga meminta Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.
Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho