INTERMESO

Kala Harus Memilih Antara Mudik Lebaran atau Bayar Kontrakan

"Dalam hati pasti pengen mudik. Tapi kondisi keuangannya lagi nggak baik."

Ilustrasi: Edi Wahyono

Sabtu, 30 April 2022

Baru kali ini Afina Wulandari merasakan pahitnya jadi anak rantau. Demi bisa mudik ke kampung halamannya di Kota Banda Aceh, Afina harus mengais tabungannya hingga kering. Anak sulung dari dua bersaudara ini membayangkan lagi perjuangannya mengumpulkan pundi-pundi uang selama dua tahun merantau di Jakarta. Di tanggal kritis pun ia rela makan ditemani nasi dan telor ceplok. Namun, apa daya, uangnya habis digunakan demi keperluan mudik.

“Sekarang aku ngerasain banget nggak enaknya ngerantau jauh-jauh dari rumah. Mudik biayanya mahal sekali," imbuh Afina saat dihubungi detikX beberapa hari lalu. Begitu lulus kuliah, Afina langsung diterima kerja sebagai staf keuangan di sebuah perusahaan di bidang pengolahan makanan dan minuman.

Biasanya untuk membeli segelas kopi saja Afina mesti berpikir belasan kali. Berat rasanya tangan Afina untuk mentransfer ongkos tiket pesawat yang harganya menyentuh hampir Rp 4 juta untuk pulang-pergi. Apalagi Afina hanya bisa pulang kampung selama satu minggu, mengikuti jadwal libur di kantor. "Harga tiket pesawatnya kan lagi mahal banget. Tapi sayangnya itu liburnya nggak lama,” keluhnya. Pesawat adalah satu-satunya pilihan Afina untuk pulang kampung, karena, jika melewati jalan darat, tentunya tidak akan efisien dan memakan waktu berhari-hari.

Karena Afina sudah bekerja, ia juga punya kewajiban untuk memberikan 'THR' kepada orangtua dan sanak saudaranya yang masih kecil. Sementara untuk keperluan baju baru, Afina sempat mensiasatinya dengan membeli baju bekas alias thrifting di Pasar Baru, Jakarta Barat.

“Kalau harus beli baju baru uangnya udah nggak bakalan cukup. Ini aja sisanya cuma tinggal duit receh di dompet buat jaga-jaga selama perjalanan,” kata Afina. “Harus nunggu gajian bulan depan baru bisa nafas lagi.”

Pemudik yang menggunakan sepeda motor melintas di jalur Pantura pekan ini
Foto: Andhika Prasetia/detikcom 

Lagi-lagi Oki Amiruddin tak bisa mudik ke Makassar, Sulawesi Selatan. Tahun ini ia kembali gigit jari karena uangnya tak cukup untuk pulang kampung. Pandemi COVID-19 membuat Oki terpaksa menerima pemutusan kerja (PHK) sepihak di tempatnya bekerja. Demi kelangsungan hidup keluarganya, Oki sempat mencari penghasilan tambahan dengan bekerja sebagai ojek online.

“Dalam hati pasti pengen mudik. Tapi kondisi keuangannya lagi nggak baik,” ungkap Oki yang baru akhir tahun lalu kembali mendapatkan pekerjaan sebagai staf retail di sebuah swalayan. Apalagi sudah tiga tahun belakangan ini Oki tidak bisa menjumpai ayahnya di Makassar. “Di kampung tinggal bapak doang satu-satunya. Ibu udah nggak ada. Semoga tahun depan dikasih rezeki buat mudik.”

Kebutuhan sehari-hari keluarganya saja sudah cukup mencekik, boro-boro ia bisa mudik. “Duit lagi susah dicari apalagi di musim Lebaran apa-apa pada naik,” tuturnya. Belum lagi tahun ini, Oki harus mengalokasikan dana untuk kebutuhan anak pertamanya masuk sekolah TK.

“Kita berempat aja udah mau Rp 20 juta. Itu juga cuma ongkosnya doang. Kalau sekarang saya mikirnya mending buat bayar kontrakan. Lumayan bisa buat bayar delapan bulan,” kata Oki. Lebaran tahun ini, sekali lagi, Oki harus bersilaturahmi melalui video call dengan ayah dan saudaranya.

Mudik tahun ini, Shafa membawa segunung paket dari Jakarta ke Mojokerto, Jawa Timur. Paket yang dibungkus dalam kardus beraneka ukuran itu isinya adalah aneka barang dan makanan titipan keluarga. Berbeda dari kebanyakan orang yang harus menggunakan pesawat untuk menjangkau kampung halaman, aneka barang titipan keluarganya ini justru membuat Shafa tak berkutik dan hanya bisa pulang kampung menggunakan mobil pribadi.

Para pemudik menumpang kapal Pelni 30 April 2022
Foto: Sylke Febrina Laucereno/detikcom

“Mereka nggak percaya sama jasa kurir, jadi mau nggak mau aku yang bawain,” ungkapnya. “Kalau pakai pesawat bisa kena biaya tambahan bagasi.”

Salah satu paket yang ia bawa berisi perlengkapan dapur dari ritel perabot rumah tangga terkenal yang cabangnya ada di Tangerang, Jakarta dan Bekasi. Ada pula makanan yang sedang hits di Jakarta. “Soalnya di kampung nggak ada apa-apa, jadi setiap mudik selalu dimanfaatin untuk jadi tempat titip,” katanya.

Namun, terkadang tak semua barang titipan itu ia tagih kepada yang menitip. Hal inilah yang membuat ongkos mudik Shafa dan suaminya jadi membengkak. “Namanya juga sama saudara sendiri, kadang ada perasaan nggak enak buat nagih. Hitung-hitung jadi oleh-oleh buat mereka,” katanya. Seperti tahun ini, Shafa membawa barang titipan senilai hampir Rp 10 juta untuk keluarganya di kampung.


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE