INTERMESO

Upaya Kiai Sholeh agar Orang Jawa Melek
Al-Qur'an

“Kiai Sholeh Darat dipercaya sama gurunya menjadi pengajar di Masjidil Haram. Beliau menjadi ulama Jawa yang mengajar para santri dari Jawa.”

Ilustrasi: Gatra/Agus Triyanto

Jumat, 22 April 2022

Gejolak jiwa Raden Ajeng Kartini untuk memahami agama Islam yang dianutnya terpenuhi setelah bertemu dengan seorang ulama besar dari Semarang, KH Muhammad bin Umar as-Samarani atau Kiai Sholeh Darat. Nama Darat disematkan pada sang kiai karena ia tinggal di Kampung Darat, Semarang Barat, atau sekitar pesisir pantai utara Semarang.

Takdirlah yang mempertemukan Kartini, yang tengah galau terkait agama yang dianutnya, dengan Kiai Sholeh Darat. Bertahun-tahun Kartini punya pengalaman buruk sejak belajar mengaji. Pada masa itu, belum ada terjemahan dan tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa, sehingga sulit bagi orang awam, termasuk Kartini, untuk mengerti dan memahami kandungan kitab suci tersebut.

Sebenarnya, Kiai Sholeh Darat lahir di Kedung Cemplung, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, pada 1820. Daerah Mayong juga merupakan kelahiran Kartini pada 21 April 1879. Setelah bertemu dan ikut mengaji kepada Kiai Sholeh Darat di pendapa Bupati Demak pada 1901, Kartini kembali tertarik mempelajari Islam secara lebih serius.

Sebelum pernikahannya dengan Bupati Rembang RM Adipati Ario Djojodhiningrat, pada 8 November 1903, Kartini mendapat hadiah kitab tafsir Al-Qur’an berjudul Faidlur Rahman fi Bayani Asrarir Qur’an. Kitab karya Kiai Sholeh Darat itu diserahkan melalui KH Ma’shum Demak. Kitab tersebut merupakan tafsir Al-Qur’an pertama di Nusantara yang menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab gundul, yang dikenal dengan sebutan pegon.

Ilustrasi RA. Kartini bersama Kiai Soleh Darat.
Ilustrasi: Edi Wahyono

Kartini sangat bersukacita menerima hadiah itu dan berkata, “Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikit pun maknanya. Tetapi sejak hari ini, ia menjadi terang benderang sampai pada makna tersiratnya. Sebab, Romo Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”

Kemudian, di sana, Kiai Sholeh Darat dipercaya sama gurunya menjadi pengajar di Masjidil Haram. Beliau menjadi ulama Jawa yang mengajar para santri dari Jawa.”

Salah satu ayat Al-Qur’an yang paling menyentuh hatinya adalah surah Al-Baqarah ayat 257 yang mencantumkan bahwa Allah-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya atau minazh zhulumaati ilan nuur. Satu bulan setelah memberikan hadiah kitab itu, Kiai Sholeh Darat wafat pada usianya yang ke-83 tahun pada Jumat, 18 Desember 1903 atau 28 Ramadan 1321 Hijriyah.

Dikutip dari tulisan dosen IAIN Walisongo, Semarang, M Masrur, berjudul Kyai Sholeh Darat, Tafsir Faidlu ar-Rahman dan RA Kartini dalam jurnal At-Taqqadum Volume 4 Nomor 1 tahun 2012, kitab Faidlu ar-Rahman yang dibuat tulisan tangan Kiai Sholeh Darat terdiri atas dua jilid besar. Jilid pertama mulai dari surat Al-Fatihah hingga surat Al- Baqoroh setebal 577 halaman. Jilid pertama mulai ditulis pada Jumat, 20 Rajab1309/19 Februari 1891 M dan selesai pada 19 Jumadil Awal 1310 H/9 Desember 1892 M.

Jilid pertama kitab itu dicetak di Singapura oleh percetakan Haji Muhammad Amin pada 27 Rabiul Akhir 1311 H/6 November 1893 M. Sedangkan jilid kedua terdiri atas surah Al-Imron sampai surah An-Nisa setebal 705 halaman selesai ditulis pada 17 Shafar 1312 H/19 Agustus 1894 M. Jilid kedua dicetak di tempat yang sama di Singapura pada 1895. “Jadi tafsir ini baru selesai sampai juz enam, surat akhir An-Nisa,” terang Masrur.

Kitab tafsir Kiai Sholeh Darat itu diambil bahan dari penulis tafsir andal lainnya, seperti kitab Tafsir Al Jalalain karya Imam Jalal ad-Din al-Mahali (1459 M) dan Imam Jalal as-Suyuti (1505 M), Tafsir Anwar at Tanjil wa Asrar at-Ta’wil karya Imam Abdullah ibnu Umar Al Baidawi (1286 M), Lubab at-Ta’wil Ma’ani at-Tanzil karya Syeikh Al’adin al Khazin (1360 M). Lalu Jawahir at Tafsir, Misykat Al-Anwar, dan Ihla Ulumudin karya Imam Ghazali (1111 M).

Selain meninggalkan karya tulis kitab tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa dan aksara pegon, Kiai Sholeh Darat juga membuat kurang lebih 14 kitab lainnya yang sudah mencakup semua aspek ilmu Islam. Semuanya dialihbahasakan ke bahasa Jawa.

“Ada ilmu tauhid, fiqih, tajwid, ulumul Qur’an, tafsir Qur’an, dan tasawuf. Jadi semua aspek ilmu Islam sudah ada,” kata Agus Tiyanto,  salah seorang kerabat keturunan Kiai Sholeh Darat sekaligus pembina Komunitas Pecinta Kiai Sholeh Darat (Kopisoda) Kota Semarang,  kepada detikX, Rabu, 20 April 2022.

Di Jawa, lanjut Agus, belum pernah ada ulama yang membuat tafsir Qur’an berbahasa Jawa. Tapi untuk tulisan huruf pegon (Arab gundul) memang sudah ada sejak lama. Misalnya menerjemahkan kitab fiqih yang menggunakan bahasa Jawa dengan huruf pegon dilakukan oleh Kiai Taptojani dari Magelang, guru ngaji Pangeran Diponegoro.

“Dan anehnya, kitab Faidlur Rahman itu tafsirnya bercorak tasawuf. Jadi masih sulit ditemukan kitab tafsir di Nusantara. Di zaman Mbah Sholeh atau generasi berikutnya, tafsir bercorak tasawuf masih sulit ditemukan. Termasuk di Timur Tengah itu masih jarang. Kalaupun ada, masih langka tafsir bercorak tasawuf,” imbuh Agus lagi.

Kiai Sholeh Darat memang putra ulama yang pernah ikut berjuang bersama Pangeran Diponegoro, yaitu Kiai Umar. Bahkan, sejak remaja, setelah keluar dari pondok pesantren, Kiai Sholeh Darat terlibat dalam peperangan yang dilakukan Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Tapi,  ketika Pangeran Diponegoro tertangkap Belanda, sejumlah kiai mengubah strategi perjuangan.

Saat itu sejumlah kiai atau ulama sepuh berkumpul, bila terus melakukan perlawanan konfrontatif dengan Belanda, tentu akan kalah. Karena itu, banyak kiai mengubah strategi perjuangan melalui dunia pendidikan atau pendekatan kultural. Salah satu contohnya mengirimkan santri atau calon kiai ke Mekah, Arab. Begitu juga dengan Kiai Umar, yang mengirimkan anaknya, Sholeh remaja, ke Mekah.

Ilustrasi Al Qur'an kuno.
Foto: Enggran Eko Budianto/detikcom

Kiai Sholeh Darat bertemu dan belajar kepada para ulama masyhur di Mekah di pengujung abad ke-19 itu. Kiai Sholeh Darat merupakan santri satu angkatan dengan Syekh Muhammad Kholil Bangkalan (Madura) dan Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani (Banten), penulis kitab tafsir Marah Labib Li Kasf al-Ma’ani al-Qur’an al-Majid atau tafsir Al-Munir.

“Kemudian,  di sana, Kiai Sholeh Darat dipercaya sama gurunya menjadi pengajar di Masjidil Haram. Beliau menjadi ulama Jawa yang mengajar para santri dari Jawa,” terang Agus, yang sering disapa dengan panggilan Ki Muhammad Suryonegoro Klaten.

Saat itu sejumlah ulama mendapat petunjuk bahwa salah satu pintu untuk memerdekakan Nusantara adalah memulangkan Kiai Sholeh Darat dari Mekah ke Jawa. Lalu diutuslah Kiai Hadi Girikusumo ke Mekah untuk membawa pulang Kiai Sholeh ke Semarang secara sembunyi-sembunyi.

Saat itu Hadi Girikusumo mendandani Kiai Sholeh dengan menggunakan pakaian perempuan muslim agar tak diketahui pihak bangsa Eropa. Ia mengenakan busana muslimah lengkap dengan kerudung dan cadar. Ia disusupkan ke dalam gudang sebuah kapal laut yang akan membawanya ke Singapura. Tapi nahas, sesampainya di pelabuhan Singapura, penyamaran Kiai Sholeh ketahuan dan ditangkap keamanan.

“Tapi,  berkat lobi Kiai Hadi dan santrinya yang berada di Singapura, akhirnya Kiai Sholeh ditebus dengan uang patungan hingga akhirnya sampai ke Semarang,” jelas Agus.

Sesampainya di Semarang, Sholeh Darat dijadikan menantu oleh Kiai Murtadlo, teman ayahnya, Kiai Umar. Kiai Murtadlo juga mantan pengikut Diponegoro dalam Perang Jawa. Setelah mendirikan pondok pesantren di Kampung Darat, lambat laun keberadaannya menjadi buah bibir di kalangan kiai dan santri.

Kiai Sholeh Darat ingin agar orang awam di Jawa bisa mempelajari agama dengan mudah. Pasalnya, di era itu, hampir semua kitab agama Islam masih menggunakan bahasa Arab dengan huruf gundul. Karena itu, usaha gigih Kiai Sholeh menerjemahkan semua kitab dengan terjemahan bahasa Jawa dan aksara pegon.

“Itu untuk memudahkan orang Jawa mempelajari agama. Jadi kalau santri atau kiai tulen, dia bisa baca kitab kuning dan kitab gundul. Tapi kalau kiai atau santrinya tanggung, itu cukup belajar kitab Mbah Sholeh, itu sudah lengkap,” pungkas Agus.


Penulis: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE