Ilustrasi: Edi Wahyono
Jumat, 8 April 2022“Apa yang hendak Saudara capai di pengadilan? Hendak menang perkara atau hendak meletakkan kebenaran Saudara di ruang pengadilan dan masyarakat? Jika Saudara hendak menang perkara, janganlah pilih saya sebagai pengacara Anda, karena pasti kita akan kalah. Tetapi Anda merasa cukup dan puas mengemukakan kebenaran Saudara, saya menjadi pembela Saudara.”
Kata-kata seperti itu kerap ditanyakan Yap Thiam Hien, tokoh advokat legendaris Indonesia, kepada setiap calon kliennya atau masyarakat yang meminta bantuan pembelaan hukum di pengadilan. Pengacara kelahiran Kutaraja, Banda Aceh, 25 Mei 1913, itu sudah banyak menangani kasus pidana maupun perdata. Ia sering kali berada pada posisi yang serba-tak nyaman ketika membela kliennya.
Tapi Yap tak banyak ambil pusing. Ia terus bertekad mengambil jalannya untuk membela kaum lemah demi marwah hukum. Yap memiliki prinsip dalam menangani kasus hukum, yaitu mencari kebenaran, bukan kemenangan. Tak jarang, Yap sering menggratiskan biaya perkara atau pro bono kepada kliennya, khususnya masyarakat lemah dan miskin.
“Bagi saya, kalau pengacara berani berkata seperti itu, dia telah membuktikan dirinya sebagai seorang pembela dan anak manusia yang kejujurannya adalah 24 karat,” kata Mochtar Lubis, tokoh pers nasional, dalam tulisannya di dalam buku Yap Thiam Hien, Pejuang Hak Asasi Manusia (1996) yang disunting Todung Mulya Lubis dan Aristides Katoppo.
Mochtar, yang juga dikenal sebagai sastrawan, mengaku pertama berjumpa Yap dalam beberapa kali rapat pembentukan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (kini Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/YLBHI) akhir 1969 hingga 1970. Meski sangat serius dan tegas dalam perjuangannya menegakkan keadilan, ternyata Yap suka tertawa dan berkelakar.
Yap Thiam Hien (1913-1989)
Foto: Arsip Nasional RI
“Di dalam rapat-rapat Dewan Penyantun dan Direksi LBHI juga sering terjadi perdebatan seru di antara para anggota mengenai strategi dan taktik perjuangan. Jika telah macet, sering pula Yap yang berhasil mencairkan situasi dengan ketegasan dan humornya,” ujar Mochtar.
Di mata Mochtar, Yap berani merelakan dirinya ditangkap, bahkan nyawanya pun rela dipertaruhkan. Yap sering mengalami teror dari berbagai pihak yang tak senang. “Ya, biarkan saja mereka melakukan teror," katanya dengan tersenyum. "Di tingkat tertinggi bukankah Tuhan Yang Maha Esa yang akan memutuskan apakah sudah waktunya Yap Thiam Hien untuk dapat menghadap-Nya?" tulis Mochtar mengulang ucapan Yap.
Sebagai pengacara yang berpengalaman dan memiliki gengsi lumayan, Yap tak pernah memberikan harapan palsu kepada calon kliennya. Tentunya berbeda dengan pengacara lainnya, yang memberikan harapan, padahal akan kalah di pengadilan. Tak sedikit pula pertimbangan pengacara lain menerima perkara karena akan menerima bayaran besar.
Kebanyakan pengacara juga terlihat enggan menerima perkara yang bersinggungan dengan masalah perkara HAM. “Akan tetapi juga pada umumnya yang mereka harus bela itu adalah rakyat kecil dan lemah, dan karena itu tak akan sanggup membayar mereka dalam jumlah besar,” tulis Mochtar lagi.
Kalaupun Yap mengenakan fee atas jasa pengacaranya, tarifnya jauh lebih murah daripada tarif di kantor pengacara lainnya. Misalnya kantor pengacara lain mengenakan tarif Rp 40 juta per klien, biaya yang dikutip Yap paling antara Rp 5-10 juta. "Klien yang datang ke Om Yap biasanya orang yang sudah mentok biayanya," kata Utama Wijaya, mantan asisten Yap, seperti dikutip dari Tempo edisi 2 Juni 2013.
Yap, yang sering disapa ‘John’ oleh teman karibnya, adalah putra sulung pasangan Yap Sin Eng dan Hwa Tjing Nio. Kakek Yap tercatat menjabat sebagai kapitan di Kutaraja. Semenjak kecil, Yap ditinggal mati oleh ibunya. Ia diasuh oleh neneknya yang berasal dari Jepang, Sato Nakashima. Ia belajar Europesche Lager School (ELS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Banda Aceh.
Yap Thiam Hien (tengah)
Foto: dok. Tempo
Pada 1920, keluarga Yap pindah ke Batavia (kini Jakarta). Ia melanjutkan sekolah ke Algemene Moddelbare School (AMS), setingkat sekolah menengah atas di Yogyakarta. Di sekolah itu, Yap menguasai bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, dan Latin. Karena itu, setelah lulus AMS pada 1933, ia mendaftar ujian guru di Dutch Chinese Normal School (HCK) di Batavia. Hampir empat tahun ia mengajar mulai di Batavia, Cirebon, hingga Rembang.
Pada 1938, Yap sempat bekerja di perusahaan telepon. Pada 1943, ia melanjutkan studi ke Rechsthogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia. Ia melanjutkan studi hukum ke Universitas Leiden, Belanda, pada 1946. Pada 1949, Yap mendapat sertifikat pengacara dari Kementerian Hukum. Sejak menjadi pengacara, ia bergabung dengan John Karuin, Mochtar Kusumaatmadja, dan Komar.
Baru pada 1950, Yap membuka kantor advokat sendiri di kawasan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Suatu saat, Yap membela perkara tukang kecap keliling di Pasar Baru, Jakarta Pusat, yang ditangkap dan dipukuli tanpa alasan jelas. Setelah itu, Yap juga membela beberapa pedagang Pasar Senen yang digusur pemilik gedung. Dalam persidangan, Yap bersuara lantang menyerang pengacara pemilik gedung. "Bagaimana bisa Anda membantu orang kaya menentang orang miskin?” teriak Yap.
Nama Yap mulai melambung ketika menjadi pengacara mantan Perdana Menteri Subandrio, yang dituduh terlibat peristiwa G30S. Kendati sangat antikomunis, Yap tetap membela Subandrio atas dasar keyakinan yang dibelanya tak bersalah. Bukan hanya Subandrio, Yap juga menangani perkara Abdul Latif, Asep Suryawan, serta Oei Tjoe Tat. Ia juga menuntut agar Orde Baru membebaskan semua tahanan politik di Pulau Buru.
“Yap memang sering kalah di pengadilan. Sebab, dia membela bukan untuk menang. Melainkan membela untuk kemanusiaan. Orang-orang PKI (Partai Komunis Indonesia) itu dibela semua oleh Yap," kata kolega Yap, Adnan Buyung Nasution.
Setahun setelah menangani perkara Subandrio, Yap menangani perkara korupsi. Yap membela pemilik bengkel yang diperas Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) dan Kepala Kepolisian Daerah Jakarta pada 1968. Di tengah persidangan, Yap minta kepada hakim untuk menangkap kedua pejabat tersebut. “Tapi Yap ditahan karena dianggap menyinggung polisi dan jaksa,” ujar Buyung lagi.
Selama satu pekan Yap dibui di rumah tahanan Kepolisian Pesing, Grogol, Jakarta Barat. Ia satu sel dengan gembong bandit asal Sulawesi Selatan, Taufik, dan komplotannya. Yap kerap melucu di dalam tahanan sehingga menjadi akrab dengan mereka. Akhirnya Taufik tahu Yap adalah pengacara. Karena itu, ia meminta agar Yap bisa membebaskannya.
Yap Thiam Hien
Foto: dok. Tempo
Yap hanya tertawa atas permintaan itu karena ia juga sedang ditahan. “Saya mau kalau saya lepas duluan,” jawab Yap seperti diutarakan oleh Daniel S Lev dalam bukunya No Concessions: The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer (2011).
Enam bulan kemudian, Yap menemui kelompok Taufik di rumah tahanan itu. Ia memenuhi janjinya walau Taufik tetap divonis bersalah oleh pengadilan. Kasus penting lainnya yang pernah dibela Yap adalah Sarwito Kartowibowo, pegawai Departemen Pertanian, pada 1976. Sarwito dituduh subversif karena dituduh akan menggulingkan Presiden Soeharto.
Saat itu Sarwito menyampaikan surat yang menurut pengakuannya telah diteken sejumlah tokoh nasional. Isinya bahwa Soeharto harus menyerahkan kekuasaan kepada bekas Wakil Presiden Mohammad Hatta. Sarwito berani membuat surat itu karena mendapatkan wangsit setelah bermeditasi di Gunung Muria, Jawa Tengah. Kala itu Sarwito diganjar hukuman 8 tahun penjara.
Pada 1980, Yap membela Rachmat Basuki, yang menjadi terdakwa kasus pengeboman kantor cabang BCA di Jalan Gajah Mada serta pertokoan di kawasan Glodok. Yap tak riskan terhadap sikap Rachmat yang dikenal anti-China. Yap tetap membelanya karena ada motif kepentingan yang lebih luas di balik pengeboman tersebut. Nyatanya, vonis hukuman Rachmat diperingan majelis hakim menjadi 17 tahun dari tuntutan jaksa yang semula hukuman mati.
Pada kasus Malari 1974, sebenarnya Yap juga pernah menjadi sasaran penangkapan. Ia ditahan hampir selama 11 bulan karena dituduh menjadi salah satu provokator demonstrasi tersebut. Sejak pernah mengalami berapa kali penahanan di penjara, Yap mendirikan Prison Fellowship, sebuah organisasi yang bertujuan mendampingi para narapidana agar mendapat perlakuan yang lebih layak.
Pada 28 Oktober 1969, Yap bersama PK Ojong, Lukman Wiriadinata, Hasyim Mahdan, Ali Moertopo, dan Dharsono membentuk Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang masih eksis hingga saat ini. Tepat 31 tahun lalu, Yap Thiam Hien tak bisa lagi membela orang terpinggirkan. Auman singa pengadilan itu tak terdengar lagi. Ia meninggal dunia saat hendak pulang menghadiri acara konferensi internasional di Brussel, Belgia, pada 25 April 1989.
Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho