INTERMESO

Sedia Pawang Sebelum Hujan

“Saya tidak heran kalau pawang hujan akan semakin laku. Karena sebetulnya masih banyak yang percaya. Hanya saja mereka tidak koar-koar di media”

Ilustrasi: Edi Wahyono

Minggu, 27 Maret 2022

Teknologi prediksi dan modifikasi cuaca kini semakin maju berkat hadirnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Tapi uniknya, di tengah gempuran kemajuan di bidang teknologi cuaca itu, profesi pawang hujan malah semakin eksis.

Enam belas tahun lalu, ketika Hadi Sutikno memulai karirnya sebagai pawang hujan, ia masih berkeliling dari satu kampung ke kampung untuk menjumpai kliennya.

“Dulu klien saya masih orang kampung di sekitaran Jakarta yang mau ngadain pernikahan. Awalnya mereka minta saya untuk menghitung hari baik. Terus mereka tanya, 'ada nggak sekalian yang buat ngusir hujan?'” ucap Hadi kepada detikX. Permintaan klien ini justru menginspirasi Hadi untuk fokus berkarir sebagai pawang hujan.

Berawal dari keliling kampung itu, kini Hadi dipercaya mengamankan acara pernikahan di di halaman gedung dan hotel mewah di Jakarta. Ia bahkan menobatkan dirinya sebagai pawang hujan pernikahan nomor satu di Jakarta. Niscaya, pasangan yang akan mengadakan pernikahan di luar ruangan akan menggunakan jasa Hadi.

Bukan cuma teknologi perkiraan cuaca yang semakin mumpuni, teknik yang Hadi gunakan untuk mengusir hujan juga semakin canggih. Dulu Hadi masih menggunakan properti sapu tua yang wajib diletakkan di acara. Namun, belakangan cara itu kurang efektif dan memakan waktu. Sekarang Hadi bisa mengusir hujan tanpa perlu keluar dari rumahnya. Teknik ini ia sebut dengan istilah pawang hujan jarak jauh.

“Saya sampai pernah mindahkan hujan di California. Kebetulan kliennya bos saya. Di sana dia ada kerjaan dan minta saya bantu melancarkan acara,” tuturnya.

Ilustrasi cuaca ekstrem di Jakarta
Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom

Teknik pawang hujan jarak jauh tentunya dilakukan dengan bantuan kecanggihan di smartphone miliknya. Hadi akan meminta klien untuk berbagi titik lokasi melalui aplikasi Google Maps. Semakin akurat titiknya, maka hasilnya akan semakin bagus. Lalu tak lupa Hadi juga ikut memantau perkiraan cuaca yang dibagikan BMKG secara berkala. Sisanya, Hadi hanya perlu merapalkan doa tanpa putus.

“Saya pawang hujan tidak pakai sajen. Saya muslim, salat tahajud lebih intens saja. Saya doa kepada Allah SWT. Doanya semua orang tahu, kok, ada di Al-Quran. Cuma ada tata cara bacanya, harus dibaca berapa kali. Kebetulan itu saya yang tahu kuncinya,” ucap laki-laki asal Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, ini.

Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa Putra, menilai fenomena pawang hujan yang belakangan ini viral bukanlah sesuatu hal yang aneh. Terlebih profesi pawang hujan sudah lama dipercaya berbagai kalangan masyarakat Indonesia dan menjadi kearifan budaya lokal Indonesia.

“Itu orang sudah pada tahu semua, tetapi biasanya tidak diekspos seperti ini dan pawang hujan terkadang tidak mau diekspos. Diam-diam aja mereka,” ucap Heddy. Salah satu dosen kenalan Heddy di UGM juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai pawang hujan. “Bahkan dosen UGM ada yang punya kemampuan seperti itu. Saya juga suka pakai, kok, nggak ada salahnya. Makanya saya ketawa saja melihat keramaian di media sosial.”

Tugas pawang hujan adalah menggeser dan menjatuhkan hujan itu di tempat lain. Kepercayaan masyarakat semakin menguat tatkala melihat bukti keberhasilan pawang hujan dalam menghalau hujan. Heddy mengibaratkan pengguna jasa pawang hujan seperti peribahasa sedia payung sebelum hujan. Payung yang dipakai bisa dalam bentuk apa pun, tak terkecuali pawang hujan.

“Rasionalitasnya begini, saya keluar biaya sekian tapi dengan kepastian bahwa tidak akan terganggu hujan. Sementara kalau saya tidak keluar uang, saya was-was terus oleh hujan. Kalau dengan kacamata gambling, mending keluar duit tapi merasa tenang,” ucap Heddy kepada detikX. “Apalagi untuk event besar seperti MotoGP. Uang Rp 5 juta per hari untuk pawang hujan apa artinya?”

Hujan di gelaran MotoGP Mandalika, pekan lalu
Foto: Dok MotoGP 

Bagi pihak yang kontra terhadap pawang hujan, mereka akan menilai aksi pawang hujan merupakan praktek klenik yang irasional dan tidak memiliki relevansinya dengan sains. Menurut Heddy, perilaku ini sangat wajar karena ilmu pawang hujan belum bisa dipahami menggunakan nalar. Terlebih lagi metode yang digunakan pawang hujan tidak bisa dijiplak dan hanya bisa dilakukan oleh orang tertentu.

“Kita tidak menyebut orang yang menggunakan pawang hujan adalah orang yang percaya hal mistis. Karena sebetulnya ada rasionalitas dibalik keilmuan yang digunakan pawang hujan. Hanya kita tidak punya instrumen untuk mengetahui rasionalitas itu. Makanya orang dengan mudahnya akan mengatakan kalau pawang hujan itu gaib,” terang Heddy.

Keilmuan pawang hujan menggunakan kekuatan mantra, di mana mantra yang diucapkan mengalirkan energi yang dapat dimanfaatkan untuk menghalau hujan.

“Apa yang kita ucapkan ada efek kepada sekitar kita. Dalam konteks pawang hujan, mantra itu dapat memindahkan hujan,” ungkap Heddy.

Pawang hujan masih bertahan dan terus berkembang di berbagai tempat. Ilmu pawang hujan diturunkan dari generasi ke generasi. Kepercayaan masyarakat Indonesia semakin menguat tatkala masih dirasakan manfaatnya dan masih terbukti keberhasilannya. Di tengah komentar miring yang ditujukan kepada profesi pawang hujan, Heddy melihat pawang hujan justru akan semakin eksis dan banyak digunakan masyarakat Indonesia.

“Melihat fenomena ini di media massa, saya melihatnya, kok, akan semakin padat jadwal para pawang hujan ini, ya. Saya tidak heran kalau pawang hujan akan semakin laku. Karena sebetulnya masih banyak yang percaya. Hanya saja mereka tidak koar-koar di media. Masyarakat kita kan banyak banget yang suka hal-hal begini,” tuturnya.


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE