INTERMESO

Malapetaka Sampah Pembalut

Hanya dengan memakai pembalut sekali pakai, perempuan turut andil dalam membahayakan kelestarian lingkungan.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Minggu, 06 Februari 2022

Setiap bulan, ketika menstruasi datang, Maria Tresna bakal amat kerepotan. Darah menstruasi Maria yang keluar karena siklus reproduksi perempuan itu begitu banyak. Ia harus bolak balik ke kamar mandi untuk mengganti pembalut. “Biasanya hari pertama dan kedua (menstruasi), aku bisa ganti (pembalut) sampai empat kali,” ucap Maria yang tahun lalu baru saja lulus dari Universitas Atma Jaya.

Selanjutnya, pembalut yang sudah dipenuhi noda itu ia cuci dengan air mengalir. Pembalut sekali pakai itu lalu dibungkus dengan plastik hitam dan dibuang ke tong sampah. Itu artinya, pada masa awal datang bulan, ada empat kantong hitam berisi pembalut yang Maria buang.

Citra, perempuan berusia 25 tahun, juga senasib dengan Maria. Ia harus mengganti pembalut sampai lima kali dalam sehari ketika menstruasi datang. Sebetulnya, Citra pernah mencoba menggunakan menstrual cup yang lebih ramah lingkungan. Tapi ternyata ia tidak cocok dan akhirnya kembali menggunakan pembalut sekali pakai.

“Cari mens cup yang pas buat ukuran gue, tuh, susah. Terus, ya, kalau gue ngeluarinnya juga repot banget. Akhirnya gue cuma pakai sekali terus nggak dipakai lagi,” katanya.

Sama seperti Maria, pembalut sekali pakai yang kini kembali Citra gunakan dicuci terlebih dahulu sebelum dibuang. Citra masih percaya dengan mitos yang disampaikan ibunya.

“Dulu nyokab gue pernah bilang kalau pembalut kotor itu harus dicuci. Kalau nggak dicuci darah kotornya kita bisa disantet orang. Percaya nggak percaya sih, tapi menurut gue kalau dicuci rasanya lebih bersih aja gitu,” ucap Citra.

Ilustrasi pembalut
Foto : ThinkStock

Terlepas dari benar atau tidaknya mitos itu, pada kenyataannya, sampah pembalut yang sudah dibuang ke tong sampah akan dikelola oleh petugas kebersihan. Hampir setiap hari Taufik mendapati kantong sampah berisi pembalut bekas. Ada yang sudah dibungkus rapi dengan koran atau plastik.

Terkadang dari kantong sampah yang terburai isinya, Taufik bisa melihat pembalut yang masih penuh dengan noda darah. “Saya, kan, tiap hari mungutin sampah. Jadi udah biasa mah ngeliat begituan. Nggak cuma pembalut, sih, kadang ada juga pampers,” kata Taufik yang bekerja sebagai petugas kebersihan di Perumahan Citra 1, Kalideres, Jakarta Barat.

Biasanya hari pertama dan kedua (menstruasi), aku bisa ganti (pembalut) sampai empat kali."

Tanpa dipilah lagi, pembalut bekas itu bercampur menjadi satu dengan sampah plastik dan makanan. “Nanti dibawa pakai truk ke Bantar Gebang.”

Dikutip dari website Unit Pengelola Statistik Pemprov DKI Jakarta, sampah yang ditampung Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang terus bertambah setiap tahunnya. Jumlah sampah yang masuk TPST pada tahun 2017 setiap harinya sebesar 6,7 ribu ton. Sementara di tahun 2018 sebesar 7,4 ribu ton per hari. Lalu di tahun 2019 turun 11 persen dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 6,7 ribu ton per hari.

Sementara menurut data yang dihimpun oleh Sustaination, di Indonesia, dalam sehari, sampah pembalut saja bisa mencapai 26 ton. Dalam sehari, rata-rata perempuan bisa mengganti pembalut sebanyak 3 sampai 5 kali. Sementara, menurut laman OrganiCup, satu perempuan akan menghasilkan 11.000 pembalut sekali pakai seumur hidupnya.

Rupanya masih banyak perempuan yang memakai pembalut sekali pakai ini. Padahal sampah pembalut dapat menimbulkan masalah gawat dan serius. Pembalut tergolong sampah beresiko tinggi dalam pencemaran lingkungan karena bahannya yang tidak dapat didaur ulang.

Ilustrasi Gunung sampah di Bantar Gebang, Bekasi. Ribuan ton sampah dari Jakarta, termasuk pembalut, bermuara di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) ini 
Foto : Rengga Sancaya/detikcom

Pembalut terbuat dari bahan plastik yang diproduksi secara industrial dan menyebabkannya sulit terurai. Satu pembalut saja membutuhkan waktu sekitar 500-800 tahun untuk terurai. Karena terbuat dari bahan yang tak mudah terurai, jangan heran jika limbah pembalut dengan sangat mudah bisa ditemukan menggunung di TPST Bantar Gebang maupun di TPST lainnya di Indonesia.

Sementara sampah pembalut yang teronggok di sana lambat laun dapat mengeluarkan gas metana. Dikutip dari sebuah penelitian University of Exeter, metana merupakan salah satu unsur dalam gas rumah kaca yang menyebabkan kenaikan temperatur di permukaan bumi. Metana memiliki kekuatan 25 kali lipat lebih dahsyat dalam menyebabkan pemanasan global ketimbang karbon dioksida.

Berbeda dengan pembalut sekali pakai, saat ini sudah ada opsi selain pembalut sekali pakai yang terbuat dari kapas dan plastik. Ada tampon yang terbuat dari kasa, pembalut kain, celana menstruasi dari bahan waterproof, sampai menstrual cup.

Wadah berbentuk corong seperti menstrual cup bahkan dinilai lebih ramah lingkungan. Bahannya terbuat dari silikon yang merupakan mineral paling berlimpah di bumi. Selain itu menstrual cup tak menimbulkan permasalahan limbah karena bisa dipakai berkali-kali.


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE