Ilustrasi: Edi Wahyono
Kamis, 20 Januari 2022Gang Tapos BG di Kelurahan Tapos, Kecamatan Tapos, Kota Depok, Jawa Barat, baru saja dilapisi aspal hitam. Begitu masuk mulut gang dari Jalan Raya Tapos, gang sepanjang 400-500 meter itu terlihat mulus dan bersih. Gang berakhir di area pemakaman wakaf warga RT 02 RW 013. Lahan tersebut tak begitu jauh dari aliran Kali Sunter yang sunyi dan sejuk di bawah rindang pepohonan.
Ada yang tak biasa di pemakaman itu. Tiang dengan bendera Merah Putih di puncaknya berdiri tegak di sebuah makam. Bendera itu berkibar-kibar ditiup angin yang berembus. Tiang bendera tertancap persis di depan pagar tembok setinggi 1 meter, berukuran 4 x 4 meter, dan bercat putih dengan lantai keramik. Di dalamnya terdapat sebuah makam dari keramik berwarna merah jambu.
Di nisan batu granit hitam tertulis nama ‘Nyimas Utari Sandi Jaya Ningsih’ (Kesuma Bangsa Puteri Mataram) dengan tinta kuning keemasan. Di pagar tembok bagian dalam terpasang poster berisi puisi ‘Gugur Bunga’ karya Ismail Marzuki. Makam itu berjarak 3 meter dari makam Syekh Auliamudin, yang berada di dalam cungkup lengkap dengan pintu dan jendela terali besi bercat kuning keemasan.
Sejak dulu warga sekitar menyebutnya makam keramat Syekh Auliamudin. Syekh Auliamudin dikenal sebagai ulama dan pedagang asal Aceh. Tapi makam Nyimas Utari baru diketahui oleh pengurus pemakaman pada 1970-an. Nyimas Utari diketahui sebagai istri Syekh Auliamudin. Lalu dibuatkanlah makam dengan nisan bertulisan 'Nyimas Utari Sandi Jaya Ningsih'.
“Sebelumnya, masyarakat sini mah nggak ada yang tahu. Nggak ada yang tahu ceritanya. Pokoknya tahu Utari aja, istrinya Syekh Auliamudin,” kata Rudi, juru kunci baru di pemakaman itu, saat ditemui detikX di rumahnya, Senin, 17 Januari 2022.
Warga baru tahu sosok Nyimas Utari adalah pelaku sejarah dan pejuang wanita dari Kerajaan Mataram. Hal itu diketahui sejak kedatangan KH Syarif Rahmat, pengasuh Pondok Pesantren Umul Quro, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, beserta jemaahnya yang berziarah pada Agustus 2020. Saat itu Kiai Syarif menjelaskan bahwa makam itu berisi pejuang wanita dari Kerajaan Mataram bernama Raden Ayu Utari Sandi Jaya Ningsih.
Makam Nyimas Utari Sandi Jaya Ningsih
Foto: M Rizal Maslan/detikX
Sejak itulah warga mengetahui sosok Nyimas Utari yang sebenarnya, yaitu seorang mata-mata atau telik sandi (intelijen) pasukan Mataram. Mereka baru tahu bahwa Nyimas Utari adalah tokoh yang meracun Gubernur Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Jan Pieterszoon Coen pada 20 September 1629. Lalu JP Coen dipenggal, dan kepalanya dibawa ke ibu kota Mataram di Kotagede.
Setelah itu warga bersepakat mengganti kembali nisan makam dengan yang baru dengan tulisan Nyimas Utari Sandi Jaya Ningsih. Kiai Syarif dan warga bermusyawarah untuk menunjuk Rudi sebagai juru kunci baru di pemakaman wakaf yang sudah sekian tahun lamanya tak ada pengurusnya itu.
“Saya juga kaget. Kiai Syarif dan pengurus RT/RW menunjuk saya. Ya bukan kuncenlah, ya. Saya mah bersih-bersih dan nyapu makam aja. Soal sejarahnya juga nggak tahu bener, takut salah,” imbuh Rudi, yang bekerja tetap sebagai sekuriti di sebuah pabrik di kawasan Tapos.
Keberadaan makam Nyimas Utari nyaris tak terlacak selama tiga abad lebih atau 389 tahun. Akhirnya warga tahu Nyimas Utari merupakan cicit pendiri dan raja pertama Kerajaan Mataram, Panembahan Senopati atau Danang Sutawijaya, yang berkuasa pada 1586-1601 Masehi. Selain itu, Utari merupakan keponakan Sultan Agung Hanyokrokusumo (Raden Mas Jatmika), raja ketiga Mataram (1593-1645).
Makam Nyimas Utari berjarak sekitar 3-4 kilometer dari makam Mbah Bayun (Raden Ayu Roro Pembayun) di Kampung Kramat, Kelurahan Kebayunan, Tapos. Mbah Bayun adalah nenek Nyimas Utari sekaligus putri Panembahan Senopati. Mbah Bayun menemani putranya, Raden Bagus Wanabaya (ayah Utari), mengawasi pergerakan pasukan Mataram menuju Batavia pada 1627-1629.
Warga Tapos tidak tahu, lanjut Rudi, karena para leluhur di kampung sekitar itu secara turun-temurun tak pernah menceritakan sosok Nyimas Utari. Hal itu bisa dipahami terkait kekhawatiran para leluhur terkait peran dan tugas Nyimas Utari. Kala itu keberadaan Nyimas Utari disembunyikan karena takut terlacak pasukan kompeni (VOC). “Ya, jasadnya saja yang dibawa ke sini. Jadi nggak diketahui oleh generasi selanjutnya. Orang-orang tua di sini juga sudah nggak ada yang tahu ceritanya,” jelasnya.
Makam Nyimas Utari dan Syekh Auliamudin di Tapos, Depok.
Foto: M Rizal Maslan/detikX
Rudi berharap terkuaknya keberadaan makam Nyimas Utari dapat menjadi objek kajian dan penelitian lebih lanjut dari para ahli sejarah dan arkeologi. Rudi dan beberapa warga memang tengah mengumpulkan serpihan-serpihan data kesejarahan terkait kedua sosok yang dikuburkan di pemakaman wakaf warga tersebut.
“Ya, setidaknya, ke depan, kalau ada orang mau ziarah ke makam Syekh Auliamudin dan Nyimas Utari, (kita) sudah ada bahannya. Kita bikin buku kecil atau apalah namanya tentang riwayat perjalanan hidup kedua tokoh tersebut,” pungkas Rudi.
Sebenarnya pemakaman itu sudah ada sejak ratusan tahun lalu, tapi tak terurus. Rudi mengisahkan, dulu hampir semua makam di tempat itu tanpa nisan, kecuali batu sebagai penandanya. Termasuk makam Syekh Auliamudin, yang tepat berada di bawah pohon beringin yang hingga kini masih tegak berdiri. Dahulu memang sempat dibangun cungkup yang besar, tapi dibiarkan rusak ditelan zaman.
Lingkungan RW 013 Kelurahan Tapos dulu kala merupakan pos pertahanan prajurit yang berasal dari Cirebon. Sementara itu, Kampung Kramat, Kelurahan Kebayunan, merupakan pos pertahanan para prajurit Mataram. Wilayah Tapos tempo dulu, tiga ratus tahun lalu, merupakan hutan belantara yang cocok untuk persembunyian dan benteng pertahanan. “Kayaknya di sini bekas prajurit Cirebon semua, tapi ya itu, sekarang mah banyak yang nggak tahu,” pungkas Rudi.
Dirangkum dari sejumlah literatur dan situs Perpustakaan Nasional RI, keberadaan pasukan Mataram dan Cirebon di Tapos adalah untuk menyerang benteng VOC di Batavia. Begitu juga dari hasil penelitian Hasnan Habib, yang mendapatkan cerita kepahlawanan pasukan telik sandi Mataram dari sejumlah sesepuh lokal yang kini sudah meninggal dunia.
Cerita mengenai Nyimas Utari didapatkan melalui kitab catatan harian prajurit telik sandi Mataram warisan leluhur almarhum Kong Minggu bertuliskan aksara Jawa. Sayangnya, saat Kong Minggu wafat, kitab beserta seluruh benda pusaka leluhurnya turut dikuburkan bersama jasadnya. Nyimas Utari disebutkan putri Raden Bagus Wanabaya, putra Raden Ayu Roro Pembayun dan Ki Ageng Mangir.
Kuncen makam Nyimas Utari dan Syekh Auliamudin.
Foto: M Rizal Maslan/detikX
Keberadaan mereka di tempat itu berawal dari peperangan Mataram dengan VOC di Jepara pada 1618. Pos dagang VOC di Jepara hancur. Pasukan VOC yang dipimpin JP Coen sempat membalas, tapi gagal. Karena gagal menguasai kembali Jepara, JP Coen menyerang Keraton Jayakarta dan mengubah nama kota menjadi Batavia.
Saat bersamaan, VOC juga bermusuhan dengan Kesultanan Banten. Momen tersebut dimanfaatkan Mataram untuk bekerja sama menyerang benteng VOC di Batavia. Sultan Agung lalu menyusun strategi penyerangan pada awal 1627. Tapi penyerangan pertama Mataram ini mengalami kegagalan akibat dibocorkan pengkhianat di internal Mataram sendiri.
Sultan Agung kembali menyusun strategi penyerangan kedua atau Kolotundo II ke benteng VOC di Batavia pada 1628. Sebelum dilakukan, Sultan Agung menitahkan sepupunya, Raden Bagus Wanabaya, untuk bertemu dengan Sultan Iskandar Muda di Samudra Pasai. Di negeri itu, Wanabaya mendapatkan bantuan dari Sultan Iskandar Muda yang mengutus telik sandi andalannya Wali Mahmudin (Syekh Auliamudin) ke Jawa.
Sekembali Wanabaya, Sultan Agung memerintahkan bala tentaranya yang dipimpin Aria Wirasaba untuk menyerang benteng VOC di Batavia. Pasukan Wirasaba ini dibantu pasukan dari beberapa daerah di Jawa Tengah dan Priangan. Selain itu, ditugaskan para telik sandi Mataram untuk membunuh ‘Murjangkung’, panggilan Gubernur VOC JP Coen, dan keluarganya.
Tugas misi terakhir ini diserahkan kepada pemimpin telik sandi Mataram Raden Bagus Wanabaya. Ia berangkat bersama Tumenggung Kertiwongso dari Tegal dan Wali Mahmudin. Wanabaya juga mengajak putrinya yang sudah dilatih telik sandi, Nyimas Utari. Mereka berhari-hari merambah hutan hingga sampai di tempat yang dianggap strategis untuk memantau perkembangan di Kota Batavia. Di hutan belantara di sepanjang Kali Sunter, di bekas wilayah perbatasan Pakuan Pajajaran (Tapos), dibangun pos pertahanan.
Selama berada di tempat itu, hubungan Nyimas Utari dan Wali Mahmudin, yang memiliki nama sandi ‘Wong Agung Aceh’, semakin dekat dan dinikahkan. Kedua pasangan ini ditugaskan untuk menyusup ke dalam benteng VOC di Batavia dengan nama sandi 'Dom Sumuriping Banyu'. Pasangan ini berkamuflase sebagai saudagar dari Aceh agar bisa masuk ke benteng VOC.
RA Utari Sandi Jaya Ningsih, telik sandi Mataram.
Foto: dok. Perpustakaan Nasional
Utari dikenal cantik dan pandai menyanyi, sehingga dengan mudah dan cepat bisa menarik perhatian Eva Ment, istri JP Coen. Karena kedekatannya itu, kapal dagang Mahmudin-Utari dipercaya untuk mengangkut meriam ke Madagaskar. Setahun kemudian, pada 1629, Utari sudah mendapat kepercayaan untuk keluar-masuk kastil dan bergaul dengan orang Eropa, khususnya Eva Ment dan anak-anaknya. Sedangkan Mahmudin dipercaya jadi juru tulis JP Coen.
Keberhasilan Utari yang pertama adalah menyingkirkan pengawal andalan JP Coen, yaitu Pieter Jacobszoon Courtenhoeff. Utari melaporkan perselingkuhan Courtenhoeff dengan Sara Specx di dalam kamarnya. Courtenhoeff dihukum mati melalui sidang Dewan Pengadilan Batavia pada Juni 1629. Sementara itu, Sara Specx dihukum cambuk di depan Staadhuis Plein (sekarang Museum Fatahilah).
Langkah selanjutnya, Utari mulai mengincar Eva Ment, yang saat itu tengah hamil tua. Ia berhasil meracuni makanan dan minuman Eva Ment dan anak-anaknya hingga tewas pada 16 September 1629. Melihat istri dan anak-anaknya tewas, JP Coen mengalami keguncangan jiwa dan mental. Ia terlihat sering minum minuman keras hingga mabuk berat.
Hal itu tak disia-siakan Utari, yang juga secara sembunyi-sembunyi menuangkan racun ke dalam minuman JP Coen pada 20 September 1629. Saat JP Coen mabuk berat minuman yang sudah dicampur racun, Utari mengantarnya ke dalam kamar. Penguasa Batavia yang saat itu tengah gundah gulana tersebut sempat tergiur oleh kecantikan Utari dan hendak memperkosanya. Utari melawan, tapi tak lama JP Coen ambruk akibat racun yang sudah menjalar di dalam darahnya.
Saat kejadian itu, secara diam-diam, Wali Mahmudin sudah berada di dalam kamar. Seketika ia mengeluarkan pedangnya dan menebaskan ke leher JP Coen hingga putus. Mahmudin dan Utari berhasil membawa kepala JP Coen secara sembunyi-sembunyi keluar dari benteng VOC. Potongan kepala itu diserahkan kepada Tumenggung Surotani. Dialah yang membawa potongan kepala JP Coen ke hadapan Sultan Agung di Keraton Mataram di Kotagede.
Bagaimana nasib Mahmudin dan Utari? Mereka berdua terus bergerilya menghindari kejaran pasukan kompeni VOC. Tapi Utari sempat tertembak pasukan VOC yang tengah melakukan pertempuran dengan pasukan Banten dan Cirebon yang dipimpin Pangeran Ahmad Jayakarta di Jatinegara. Utari yang terluka dibawa Wali Mahmudin ke Tapos.
Di kemudian hari, ketika Sultan Agung wafat pada 1645, potongan kepala JP Coen yang diawetkan turut dikuburkan di anak tangga makam Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Kematian JP Coen bagi sebagian sejarawan masih kontroversial karena ada yang mempercayai kematiannya disebabkan oleh penyakit. Kuburan JP Coen di Batavia pun masih menjadi tanda tanya hingga kini.
Penulis: M Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim