INTERMESO

Geliat Nelayan Lobster Lombok Timur

Menjadi pembudidaya lobster mendatangkan cuan besar bagi para nelayan di Lombok Timur. Tapi belakangan harga jual lobster ikut terempas pandemi COVID-19.

Foto : ilustrator istock

Kamis, 30 Desember 2021

Mashur umurnya sudah 52 tahun. Kulitnya sawo matang, seperti kebanyakan orang yang tinggal di daerah pesisir pantai. Setiap hari ia berada di warung miliknya yang berjarak 200 meter dari rumahnya di Dusun Telong Elong, Desa Jerowaru, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Warung sembakonya itu persis di samping gerbang Dermaga 1 Telong Elong.

Senin, 22 November 2021 siang, Mashur, yang saat itu mengenakan kaos dan sarung, tengah menerima seorang tamu di warungnya. Tamunya adalah pengusaha seafood asal Surabaya, Jawa Timur, yang telah menetap di Lombok selama tujuh tahun sejak 2014. Tamunya itu ingin membeli sejumlah lobster, yang bernama latin panulirus spp. Rencananya sang tamu akan mengekspor lobster-lobster milik Mashur ke Eropa.

Mashur merupakan salah satu nelayan budidayalobster di Telong Elong, Jerowaru. Di Kabupaten Lombok Timur saat ini ada 147kelompok nelayan pembudidaya lobster atau 10.900-12.000 nelayan pembudidayalobster di NTB. Mashur mulai menjadi pembudidaya lobster sejak 2009. Bahkan,teman sesama nelayan lainnya sudah membudidayakan lobster sejak era Soeharto.

Keramba lobster Lombok Timur
Foto : Syailendra Hafiz Wiratama/detikX

“Zaman Pak Harto saja sudah ada yang coba itu budidaya lobster. Kalau saya mulai aktif budidaya lobster sejak 2009, awalnya saya suplai bibit lobster dari Sumbawa,” kata Mashur mengawali pembicaraannya dengan detikX di sela-sela perjalanan darat bertajuk Toyota Corolla Cross Hybrid Road Trip Explore Mandalika pada 18-28 November 2021 lalu.

Kalau bibit yang masih kecil dan bening gitu yang lobster pasir harganya Rp 15 ribu per ekor, kalau yang mutiara kena di Rp 26-27 ribu per ekor.”

Mashur menjelaskan, membudidayakan lobster memang lebih menguntungkan ketimbang mencari ikan di laut lepas. Menangkap benih lobster di laut lepas pun relatif cukup praktis. Ia dan nelayan lainnya di Lombok Timur hanya bermodalkan alat yang bernama ‘Pocong’. Alat itu terbuat dari kertas bekas karung kemasan semen yang dibentuk dengan cara dilipat-lipat menyerupai kipas.

Kerta itu lalu ditempelkan ke jaring. Bagian bawah dan atas jaring lalu diikat menyerupai hantu pocong dan dimasukan ke dalam air laut. "Kita bikin dari kulit (kertas) semen, kita lipat-lipat kayak kipas, kita gantung ikat bagian bawah dan atasnya seperti pocong. Cara penangkapannya praktis sekali tinggal nyalain lampu aja kita tinggal tidur nggak masalah,” ujar Mashur.

Dalam membudidayakan lobster, Mahsur selama ini membeli bibit lobster (BL) atau benur kepada para tetangganya yang berada di Telong Elong. Tapi tak jarang ia membeli benur lobster ke daerah Pasir Putih, Bima, NTB. Mashur membeli satu ekor benih lobster pasir dengan harga Rp 15 ribu. Sedangkan untuk benih lobster mutiara ia beli dengan harga Rp 26 ribu per ekornya.

“Kalau bibit yang masih kecil dan bening gitu yang lobster pasir harganya Rp  15 ribu per ekor, kalau yang mutiara kena di Rp 26-27 ribu per ekor” ucapnya lagi.

Mashur membeli benih lobster sebanyak 500 ekor yang disimpan di dalam botol bekas kemasan air mineral ukuran 600-750 ml. Sebotol benih lobster itu ditaksir harganya kurang lebih mencapai Rp 10 juta. Tapi itu tergantung jenis lobster yang dibelinya. “Sebotol plastik itu, ya, puluhan juta, baru bibitnya doang. Masih ada yang bilang narkoba paling mahal? Ini jauh lebih mahal," terang Mashur sambil tertawa.

Tak lama setalah bincang-bincang di warungnya, Mashur mengajak detikX melihat lokasi keramba budidaya lobster miliknya yang jaraknya sekitar 100-150 meter lebih dari Dermaga 1 Telong Elong. Tempat itu ditempuh sekitar 10 menit dengan menggunakan perahu kecil atau sampan. Air laut yang bening kebiru-biruan selama perjalanan menjadi pemandangan yang menakjubkan.

Tak lama detikX sampai di areal keramba milik Mashur yang juga tak jauh dari Tanjung Gilibatu Putik. Keramba milik Mashur terbuat dari potongan bambu dan kayu. Di tempat itu, Mashur memiliki 12 petak keramba. Masing-masing petak berukuran antara 3 x 3 meter yang dipasangi jaring dengan isi antara 60 hingga 100 ekor benih lobster. Mashur melibatkan empat orang kerabat atau saudaranya untuk mengurusi keramba-keramba tersebut.

Mashur - pembudidaya lobster di Telong Elong, Lombok Timur
Foto : Syailendra Hafiz Wiratama/detikX

“Dalam satu petak itu kan tergantung kitanya. Sebenarnya isi normalnya 100 ekor per petak yang 3x3 meter ukurannya. Nah, cuma kita kalau mau cepat besar, kita kurangin isinya jadi 80 ekor, kadang 60 ekor. Biar cepat besar ukurannya,” jelas Mashur sambil menunjuk ke arah beberapa kerambanya itu.

Mashur menjelaskan, di dalam keramba yang berisi 60-80 ekor benih lobster dalam kurun waktu tujuh bulan beratnya bisa mencapai lebih dari 200 gram. Sedangkan, kalau satu petak keramba diisi 100 ekor benih lobster, untuk mencapai berat 200 gram memerlukan waktu lebih lama sekitar 10 bulan.

Supaya pertumbuhannya bagus, benur itu diberi pakan dua-tiga kali dalam satu pekan. Pakan yang diberikan berupa ikan rucah (bycatch), yaitu ikan-ikan kecil yang memang bukan target tangkapan para nelayan. Ikan itu dibeli Mashur dari para nelayan dengan harha Rp 6 ribu per kilogram-nya.

“Budidaya lobster ini sebenarnya satu-satunya pekerjaan yang nggak ada ribetnya, nunggu saja. Kalau ada yang jual pakannya, kita lepas ikannya nggak sampai lima menit, udah gitu pulang, tidur lagi. Itu saking praktisnya budidaya lobster ha..ha..ha,” imbuh Mashur setengah berkelakar.

Tapi, lanjut Mashur, saat ini pemberian pakan lobster terkendala cuaca. Sebab, belakangan ini angin kencang tengah menerjang kawasan Lombok. Hal itu mempengaruhi kondisi ikan yang ada di laut lepas. Para nelayan pun kesulitan dalam menjaring ikan rucah di permukaan air laut.

“Tergantung kapan ada umpannya. Kalau nggak ada umpannya biarin puasa dulu dua-tiga hari nggak ada masalah, asal jangan semingguan. Itu berpengaruh terhadap kesehatan dan proses pembesaran lonster,” terang Mashur.

Mashur juga berharap kondisi penjualan lobster semakin membaik. Pandemi coronvirus disease 2019 (COVID-19) turut menghempaskan harga penjualan lobster. Apalagi di awal-awal pandemi tahun 2020, harga jual lobster lesu dan anjlok 100 persen. Mashur mengatakan, harga lobster mutiara seberat 500 gram (setengah kilogram) yang biasanya dihargai Rp 600 ribu per ekor, melorot menjadi Rp 300 ribu.

“Mutiara (lobster) kalau sekarang 500 gram itukenanya sekarang ini 300 ribu, lagi murah ini. Kalau mahal bisa 500-600 ribu,”keluh Mashur.

Keramba lobster Lombok Timur
Foto : Syailendra Hafiz Wiratama/detikX

Namun begitu, Mashur mengakui pernah merasakan kejayaan membudidayakan lobster hingga penghujung tahun 2019 lalu. Setiap sekali panen lobster, dirinya mengantungi keuntungan mencapai Rp 200 juta hingga Rp 250 juta. Kondisi penjualan terburuk sempat dialaminya pada tahun 2018 lalu. Di mana lobster dihargai hanya Rp 180 ribu per kilogram, padahal biasanya dibandrol Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta per kilogram.

“Paling besar pernah di 2019 akhir, panen sekali itu bisa sampai Rp 200-250 juta. Sedangkan paling parah itu dulu di 2018, sekilo cuma Rp 180 ribu. Biasanya sekilo itu bisa Rp 700 ribu - 1 jutaan” ucap Mashur.

Mashur dan para nelayan pembudidaya lobster di Lombok Timur berharap agar prosedur pendistribusian komoditas hasil laut itu lebih dipermudah. Pasalnya, selama ini prosedur pengiriman lobster hidup melalui bandar udara berbelit-belit dan membuang waktu. Padahal, lobster hidup terlalu lama dalam pengiriman akan banyak yang mati. Tentunya akan mempengaruhi harga jual lobster tersebut.

“Pesawat berangkat dari Lombok ke Jakarta pukul 15.00 WITA, kita pukul 12.00 sudah WITA harus masukan lobster ke karantina bandara. Itu bahaya buat kondisi lobster hidup. Karena kalau sampai Jakarta lobster mati itu harganya akan turun pas sampai Jakarta,” pungkas Mashur penuh harap.


Penulis: Syailendra Hafiz Wiratama
Editor: M. Rizal Maslan
Desainer: Luthfy Syahban

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE