INTERMESO

Jatuh Cinta kepada Belatung

Budidaya belatung jenis BSF mulai diminati banyak orang. Pantas saja, hewan ini memiliki segudang manfaat. Selain itu, dari segi bisnis, berjualan belatung pun ternyata amat menggiurkan.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Minggu, 21 November 2021

Fathimah Himmatina dan suaminya Ilham Fauzi kaget bukan main saat mendapati satu ember penuh berisi belatung raib seketika. Di embernya, sudah tidak ada lagi belatung yang tersisa. Dengan kepala pening, mereka berdua mencari kesana-kemari. Setelah ditelusuri, rupanya larva atau maggot hasil metamorfosis dari lalat Black Soldier Fly atau BSF ini telah melarikan diri. Gawatnya, gerombolan larva ini malah menyerbu rumah tetangga di sekitarnya.

“Mereka ketakutan dan komplain. Kok, jadi banyak belatung di rumah mereka. Ya, tersangka utamanya kita. Mana yang kabur larva warna hitam lagi. Mereka sudah mau berubah jadi lalat, ” ucap Fathimah yang awalnya juga sempat merasa geli dengan kehadiran hewan ini di rumahnya.

Saat itu di pertengahan tahun lalu, Fathimah dan sang suami tengah melakukan serangkaian uji coba untuk budidaya maggot BSF skala rumahan. Aktivitas ini awalnya mereka lakukan untuk mengisi waktu luang di rumah akibat pandemi COVID-19. Suaminya yang bekerja sebagai guru SD di Sekolah Cikal juga terdampak. Alhasil pendapatan keluarganya ikut menurun.

Asal-usul ketertarikan mereka berdua terhadap larva ini bermula dari proyek penelitian yang diajarkan suaminya di sekolah. Namun, penelitian mengenai lalat BSF tak jadi diteruskan oleh anak didiknya. Sedangkan suaminya sudah kadung melihat potensi dan manfaat besar yang dimiliki lalat BSF ini.

Alat beternak maggot yang dikembangkan keluarga Fathimah
Foto : Dok Pribadi (Instagram)

“Tahu soal maggot dari proyek sekolah buat penelitian anak-anak. Tapi karena anak-anak pada geli jadi suami coba sendiri di rumah,” ucap ibu dari dua orang anak ini. Dilihat dari bentuknya, lalat BSF berbeda sekali dengan lalat yang biasa ditemui di pasar. Ukurannya lebih besar dan menyerupai serangga tawon.

Semakin ditelusuri, mereka malah makin jatuh cinta dengan maggot. “Ternyata maggot itu bukan hama. Mereka nggak menyebarkan penyakit dan malah banyak manfaatnya. Di dalam tubuh mereka ada suatu enzim yang membuat bakteri sekelas E. coli mati. Makanya maggot sangat aman digunakan sebagai pakan ternak, proteinnya juga tinggi.”

Kalau sampah yang diberikan lebih lunak, akan lebih cepat dicerna oleh maggotnya sehingga menghindari dari bau busuk."

Peternak maggot umumnya membudidayakan hewan itu di lahan yang besar. Namun, di rumah, Fathimah dan suaminya menghadapi problema keterbatasan lahan. Untuk itu mereka mencari celah dengan menciptakan sebuah alat agar bisa membudidayakan maggot di rumah. Setelah beberapa kali kegagalan, termasuk ketika maggot ‘minggat’ dari rumah, Fathimah dan suaminya berhasil menemukan inovasi baru.

Hasil jerih payahnya adalah sebuah boks minimalis ceper yang dilengkapi rongga udara dan botol toples kecil di sampingnya. Box ceper yang diberi nama Magobox ini memudahkan pemiliknya untuk memindahkan maggot ke mana pun mereka suka. Botol toples berfungsi sebagai penunjang untuk fitur panen otomatis.

“Untuk ibu-ibu yang mungkin geli megang maggot. Kita menyediakan fitur panen otomatis, dilengkapi jalur migrasi yang membuat belatung itu akan masuk sendiri ke dalam toples,” tutur inovator sekaligus CEO dari Magobox ini. Sementara fitur panen otomatis memakan waktu lebih lama, yaitu sekitar 2-3 hari.

Magobox memiliki tiga variasi. Pertama adalah kandang BSF dewasa. Lalu dua di antaranya merupakan box penampung maggot berukuran mini dan XL. Ukuran mini dapat menampung 1 kg maggot. Sedangkan ukuran XL dapat menampung hingga 3 kg maggot.

Untuk menguji kelayakan alatnya, Fathimah mengikuti beberapa ajang lomba. Hasilnya, inovasi Magobox diapresiasi oleh khalayak umum. Salah satunya penghargaan peringkat I pada gelaran Indosat Virtual Hackaton 2020. Prestasi itu membuat Magobox semakin dikenal. Pada awal 2021, sebuah industri maggot BSF di Depok bernama Biomagg mengajak Fathimah dan suami untuk berkolaborasi.

Kolaborasi ini lantas membuat usahanya semakin berkembang. Pada Februari 2021, mereka mulai memasarkan Magobox. Baik itu lewat e-commerce maupun sosial media. Tak disangka, sambutan masyarakat begitu meriah. Sampai saat ini, mereka sudah menjual sebanyak lebih dari 600 box.

Selain berpotensi bisnis, maggot juga dapat mengurai sampah
Foto : Andhika/detikcom

“Nggak nyangka usaha yang awalnya kami mulai dengan iseng dan coba-coba, bahkan saya pribadi sempat mau nyerah aja. Sekarang omzet sudah di atas Rp 50 juta per bulan,” tutur perempuan berusia 28 tahun ini. Selain itu Magobox juga berhasil meraih penghargaan Special Prize Ecothon 2021 dan Runner Up Indonesia Sharia Economic Festival 2021 kategori Agriculture.

Dari segi ekonomi, bisnis belatung ini memang tampak menggiurkan. Namun ternyata, budidaya maggot juga memiliki manfaat besar dari sisi lingkungan. Terutama dalam hal mengurangi gunungan sampah di Indonesia yang kian hari makin menjulang tinggi. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada 2020 Indonesia menghasilkan 67,8 ton sampah atau setara 185,8 ribu ton per hari, dengan jumlah sampah yang dihasilkan oleh setiap orang per hari adalah sekitar 0,7 kg.

“Solusi untuk permasalahan itu dengan mengolah sampah langsung dari sumbernya yaitu rumah tangga. Dengan budidaya maggot, kita bisa jadi salah satu agen solusi permasalahan sampah. Jadi sampah rumah tangga nggak dibuang begitu aja tapi dipilah dan sampah organik bisa diuraikan oleh maggot,” katanya.

Cara ini sudah dipraktekan langsung oleh Fathimah di rumahnya. Justru sekarang ia malah kekurangan sampah organik. Fathimah malah meminta sumbangan sampah dari tetangganya. “Kalau ada sisa sampah makanan bisa taruh di box, sini kita bantu reduksi. Sebagai timbal balik, aku berikan mereka kasgot. Kasgot itu sisa sampah yang sudah diubah oleh maggot menjadi pupuk organik.”

Selain itu Fathimah juga mendirikan Komunitas Lalat Baik untuk bertukar pengalaman dan ilmu tentang cara berbudidaya maggot. Isinya adalah orang-orang yang sudah menggunakan Magobox. Salah satunya adalah Muhammad Rezki. Pria asal Dumai, Provinsi Riau, ini awalnya prihatin dengan permasalahan sampah di kotanya.

“Kalau di sini belum teredukasi cara memilah sampah. Saya lihat masih banyak orang yang buang sampah di jalan atau sungai,” ungkap Rezki terkait dengan manfaat budidaya maggot yang dapat menjadi jalan alternatif untuk menguraikan sampah rumah tangga.

Maggot yang dikembangbiakkan di boks.
Foto : Dok Rezki

Mulanya, Rezki membuat wadah sendiri untuk membudidayakan maggot. Ia menggunakan triplek kayu yang dilapisi plastik. Sayang caranya ini kurang maksimal dan malah menimbulkan aroma tidak sedap. Rezki lantas menemukan informasi mengenai Magobox di sosial media. Ia membeli Magobox berukuran XL untuk menambah wawasan supaya pemula seperti dirinya bisa belajar cara membudidayakan maggot di rumah.

Setelah dua bulan berjalan, Rezki tak hanya berhasil menguraikan sampah di rumahnya. Sejauh ini, ia juga sukses memanen maggot sebanyak delapan kali. Setiap hari Rezki memerlukan sampah sebanyak setengah kilogram untuk memberi makan maggotnya. Ditambah sisa ampas tahu dari sebuah pabrik tahu tak jauh dari rumahnya.

“Kalau sampah yang diberikan lebih lunak, akan lebih cepat dicerna oleh maggotnya sehingga menghindari dari bau busuk,” kata Rezki yang bekerja di Badan Narkotika Nasional (BNN) Dumai.

Kini dari hasil budidaya maggot rumahan, Rezki turut mendapatkan penghasilan tambahan. Ia tak menyangka Komunitas Ikan Hias Channa di Dumai melirik ternak maggot miliknya. “Saya jual per kg. Pembelinya dari Komunitas Ikan Hias Channa. Di sini saya jual dengan harga di atas pasaran. Biasanya hanya Rp 8-10 ribu per kg. Tapi saya jual Rp 20 ribu per kg karena di Dumai belum ada produksi maggot besar-besaran,” ungkapnya.


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE