Foto: Yudha Maulana
Lembayung jingga menggelayut di langit Kota Bandung, Jawa Barat, pada 1967. Saat hari beranjak sore, itu pertanda bagi Sam segera pulang ke rumah. Ia harus mengemasi seperangkat angklung, alat musik tradisional terbuat dari bambu. Setiap hari rutinitas itu ia lakukan bersama ayahnya, Udjo Ngalagena.
Selepas salat Magrib, Udjo bersama anaknya siap membawa seperangkat alat musik itu. Mereka memikul angklung-angklung itu ketika hari sudah mulai redup. Keduanya menyusuri jalanan dan kelokan di Kota Kembang. Mereka harus berjalan kaki sejauh 5-6 kilometer dari rumahnya di Jalan Padasuka, Cibeunying Kidul, menuju alun-alun Bandung, yang kala itu menjadi pusat keramaian.
Kota Bandung masih sejuk dan tenteram. Jalanan belum ramai dan semrawut seperti sekarang. Begitu sampai di alun-alun, Sam, yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, segera menggelar peralatan musiknya. Ia duet bersama ayahnya, sang maestro angklung pentas di tengah alun-alun.
Sam bin Udjo
Foto: Yudha Maulana/detikX
Nyaringnya bunyi bilah-bilah bambu dari berbagai ukuran itu menghasilkan irama yang begitu harmonis. Suasana malam yang diterangi sinar rembulan menjadi semakin semarak di alun-alun Parijs van Java. Kepiawaian Udjo dan Sam bermain angklung langsung menyedot perhatian warga yang melintas.
Pulangnya itu capek. Kadang-kadang pulang sudah malam sekali. Setelah Magrib keluar, pulangnya malam. Seingat saya, waktu itu tidak pernah ketemu hujan.”
Udjo dan Sam tak melewatkan begitu saja kesempatan itu. Di tengah memainkan angklung, bapak dan anak itu membagi-bagikan kartu nama. Uniknya, kartu nama itu terbuat dari bilah bambu kecil yang diukir. Kartu nama berisi sebuah promosi sanggar angklung yang baru didirikan Udjo, Sanggar Angklung Udjo (SAU).
Selain membagikan kartu nama kepada masyarakat yang menonton, mereka mensosialisasikan SAU kepada para pelancong, tamu, dan pengelola hotel yang tersebar di seluruh kota itu, terutama Hotel Savoy Homann dan Preanger. Bila malam sudah semakin larut, Udjo dan Sam menyudahi aktivitasnya dan pulang ke rumah.
“Pulangnya itu capek. Kadang-kadang pulang sudah malam sekali. Setelah Magrib keluar, pulangnya malam. Seingat saya, waktu itu tidak pernah ketemu hujan,” kenang Sam, yang kini sudah berusia 69 tahun, tersenyum saat bincang-bincang dengan detikX, Rabu, 17 November 2021.
Sam adalah anak lelaki tertua dari 10 anak pasangan Udjo Ngalagena dan Uum Sumiati. Pada 1967, Udjo baru saja merintis pendirian sanggar SAU di rumahnya. Sejak itulah, Sam selalu ikut ayahnya ke mana pun pergi. Keliling ke seluruh pelosok wilayah Bandung Raya mempromosikan pertunjukan seni angklung. Dalam sepekan, mereka bisa satu atau dua kali menggelar pertunjukan di alun-alun.
“Kita jalan dari Padasuka ke alun-alun. Mengamen itu bukan untuk mencari uang. Bapak tampil itu untuk mencari kesenangan, betul-betul happy," ucap Sam lagi.
Sam mengisahkan, ketika SAU baru berdiri, pada awalnya ayahnya hanya mengajarkan seluk-beluk kesenian angklung kepada anggota keluarganya. Seiring perjalanan waktu, aktivitas mereka mulai menarik perhatian tetangga. Lambat laun hingga mendatangkan warga kota untuk menyaksikan pertunjukan angklung di sanggar yang sekaligus rumah Udjo.
Tak hanya menyaksikan pertunjukan kesenian musik angklung, mereka yang datang dari luar daerah belajar membuat angklung juga. Setelah mereka terampil, ilmunya dikembangkan dan membuat angklung sendiri. Menginjak 1970-an, permainan angklung mulai dikenal luas. Sanggar SAU pun kian menggema seiring gencarnya paket wisata ke Bandung.
Pementasan pada 8 Agustus 2020, saat SAU masih beroperasi.
Foto: Yudha Maulana/detikX
Terutama paket wisata Java-Bali Overland Tour yang dijual biro perjalanan kepada turis mancanegara. Tur wisata bagi turis asing itu rutenya mulai Jakarta-Bogor-Puncak-Bandung, hingga Yogyakarta dan Bali. “Tapi, ketika itu terjadi kemacetan, harga dari biro travel juga tinggi. Tren Java-Bali Overland itu mulai kurang diminati sampai tahun 2000-an, setelah Bapak meninggal dunia (pada 2001), sudah lama tapi belum begitu lama," tutur Sam.
Tapi surutnya kunjungan turis mancanegara justru membawa keberuntungan tersendiri bagi SAU. Kala itu, tren wisatawan domestik malah meningkat secara signifikan. Wisatawan dalam negeri dari berbagai provinsi menjadikan sanggar SAU sebagai destinasi wisata yang ‘wajib’ dikunjungi. “Terutama anak sekolah, hampir tiap hari ada dari Jawa, Sumatera, Kalimantan yang datang ke Bandung, mampir ke Saung Angklung Udjo,” jelas Sam bangga.
Kehidupan ibarat lautan, ada pasang dan surutnya. Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) melanda Tanah Air sejak Maret 2020 dirasakan begitu ‘keji’ bagi pertunjukan kesenian di SAU. Tak ada lagi tawa riang anak-anak dan orang dewasa yang berkunjung ke Saung Angklung selama hampir satu tahun tujuh bulan ini.
Pertunjukan atraktif dan megah di SAU tak sebanding dengan jumlah pengunjung yang datang. Padahal sebelumnya bisa mencapai 2.000 orang per hari, kini terjun bebas menjadi hitungan jari per minggunya. Faktor itulah yang menjadi alasan bagi pengelola SAU menghentikan pertunjukan sambil menunggu regulasi baru dari pemerintah terkait pencegahan dan penyebaran COVID-19.
Biasanya, dalam sekali pertunjukan, ada 35 orang yang dilibatkan. Mulai pemain musik angklung, penari, hingga anak-anak yang bermain kaulinan urang lembur, yang menjadi bagian dari pertunjukan. Belum lagi karyawan dan para perajin angklung, yang jumlahnya kurang-lebih 600 orang. Kini semua kena imbasnya gara-gara pandemi.
Tak sedikit karyawan, yang kebanyakan berasal dari warga sekitar, beralih pekerjaan. Entah menjadi tukang ojek, tukang bakso, atau petani. Tapi baru September 2021, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengizinkan SAU kembali dibuka dengan memperhatikan protokol kesehatan dan mengantongi sertifikat CHSE (clean, healthy, safety, and environment).
“Baru buka lagi kemarin pelan-pelan, kita juga coba virtual dengan berbagai keterbatasan dan itu juga biayanya tidak murah. Untungnya pemerintah dan swasta ini membantu kami. Kalau tanpa itu, kami sangat kerepotan,” tutur Sam.
Sam bin Udjo membersihkan angklung
Foto: Yudha Maulana/detikX
Keadaan itu tak membuat pengelola SAU putus harapan. Inovasi pun ditawarkan. Salah satunya menjual paket angklung dengan jaminan diberi tahu cara memainkannya. Produk itu bernama ‘Angklung for Family’, yang didesain untuk satu keluarga. Jadi nanti anggota keluarga memainkan angklung dengan nada yang berbeda-beda. “Kemudian dipandu video, tapi itu juga sebenarnya masih belum mendongkrak,” ucapnya tersenyum.
Berbicara soal SAU tak lepas dari sosok pendirinya, Udjo Ngalagena, yang lahir pada 5 Maret 1929. Bakatnya bermain angklung terasah sejak ia kecil. Hampir semua anggota keluarganya pandai memainkan alat musik tradisional, seperti gambang dan angklung, dengan nada pelog.
Udjo lahir di sebuah desa yang bernama Cicalung di wilayah Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Bila ditelisik, kata ‘calung’ pada Cicalung merujuk pada nama salah satu alat musik yang terbuat dari bambu. Alat musik yang dimainkan dengan cara digoyang-goyang itu menghasilkan bunyi seperti angklung.
“Darah seninya berasal dari keluarganya karena saudara perempuannya juga semua pandai bermain gambang dari kayu. Gambang alat musik yang biasa ada di pertunjukan wayang golek. Enak didengar. Saya tahu saat mereka mengasuh adik-adik saya,” kata Sam.
Udjo memiliki kebiasaan unik, yakni bermain seruling yang suaranya didekatkan ke lubang sumur. Suara seruling yang beresonansi di lubang sumur menghasilkan suara yang lebih indah. “Kecintaan Bapak itu dibuktikan dengan seni. Kalau meniup seruling, tak mau yang biasa, tapi ke sumur. Kan ada pantulan gitu dan suka bersenandung lagu-lagu Sunda. Beliau bikinlah nada angklung yang sama nadanya dengan gamelan, jadi gamelan tidak dengan besi, tapi dengan bambu,” ungkap Sam.
Kemahiran Udjo dalam musikalisasi tak lepas dari peran seniman angklung Daeng Soetigna. Sosok ini merupakan teman Udjo saat mengajar di Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak (SG TKK) Kartini. Udjo, yang mengajar pendidikan jasmani, sering bertemu dengan Daeng yang mengajar kesenian.
“Ilmu dari Pak Daeng itu Bapak serap semua, nada angklung diatonis Pak Daeng itu yang mendunia karena nadanya yang bisa harmoni dengan alat musik di dunia internasional,” terang Sam.
Suasana sanggar SAU ditutup pada masa pandemi
Foto: Yudha Maulana/detikX
Banyak yang beranggapan angklung adalah alat musik dari Bandung. Tapi sebenarnya angklung berasal dari wilayah Baduy Dalam, Lebak, Banten. Sam menyebutkan, Daeng Soetigna-lah orang yang paling berjasa membawa kesenian angklung itu ke Bandung dan membuatnya semakin populer.
“Bapak cerita ke saya, angklung berasal dari Baduy Dalam, karena orang Baduy Dalam tidak menerima kesenian dari luar, kemudian di sana juga angklung dibuat dari bambu endemik di sana. Bambu mayang namanya, resonansi suaranya juga sangat bagus,” ungkap Sam lagi.
Angklung sudah ditetapkan oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Non-Bendawi Manusia pada 16 November 2010. Sejak itulah, setiap tanggal 16 November dijadikan Hari Angklung Indonesia. Meski begitu, masih banyak yang perlu dilakukan agar orisinalitas dan kelestarian angklung tetap terjaga.
Sam, yang menjabat Ketua Perhimpunan Penggiat Angklung Indonesia, mengatakan masih banyak tugas yang harus dilakukan untuk menjaga warisan budaya asli Indonesia itu. Saat ini Sam tengah bergerak untuk mencari jejak sekaligus melestarikan angklung leluhur atau ‘buhun’.
Bulan lalu, Sam pergi ke Kasepuhan Ciptagelar dan Kasepuhan Sinar Resmi di pegunungan Halimun, Cisolok, Sukabumi. Di sana ia menemukan angklung asli yang berasal dari wilayah tersebut. Ia berharap pemerintah juga memberikan dukungan. Karena sangat banyak jenis kesenian angklung, seperti Angklung Seret, Angklung Gubrag, Angklung Buncis, dan sebagainya.
Angklung merupakan heritage yang memiliki filosofi, yaitu harus dimainkan bersama-sama untuk menciptakan harmoni. Boleh saja kaum milenial menampilkannya dengan gaya band, tapi tetap harus dijaga gaya heritage-nya.
“Jangan sampai angklung ini seperti gitar, memang keren dan modern, tapi hilang unsur heritage-nya, nanti ada anggapan angklung hanya alat musik, bukan warisan benda tak benda,” pungkas Sam.
Penulis: Yudha Maulana
Editor: M. Rizal Maslan
Desainer: Luthfy Syahban