INTERMESO

Kecelakaan Fatal Itu Mengubah Hidupku

“Satu hal yang mungkin akan terus gua sesali. Karena gua tidak ada di sana saat-saat terakhirnya.”

Ilustrasi: Edi Wahyono

Sabtu, 13 November 2021

Cuaca mendung yang meliputi langit Jakarta beberapa hari belakangan ini mengingatkan Yudi, bukan nama sebenarnya, tentang sebuah kenangan pahit yang terjadi empat tahun silam. Di hari di mana kejadian itu menimpanya, jalan Tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang) juga tengah diguyur gerimis hujan. Wiper mobil tak berhenti menghalau air hujan yang turun ke atas kaca mobilnya.

“Hujannya nggak lebat-lebat amat, jalanan juga nggak terlalu ramai dan lancar,” terang Yudi yang awalnya ragu untuk menceritakan kembali kisahnya.

Perjalanan Jakarta-Bandung sudah menjadi rutinitas buat Yudi. Dulu, ketika masih bekerja di perusahaan kelistrikan, Yudi selalu pulang ke rumahnya di Bandung setiap akhir pekan. Yudi harusnya sudah paham betul medan yang selalu ia lewati. Entah Yudi harus menyalahkan hujan atau kondisi tubuhnya yang lelah selepas pulang kerja.

“Begitu pukul 17.00 WIB selesai urusan kantor, saya langsung pulang ke Bandung. Kadang naik kereta, kadang juga saya bawa mobil fasilitas dari kantor,” ungkap ayah dari satu anak ini.

Sebetulnya hari itu, laki-laki yang kini berusia 41 tahun itu ingin naik kereta. Tapi karena kesibukan di tempat kerja, ia lupa memesan tiket kereta. Tiket perjalanan yang tersedia hanya ada keesokan harinya. Yudi tak ingin melewatkan sedikit pun waktu untuk bercengkrama dengan putrinya yang saat itu masih berusia 6 tahun. Tanpa sempat beristirahat Yudi langsung mengemudikan mobilnya menuju Bandung.

Ilustrasi kecelakaan
Foto : Dok detikcom

Semula perjalanan berjalan lancar tanpa hambatan. Sesekali Yudi menyalip kendaraan di depannya. Meskipun begitu, laju kecepatan mobil yang ia kendarai tetap stabil di angka 80 km/jam. Namun, di kilometer 80, mobil yang ia kendarai mendadak oleng ke sisi kanan lajur jalan. Mobilnya menghantam pembatas jalan. Begitu kuatnya benturan itu sehingga membuat bodi mobil terpental dan hampir terguling, lalu menabrak mobil lain yang tengah melintas.

“Yang saya ingat kepala saya terbentur keras dan pecahan kaca mobil berhamburan ke arah wajah. Setelah itu saya nggak ingat apa-apa karena saya pingsan,” tutur Yudi. Menurut penuturan istrinya yang belakangan menyusul dirinya ke rumah sakit tempat ia di rawat, petugas kepolisian sempat kesulitan mengevakuasi Yudi karena kaki sebelah kanannya terjepit. Mobil berwarna hitam yang ia kendarai ringsek di bagian kanan tempat ia menyetir.

Saat itu gua justru mikirnya gimana sekolah, gimana kami survive ke depan. Mungkin karena gua anak pertama kali ya makanya mikirnya lebih ke arah sana."

Begitu tiba di rumah sakit, dokter segera melakukan prosedur untuk menjahit luka-luka di sekujur tubuh Yudi. Sebagian kulit di kaki kanannya hilang dan saraf yang penting robek. Dokter sudah melakukan berbagai cara untuk kesembuhannya, terutama untuk kaki sebelah kanan Yudi. Kaki sebelah kanannya rusak dan tidak lagi bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Dokter dengan tegas menerangkan untuk dilakukan amputasi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

“Kita terpaksa mengambil keputusan itu karena sudah nggak ada jalan lain. Istri saya sampai histeris sekali,” ucap Yudi. Istrinya sempat memohon kepada dokter untuk tidak diamputasi. Tapi saat itu dokter dengan berat hati tidak bisa mengabulkan keinginannya.

Pasca operasi Yudi mengalami depresi berat. Kondisi itu membuat Yudi harus kehilangan pekerjaannya. “Paling berat buat saya untuk menerima kenyataan kalau saya sudah nggak bisa bekerja normal dengan kedua kaki saya. Waktu itu saya nggak siap buat balik lagi masuk kantor,” ungkapnya.

Butuh waktu yang tak sebentar buat Yudi untuk memulihkan kembali kondisi fisik dan mentalnya. “Titik balik saya saat melihat anak diantar istri pergi ke sekolah. Masa saya diam aja di rumah dan pasrah sama keadaan saya,” tuturnya. Untuk berkegiatan sehari-hari, kini Yudi menggunakan kaki palsu. Bersama sang istri, kini ia membuka toko listrik di daerah Buah Batu.

Namun, semenjak kejadian itu belum pernah sekali pun ia kembali ke Jakarta. “Kebetulan karena pandemi jadi saya juga nggak bisa ke mana-mana. Tapi saya juga belum kepingin balik ke Jakarta, apalagi lewat jalan itu lagi. Saya masih belum siap,” katanya dengan suara bergetar.

* * *

Cat warna warni di kolong jalan layang Senen tidak mampu mencerahkan hati Bimo Aria Fundrika. Setiap melintasi jalan ini, hatinya selalu berubah menjadi kelabu. Apa boleh buat, tempat itu sudah terlanjur menyimpan trauma yang mungkin akan sulit terhapus.

Sekitar 11 tahun lalu, jalan aspal Underpass Senen telah menjadi saksi bisu kematian ayahnya. Sampai sekarang laki-laki berusia 28 tahun itu tak tahu persis di mana ayahnya menghembuskan nafas terakhir. Ia hanya bisa menerka-nerka saja. Apakah ia meninggal di tempat kejadian ataukah saat di perjalanan menuju rumah sakit.

Bimo dan keluarganya
Foto: Dok Pribadi

“Waktu kejadian pukul 17.00 WIB. Gua lagi ikut ekskul futsal di sekolah. Handphone gua letakin di tas. Padahal waktu itu sepupu gua udah nelfon melulu, tapi nggak gua angkat,” ungkap Bimo yang pada saat itu masih kelas 2 SMA.

Bimo sama sekali tak punya firasat buruk. Ia masih mengira ayahnya hanya luka-luka biasa. Meski mendapati saudaranya sudah berkumpul di rumah sambil tak hentinya membacakan doa, Bimo masih tenang. Dirinya baru sadar ketika mendengar kabar bahwa sang ayah sudah terbaring kaku Di RS Gatot Subroto. “Satu hal yang mungkin akan terus gua sesali. Karena gua tidak ada di sana saat saat terakhirnya,” ujar Bimo.

Kabarnya, di perjalanan pulang, motor yang dikendarai ayah Bimo menghantam sebuah drainase dengan sangat keras. Tubuhnya terpental dan kepalanya menghantam pembatas jalan. “Gua agak heran karena ngeliat kondisi tubuhnya saat dimandikan 90% terlihat baik-baik aja. Cuma ada luka lebam dan memar. Tapi memang helm full face yang bokap gua pakai pecah dan hampir kebelah dua,” kata Bimo yang sehari-hari bekerja sebagai asisten editor di sebuah perusahaan media. Bahkan motor peninggalan ayahnya masih menemani Bimo hingga lulus kuliah di tahun 2015.

Bimo dan keluarganya tidak hanya kehilangan sosok ayah, tapi juga kehilangan sosok kepala keluarga sekaligus pencari nafkah. Ayahnya sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan pariwisata. Saat itu, perusahaan tempat ayahnya bekerja bahkan hanya memberikan uang santunan sebesar Rp 2 juta.

“Jumlah segitu mana cukup. Ibu gua juga cuma ibu rumah tangga yang nggak ada penghasilan. Saat itu gua justru mikirnya gimana sekolah, gimana kami survive ke depan. Mungkin karena gua anak pertama kali ya makanya mikirnya lebih ke arah sana,” tutur Bimo yang memiliki seorang adik perempuan.

Hal itulah yang belakangan menjadikan motivasi Bimo untuk segera menuntaskan kuliahnya. Meski ia merantau ke Purwokerto untuk kuliah, Bimo tidak pernah macam-macam. Ia malah mendapatkan beasiswa dan lulus dalam waktu 3,5 tahun. “Kondisi itu motivasi gua seminimal mungkin nggak macem-macem nggak nyusahin nyokab gua nggak pengen lebih lama lagi jadi beban nyokab gua,” kata lulusan Universitas Sudirman, Purwokerto ini.


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE