Ilustrasi : Edi Wahyono
Kamis, 11 November 2021Kaisar Hirohito, melalui siaran radio Gyokuon Hoso, mengumumkan penyerahan tanpa syarat kepada pihak Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan China) pada 15 Agustus 1945. Indonesia pun memproklamasikan kemerdekaan dua hari setelahnya. Sebagai konsekuensinya, seluruh tentara Dai Nippon yang berada di wilayah Indonesia ditarik ke barak.
Situasi tersebut tak otomatis membuat keadaan di Indonesia menjadi lebih baik. Suasana keamanan memanas ketika pasukan Sekutu Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) mendarat di Jakarta pada 15 September 1945. Pasukan Sekutu yang dipimpin Letnan Jenderal Sir Philip Christison itu bermaksud hendak melucuti serdadu Jepang dan memulangkan mereka.
Namun, sebelum kedatangan pasukan itu, ada kesepakatan pemindahan kekuasaan dari British Military Administration (BMA) kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA) pada 24 Agustus 1945. Ternyata pasukan Belanda datang dengan membonceng Sekutu dan NICA. Tujuannya apa lagi kalau bukan ingin menguasai Indonesia kembali.
Tentara Belanda malah mempersenjatai tawanan perang yang sudah dibebaskan Sekutu. Konflik pun muncul antara pasukan Sekutu-Belanda dengan pejuang Indonesia. Meletuslah perang di tengah pelucutan senjata tentara Jepang di Bandung pada 21 November 1945.
Di sisi lain, Sekutu memberikan ultimatum kepada tentara Jepang di Indonesia untuk meninggalkan Indonesia hingga Mei 1946. Bila tidak, mereka akan dihukum mati. Panglima Besar Tentara Jepang Ke-16 Mayor Jenderal Mabuchi juga mengeluarkan selebaran yang berisi bahwa tentara yang desersi diminta kembali ke markas Jepang atau tentara Indonesia terdekat hingga 15 Juni. Bila tidak, mereka akan dihukum mati.
Tentara Jepang yang berada di balik jendela baraknya menyaksikan Indonesia jatuh ke tangan Sekutu, Kota Bandung yang dibakar, dan orang Indonesia dipukuli serta dibunuh tanpa perasaan.
Upacara penyerahan senjata oleh tentara Jepang kepada TRI dan pemberangkatan tentara Jepang di Malang. Jenderal Sudirman dan Urip Sumoharjo menerima penyerahan senjata dari perwira tentara Jepang, 28 April 1946
Foto: dok. ANRI
“Mereka sangat kasihan. Kemarahan saya menjadi semakin besar ketika saya teringat akan janji Jepang nanti akan memerdekakan Indonesia,” kata Shigeru Ono dalam catatan hariannya yang dibukukan Eiichi Hayashi berjudul ‘Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono, Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik’ (2011).
Saat itu, Shigeru Ono, yang berpangkat chuii (letnan), Tetsuo Katano, dan Shunichi Takigami sudah keluar dari dinas tentara Jepang. Ketiganya memilih bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 30 Desember 1945. Sebelum keluar dari markas, Shigeru menitipkan sebuah surat untuk ibunya kepada rekannya, Nishibuchi.
“Dalam surat itu saya menyatakan saya sudah mati di Indonesia. Surat itu saya sertai beberapa helai guntingan rambut dan kuku saya,” ungkap pria kelahiran Furano, Hokkaido, 26 September 1919, itu.
Surat tersebut dimaksudkan agar ibunya tak bersedih berlama-lama bila dikabari kematiannya. Shigeru yakin ibunya akan bersedih bila ia dikabari masih hidup, apalagi ikut perang bersama para pejuang Indonesia. Shigeru, Tetsuo, dan Shunichi mengendap-endap pergi keluar dari markas lengkap membawa bekal dan senjatanya.
Bagaimana caranya agar mereka bisa lolos lewat patrol dan pos pasukan Sekutu? Tak lama, mereka sampai di Markas Polisi Militer BKR di Bandung. Mereka langsung menyerahkan diri dan diterima komandan Kapten Sugono. Mereka dibawa ke suatu tempat dan disembunyikan.
Ketiganya diminta melepas seragam tentara Jepang dan mengganti pakaian ala Indonesia. Mereka pun diberi sarung dan kopiah supaya terlihat sebagai warga lokal. Nama mereka pun diganti. Shigeru Ono menjadi Rahmat, Tetsuo Katano menjadi Karman, dan Shunichi Takigami menjadi Adam.
Tanaka atau Sutoro
Foto: Eko Susanto/detikcom
Di markas pejuang Indonesia, Shigeru ternyata melihat sudah banyak bekas tentara Jepang dari berbagai kesatuan yang bergabung juga. Rata-rata mereka diminta melatih para laskar pejuang, maupun tentara BKR. Satu bulan lebih, Shigeru akhirnya dikirim ke Markas Besar Polisi Militer BKR di Yogyakarta.
Di tempat barunya, Shigeru telah berjumpa dengan rekannya, Takai Juichi, yang sudah berubah nama menjadi Budiman. Saat itu, Budiman Takai membawahi 30-50 orang bekas tentara Jepang yang bergabung dengan pejuang Indonesia. Selama di Yogyakarta dan Jawa Tengah, Shigeru berkenalan dengan Tatsuo Ichiki atau Abdul Rahman, mantan wartawan Nichi Ran Syogo Shimbun (koran bisnis Hindia Belanda-Jepang).
Abdul Rahman Tatsuo fasih berbahasa Indonesia dan Sunda karena sudah lama tinggal di wilayah Indonesia sejak 1930-an. Bahkan ia memiliki istri asal Sumedang, Jawa Barat. Tatsuo diberi nama Abdul Rahman oleh Haji Agus Salim, penasihat Pembela Tanah Air (PETA) saat menjadi instruktur pendidikan sebagai perwira sipil.
Abdul Rahman Tatsuo dan Rahmat Shigeru pun ditugasi Markas Besar BKR untuk menerjemahkan buku strategi militer ke dalam bahasa Indonesia. Bahkan keduanya diminta tokoh pergerakan dan pejuang kemerdekaan Zulkifli Lubis menerjemahkan dan menyusun buku strategi militer dan intelijen untuk BKR, yang kemudian berganti menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Rakyat Indonesia (TRI), dan terakhir menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Selesai bertugas di Yogya dan Jawa Tengah, Shigeru dikirim ke Magetan, Jawa Timur, sebagai instruktur pendidikan militer. Baru pada 19 Mei 1947, Shigeru dipindahkan ke Madiun untuk langsung bergabung ke medan perang. Shigeru dan beberapa rekannya disatukan dalam Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) untuk membantu pasukan Divisi Malang.
Aksi Shigeru sangat mematikan bagi pasukan Sekutu dan Belanda. Shigeru dan kawan-kawan PGI dilebur dalam kesatuan Pasukan Untung Surapati 18 Divisi 7 Malang. Saat itu ia menjadi penyemangat para pejuang di medan pertempuran. Bahkan, tepat pada usia ke-29 tahun, tangan kiri Shigeru putus akibat kecelakaan ketika membuat tekidanto atau granat lontar pada 26 September 1948.
Yang Chil-seong, Usman Katsuo, dan Abu BakarMasahiro Aoki
Foto: Nationaal Arcief Netherlands
Berdasarkan catatan detikcom, bekas serdadu Jepang lainnya yang bergabung ke BKR adalah Tanaka Mitsyukui. Berganti nama menjadi Sutoro, ia berada di bawah Divisi Jawa Tengah pimpinan Ahmad Yani (korban pembunuhan G30S pada 1965) di Magelang, Jawa Tengah. Aksi heroiknya adalah ketika ia menembaki dua pesawat cocor merah di atas watertoren alun-alun Kota Magelang hingga jatuh. Juga ikut serta dalam pertempuran bersama para pejuang melawan Belanda dalam peristiwa Palagan Ambarawa.
Juga kisah Tanagawa, seorang tentara bantuan atau gunsok (asisten tentara Jepang) berkewarganegaraan Korea. Tanagawa, yang bernama asli Yang Chil-seong, bertugas sebagai phorokamsiwon (sipir) di kamp tawanan perang di Bandung sejak 1942. Pria kelahiran Wanjoo, Jeolla Utara, Korea Selatan, 29 Mei 1919, itu juga membelot kepada laskar pejuang kemerdekaan.
Menurut Dr Usep, peneliti dari Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), dalam diskusi virtual berjudul 'Pahlawan Garut dari Korea' melalui YouTube pada 29 Mei 2021, sejak pasukan Sekutu datang ke Bandung, pasukan gunsok dan phorokamsiwon, yang dominan berasal dari Semenanjung Korea, kalang kabut melarikan diri ke luar Kota Bandung.
Satu regu pasukan Jepang melarikan diri ke wilayah Garut. Di antara mereka ada Yang Chil-seong, Guk Jae-man, Lee Gil-dong, dan Woo Jong-soo. Empat lainnya asli orang Jepang, yaitu Masahiro Aoki, Kawakami, Katsuo Kasegawa, dan Ohira. Namun, dalam perjalanan, mereka berpapasan dengan laskar Pasukan Pangeran Papak (PPP) pimpinan Mayor Saud Mustofa Kosasih.
Laskar ini baru saja kembali dari Kota Bandung setelah melaksanakan perintah membakar Kota Bandung atas perintah Komandan Divisi VI/Siliwangi AH Nasution. Peristiwa inilah yang dikenal dengan Bandung Lautan Api, 23 Maret 1946. Tentu saja, begitu bertemu, kedua pasukan ini langsung kontak tembak di sekitar daerah Majalaya, perbatasan Bandung-Garut.
Tak beberapa lama, pasukan Jepang itu menyerah dan ditawan. Rencananya, mereka akan segera dieksekusi mati. Namun Saud Mustofa melarangnya karena tawanan tentara Jepang itu pasti akan berguna bagi laskar PPP. Karena melihat kebaikan dan keramahan laskar itu, para eks tentara Jepang ini menyatakan diri ikut bergabung membela kemerdekaan RI.
“Yang menarik dari kajiannya, ini orang Korea yang membantu Indonesia karena ada kesamaan nasib terjajah sebetulnya. Korea pun dijajah sama Jepang saat itu. Seperti kasus di Palagan, Semarang, bagaimana pemberontakan PETA yang di dalamnya ada gunsok juga,” jelas Usep.
Nisan makam Yang Chil-seong (Komarudin) di TMP Tenjolaya, Garut
Foto: Hakim Gani/detikcom
Setelah disetujui, mereka diberi pakaian baru, makanan, dan diubah identitasnya. Yang Chil-seong menjadi Komarudin, Guk Jae-man menjadi Subarjo, Lee Gil-dong menjadi Umar, dan Woo Jong-soo menjadi Adiwirio. Sementara itu, eks tentara asli orang Jepang, yaitu Masahiro Aoki menjadi Abu Bakar, Kawakami menjadi Slamet, Ohira menjadi Hidayat, dan Katsuo Kasegawa menjadi Usman.
Walau Yang Chil-seong (Komarudin) bekas penjaga tahanan perang, ternyata ia memiliki kemampuan tempur yang mumpuni. Karena itu, ia diserahi tugas Regu Putih (khusus mengurusi sabotase) dan ahli merakit bom laskar PPP. Yang Chil-seong lihai memasang bom pada perut bagian bawah domba atau kambing. Hewan itu digiring ke arah markas Sekutu atau Belanda untuk diledakkan.
Ia juga mahir membuat bom rakitan untuk menghancurkan sejumlah jembatan yang dilewati tentara musuh. Yang Chil-seong pun piawai dalam menebar teror kepada tentara musuh. Ia memanfaatkan wabah pes yang sedang melanda Indonesia kala itu. Ia bersama regunya mengumpulkan bangkai tikus berkarung-karung dan dilemparkan ke markas musuh. Musuh pun kocar-kacir karena takut tertular penyakit pes.
Setelah tiga tahun, aksi Yang Chil-seong membela para pejuang Indonesia terhenti. Ketika beristirahat bersama regunya di sebuah pondokan di Gunung Dora, Garut, ia disergap pasukan khusus Belanda. Sebagian pasukannya ada yang kabur dan mati ditembak. Sedangkan Yang Chil-seong, Usman Katsuo, Abu Bakar Aoki, dan Letnan Juhana ditangkap.
Keempatnya dibawa ke Jakarta untuk disidangkan dalam Peradilan Militer akhir 1949. Yang Chil-seong, Usman Katsuo, dan Abu Bakar Masahiro Aoki dihukum mati. Sementara itu, Juhana dihukum seumur hidup. Saat akan dieksekusi mati, umur Yang Chil-seong baru 30 tahun dan meminta matanya tak ditutup.
Saat regu tembak disiapkan, wajah Yang Chil-seong tersenyum. Ia berteriak “Merdeka…!” sebelum timah panas menembus jantungnya hingga mati. Kini kuburan ketiga pejuang Indonesia asal Korea dan Jepang itu berada di TMP Tenjolaya, Garut.
Eiichi Hayashi menyebutkan, dari data Yayasan Warga Persahabatan (YWP), seusai Perang Dunia II, tercatat 903 orang bekas tentara Jepang ikut perang kemerdekaan RI. Dari jumlah itu, 288 orang (32 persen) hilang, 243 orang (27 persen) gugur dalam perang, dan 45 orang (5 persen) kembali ke Jepang pada 1950.
“Sisanya, 342 orang (36 persen) memilih tetap tinggal di Indonesia sebagai warga negara Indonesia (WNI),” terang Eiichi.
Penulis: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim