INTERMESO

Operasi Soeharto yang Gagal di Cipasung

Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama di Cipasung, Tasikmalaya, 1-5 Desember 1994 tegang dan panas. Presiden Soeharto seperti menabuh genderang perang dengan Gus Dur, Ketua Umum PBNU.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Sabtu, 16 Oktober 2021

Presiden Soeharto nampak tersenyum ketika tiba di lokasi Muktamar ke-27 Nahdlatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, 1 Desember 1994. Ia didampingi Ibu Tien dan sejumlah menteri kabinetnya ketika disambut Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Mohammad Ilyas Ruhiat. Rombongannya pun disambut ratusan muktamirin (peserta musyawarah) yang datang dari berbagai pelosok Indonesia.

Begitu datang di ruang pertemuan yang besar, Soeharto langsung duduk di kursi paling depan. Anehnya, tak terlihat Ketua Umum PBNU, KH Abdurrahman Wahid, menyambut dan menyalaminya. Gus Dur, begitu sapaan akrab cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, itu malah duduk di kursi belakang barisan ketiga. Soeharto tanpa menoleh dan menyalaminya pula.

Gus Dur tahu betul Soeharto tengah jengkel dengan dirinya. Gus Dur sebelum-sebelumnya memang sering mengkritik kebijakan Soeharto. “Akan ada badai dan laut akan sangat berombak. Dan lebih dari pada sebelumnya, NU akan memerlukan seorang kapten yang berpengalaman,” ucap Gus Dur kala itu seperti diutarakan Greg Barton dalam bukunya Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2003).

Muktamar ke-29 NU di Cipasung dianggap paling menegangkan dan panas dalam sejarah NU. Suasana tegang pun terlihat di sekeliling arena muktamar yang dijaga ketat sekitar 1.500 personel tentara dan 100-an intel, serta panser. Aparat keamanan tak berseragam bahkan ada yang menyamar memakai seragam Bantuan Ansor Serbaguna (Banser). Selebihnya memonitor aktivitas para delegasi dalam setiap agenda sidang.

“Tahun 1994 lah yang dianggap paling menegangkan dan terpanas di tubuh NU. Muktamar itu merupakan puncak terjadinya kedholiman rezim Orde Baru terhadap NU,” tulis Muhamamd Faizol dalam Gus Dur dan Panasnya Muktamar NU Cipasung yang dimuat di laman nu.or.id, 19 September 2016.

Presiden Soeharto
Foto: AFP

Saat itu Gus Dur berupaya dijegal untuk mencalonkan kembali sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidziyah PBNU untuk yang ketiga kalinya. Selama dua periode memimpin PBNU dalam Muktamar ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, akhir 1984 dan Muktamar ke-28 di Krapyak, Bantul, DIY tahun 1989, semuanya berjalan mulus. Tapi kali ini penjegalan begitu kencang. Bahkan akar rumput nahdliyin terbelah dua.

Upaya menjegal Gus Dur sudah mulai terasa sejak Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Lampung tahun 1992. Pemerintahan Soeharto mulai memecah-belah anggota dan simpatisan NU dari dalam. Lalu terbentuk kelompok-kelompok anasir anti-Gus Dur dengan slogan ABG (asal bukan Gus Dur).

Ini lebih dahsyat dari genderang ‘perang’ negara vis a vis NU tahun 70-an, padahal oleh Nakamura (peneliti NU asal Jepang) NU disebut tradisionalisme radikal, karena menjadi oposan"

Malah, paman Gus Dur sendiri, KH Yusuf Hasyim, dianggap mendukung gerakan itu. Gus Dur dituding lemah dalam hal manajemen NU dan anti-kritik. Kelompok itu mengusung kandidat Ketua Umum PBNU, Abu Hasan, yang notabene merupakan 'boneka' Soeharto. Selain Gus Dur dan Abu Hasan, saat itu Chalid Mawardi dan Fahmi Saifuddin juga ikut mencalonkan diri sebagai ketua umum dalam muktamar Cipasung.

Ketegangan mulai memuncak menjelang pemungutan suara. Pada putaran pertama, Gus Dur mengumpulkan 157 suara, Abu Hasan mendapat 136 suara, Fahmi Saifuddin mendapat 17 suara, dan Chalid Mawardi hanya enam suara. Pada putaran kedua, suasana semakin tegang. Para kiai sepuh NU yang hadir hatinya ketar-ketir, bahkan sampai ada yang meneteskan air mata. Sementara kelompok muda kebingungan.

Saat penghitungan suara akan dimulai di ruang pertemuan utama Muktamar, Senin 5 Desember 1994, pukul 03.00 WIB, semua yang hadir harap-harap cemas. Melalui pengeras suara, nama-nama calon yang dipilih dibacakan. Sontak suara gemuruh meledak, para pemuda NU berlarian dan lari berputar, ketika mengetahui hasil penghitungan suara Gus Dur unggul dengan meraup 174 suara dan Abu Hasan 142 suara. Para pemuda itu juga meneriakkan yel-yel “Soeharto has to go! Soeharto has to go!”

Mantan Ketua PBNU dan juga Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid
Foto: Getty Images

Sebenarnya, situasi muktamar di Cipasung hampir mengulang kasus Muktamar NU ke-26 di Semarang, Jawa Tengah, tahun 1979. Bila dalam kasus Cipasung intervensi pemerintah tidak mulus 100 persen, beda dengan terpilihnya kembali KH Idham Chalid sebagai Ketua Umum PBNU yang keenam kali di muktamar itu. Lepas dari sebab-akibatnya, yang pasti kelompok non-politik NU tahun 1979 masih kalah dengan kubu politisi NU.

Namun, pada paruh akhir periode Idham, sepeninggal KH Bisri Syansuri (Rais Aam PBNU), kubu non-politik NU di bawah ad interim Rais Aam KH Ali Maksum dapat memenangkan pertarungan. “Berawal dari satu sebab itulah pada Muktamar ke-27 (1984) keputusan NU kembali ke Khittah 1926 (baca: tidak terlibat secara formal organisatoris dan politik praktis) dapat diwujudkan,” tulis Mahrus El Mawa dalam buku Gus Dur Di Mata Wong Cirebon yang disusun Ilman Naf’ia (2010).

Menurut Mahrus, Khittah NU 1926 tersebut tetap dipertahankan hingga Muktamar Situbondo tahun 1984 dan Muktamar Krapyak tahun 1989. Di sisi lain hal itu berdampak negatif terhadap perkembangan NU berikutnya, bahkan terasa hingga Muktamar Cipasung. Dengan terpilihnya kembali Gus Dur untuk ketiga kalinya menjadikan NU sebagai lawan politik penguasa.

“Ini lebih dahsyat dari genderang ‘perang’ negara vis a vis NU tahun 70-an, padahal oleh Nakamura (peneliti NU asal Jepang) NU disebut tradisionalisme radikal, karena menjadi oposan,” terang Mahrus yang menjadi pengajar di IAIN Syekh Nurjati, Cirebon, itu.

Soeharto dan Gus Dur dalam sebuah pertemuan
Foto  Reuters

Menurut pengamat NU yang juga staf pengajar Universitas Utrecht Belanda, Martin van Bruinessen, yang berada di Cipasung saat muktamar NU, apa yang terjadi saat itu sangat terkait dengan prospek suksesi di Indonesia. “Dalam pemilu, ketiga orsospol (Golkar, PPP dan PDI) akan berusaha mempergunakan, memperalat, atau menarik NU berdasarkan kepentingannya. Oleh karena itu, NU harus mampu menjaga jarak dengan ketiga orsospol,” katanya.

Sementara peneliti asal Australia, Greg Fealy mengatakan, terpilihnya Gus Dur menunjukan bahwa NU kembali independen, yang jarang dimiliki organisasi sosial terkemuka di Indonesia saat itu. “Dengan begitu, sulit untuk tidak dikatakan bahwa pemerintah tak berkepentingan untuk suksesi. Upaya menggulingkan Abdurrahman, saat dan setelah Muktamar adalah realitas yang tak mungkin dipungkiri,” jelasnya dalam buku Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (2010).

Pasca Muktamar Cipasung, Soeharto masih enggan menerima kepemimpinan Gus Dur di NU. Bahkan, kelompo Abu Hasan malah membentuk Koordinasi Pimpinan Pusat Nahdlatul Ulama (KPPNU). Perdebatan legalitas Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU yang sah akhirnya terhenti. Ketika Soeharto datang dan bersedia menggandeng tangan Gus Dur saat membuka acara Mukernas Rabithah Ma’ahid Islamiyyah ke-5 di Ponpes Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur, 2 November 1996.


Penulis: M Rizal
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE