INTERMESO

PeduliLindungi yang Bikin Frustrasi

Aplikasi PeduliLindungi wajib bagi masyarakat yang ingin mengakses tempat-tempat umum. Tapi banyak yang justru frustasi dengan aplikasi itu.

Ilustrasi: Edi Wahyono

Sabtu, 2 Oktober 2021

Sudah hampir satu jam telinga Bernard memanas. Cuaca di luar memang cukup terik, tapi bukan itu yang membuat Bernard gerah saat sedang menunggu giliran di sebuah tempat cukur rambut. Sejak tadi, Bernard tak sengaja mendengar seorang bapak yang tengah berdebat dengan salah satu tukang potong rambut tentang pandemi COVID-19.

Si bapak yang mengenakan kaos polo dan celana bahan tak percaya bahaya COVID-19. Sementara tukang cukur itu tak habis pikir mengapa pelanggannya tidak ada takut-takutnya barang sedikit pun. Padahal ia sudah cerita mengenai pengalaman tidak mengenakan saat menginap di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet. Tentunya si bapak langsung mengeluarkan berbagai jurus untuk membantah tukang cukur rambut itu.

“Nggak perlu takut sama COVID. Itu sama saja, kok, kayak sakit batuk pilek biasa,” ucap sang bapak seiring helai demi helai rambutnya berjatuhan ke lantai.

Jika tak percaya bahaya COVID-19, sudah bisa ditebak bahwa sang bapak juga enggan divaksin. Lagi-lagi perdebatan melelahkan soal vaksin terjadi. Berikut pula tentang aplikasi PeduliLindungi yang kini menjadi syarat wajib untuk memasuki berbagai gedung dan fasilitas umum. Anehnya, meski belum divaksin, bapak itu mengklaim bisa melenggang masuk kemana pun ia mau.

Pengecekan sertifikat vaksin di aplikasi PeduliLindungi
Foto: Adi Fida Rahman/detikInet 

“Saya nggak pernah masalah, tuh. Saya cetak aja sertifikat vaksin dari Google. Toh petugasnya nggak pernah nge-check. Atau saya pinjam akun PeduliLindungi teman saya yang udah vaksin buat masuk. Yang penting kan bisa masuk, aman, kok,” ceritanya dengan bangga setelah berhasil mengelabui petugas di sebuah tempat wisata di Jakarta.

Si tukang cukur ujung-ujungnya mengalah. Percakapan mereka berakhir saat sang bapak memberikan selembar uang sebagai ongkos potong rambut. Si bapak meninggalkan salon dengan senyum lebar. Entah karena ia puas dengan hasil potongan rambutnya atau ia senang karena merasa berhasil memenangi perdebatan. “Capek saya mas ngeladenin dia, biarin aja,” ucap tukang cukur kepada Bernard sesaat setelah bapak itu pergi.

Tapi aplikasinya suka bikin emosi. Tiba-tiba minta diperbarui terus minta OTP. Saya kan posisinya lagi ngejar kereta. Telat ngantor terus, bikin hidup makin susah aja."

Pemerintah meminta partisipasi warga untuk mengunduh dan memanfaatkan teknologi dari aplikasi PeduliLindungi. Melansir Covid19.go.id, aplikasi PeduliLindungi memiliki fitur penting dalam pengendalian penyebaran COVID-19. Aplikasi ini dapat membantu setiap warga melakukan surveilans kesehatan berupa penelusuran (tracing), pelacakan (tracking) dan pengurungan (fencing) terhadap anggota masyarakat yang diduga mengidap COVID-19. Selain itu aplikasi PeduliLindungi memiliki fungsi skrining untuk memasuki suatu tempat.

Kenyataannya tak semua senang dengan kehadiran aplikasi ini. Aplikasi PeduliLindungi rupanya telah membuat seorang nenek berusia 70 tahun yang dulunya segar bugar seketika ‘lumpuh’. Meski telah memasuki usia senja, nenek dari Ratna Vianey ini masih bisa berjalan sendiri dan cukup mandiri. Sehari-hari, ia sering bepergian sendiri untuk berbelanja keperluan rumah di supermarket. Kebetulan jarak supermarketnya hanya 1 km dari rumah.

Namun, sejak ia ditolak masuk ke sana, nenek Ratna jadi enggan ke luar rumah. Hari itu neneknya hanya membawa dompet berisi lembaran uang. “Karena dia pikirnya dekat dari rumah jadi nggak bawa apa-apa. Nggak bawa KTP sama sertifikat vaksin juga, jadi disuruh pulang lagi ,” ungkapnya.

Uji Coba Aplikasi PeduliLindungi untuk Penumpang KRL
Foto: Andhika Prasetia/detikcom 

Meski neneknya membawa smartphone, Ratna menjamin neneknya tak akan bisa menggunakan aplikasi PeduliLindungi. Ratna berpendapat bahwa aplikasi semacam itu tidak ramah digunakan oleh orang tua yang gagap teknologi. Aplikasi PeduliLindungi hanya mempermudah akses untuk orang yang sudah terfasilitasi dan paham teknologi.

“Dulu aku ngajarin nenek pakai aplikasi WhatsApp saja butuh waktu berbulan-bulan sampai akhirnya paham. Nah, ini pakai aplikasi yang harus scan barcode pula. Belum lagi kalau error. Nenek saya mana bisa,” keluh Vianey.

Pemandangan serupa terjadi di Stasiun Citayam, Depok. Saat Yusuf Pradna tengah berangkat kerja, ia melihat seorang bapak kesulitan masuk ke dalam stasiun. Ia dipersulit oleh petugas meski sudah memiliki tiket perjalanan karena tidak punya smartphone untuk skrining aplikasi PeduliLindungi. Jangankan untuk mengunduh aplikasi, sebuah handphone hitam yang sudah lusuh itu bahkan tidak ada kameranya.

Untungnya sang bapak diberikan kelonggaran dengan hanya menunjukkan KTP dan sertifikat vaksin. “Kebetulan saya lihat petugasnya ngasih. Kadang ada petugas yang terlalu ketat akhirnya malah nggak jadi naik. Bikin aturan kadang seenaknya aja. Nggak melihat secara merata. Kan nggak semua orang punya privillage untuk bisa punya smartphone,” kata Yusuf.

Supermarket, hypermarket, pasar tradisional, toko kelontong, dan pasar swalayan boleh beroperasi sampai pukul 21.00. Pengunjungnya wajib menggunakan aplikasi PeduliLindungi.
Foto : Grandyos Zafna/detikcom

Aplikasi PeduliLindungi juga kerap membuat Yusuf bersitegang dengan petugas stasiun. Ada kalanya di saat ia tengah terburu-buru, sedangkan aplikasi itu tidak berjalan sesuai keinginan. “Apa karena smartphone saya aja yang kentang, ya. Tapi aplikasinya suka bikin emosi. Tiba-tiba minta diperbarui terus minta OTP. Saya kan posisinya lagi ngejar kereta. Telat ngantor terus, bikin hidup makin susah aja,” kesal Yusuf.

Meski sudah divaksin, tak menjamin David Prasetyo bisa bebas masuk ke tempat publik. Sampai hari ini ia masih belum bisa mendaftar di aplikasi PeduliLindungi.

“Infonya sertifikat vaksin saya hilang dari data base. Makanya kalau mendaftar saya selalu gagal, alasannya karena belum vaksin. Padahal saya sudah vaksin pertama sejak satu bulan lalu,” kata warga Bekasi ini. Untuk sementara ia harus membawa surat keterangan dari RT dan RW agar bisa masuk ke fasilitas umum. “Udah saya laporin lewat email tapi belum ada respons,” ungkapnya.


Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE