Foto : Rachman Haryanto/detikcom
Jumat, 1 Oktober 2021Kesenian membatik merupakan budaya yang sudah ada sejak zaman dahulu, khususnya di era Kerajaan Majapahit atau sejak mulai berkembangnya Islam di pulau Jawa. Karena itulah, batik dijadikan warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh badan PBB urusan kebudayaan, yaitu United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2 Oktober 2009.
Kerajinan batik menjadi industri kecil menengah (IKM) yang menjanjikan. Di Indonesia, pengrajin batik tulis yang terkenal dan tersebar di Yogyakarta, Solo, Semarang, Rembang, Pekalongan, Sidoarjo, dan Cirebon. Kementerian Perindustrian mencatat ada 47.000 unit IKM Batik di Indonesia (2019) dengan jumlah pekerja sebanyak 199.444 orang (2015). Nilai produk batik sebesar Rp 4,746 triliun dan nilai ekspor Rp 50,439 triliun.
Sayangnya, sejak pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) dua tahun lalu, industri kerajinan batik lesu. Dikutip detikFinance, 8 April 2021 lalu, Asosiasi Pengrajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) mencatat, di Indonesia terdapat 151.656 pengrajin batik, tapi kini tinggal 37.914 pengrajin yang masih aktif. Artinya, pandemi telah mengurangi jumlah pengrajin sebanyak 113.742 orang.
“Menurunya sekitar 80 persen, itu artinya sudah ada 105 ribu orang yang mereka beralih profesi dan nganggur,” kata Ketua Umum APPBI, Komarudin Kudiya, kepada detikX, Senin, 27 September 2021.
Karena pandemi, para pengrajin batik ada yang beralih profesi menjadi buruh tani, buruh pabrik, tukang batu dan batu, serta berjualan sayuran. Hanya UKM batik besar saja yang masih beroperasi. Itu pun dengan resiko harus mengurangi jumlah karyawannya.
Komarudin Kudiya, Pengrajin batik
Foto : Dok. Pribadi
“Yang tadinya jumlahnya punya 300-400 karyawan. Saya sendiri juga dari 300 orang tinggal 75 orang sekarang. Ya, jadi sekitar 75 persenan lah kalau saya. Tapi ada juga yang drastis sekali di atas 80 persen. Dari 500 orang itu tinggal 10 orang, karena saking beratnya,” terang Komarudin.
Komarudin mengakui, penjualan batik khususnya untuk baju daster di masa pandemi sempat mengalami booming. Tak tanggung-tanggung, kenaikan bisa mencapai 100 hingga 200 persen. Kebanyakan kain batik untuk daster memang dicetak bukan batik tulis seperti pada umumnya. Daster batik dibandrol dengan harga jual antara Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu.
“Kalau batik (tulis) nggak mungkin Rp 50 ribu, jadi karena mereka dicampur-campur gitu, ya, wajar-wajar aja kalau ada kenaikan dan jualannya kebanyakannya online,” ujarnya.
Komarudin merasa risau banyaknya pengrajin batik yang beralih profesi saat pandemi COVID-19. Pasalnya, pekerjaan membatik itu memerlukan orang yang terampil dan berjiwa seni. “Kalau seni kan yang dibutuhkan motorik halus, ya. Jadi agar namanya, nilai seninya bagus. Ketika mereka sudah beralih kepada pekerjaan menggunakan motorik kasar, tenaga yang lebih diutamakan, ya keterampilan teknisnya berkurang pasti,” ujarnya.
Karena itu, pihaknya akan terus melakukan pembinaan kepada para pengrajin batik. Terutama bagaimana melakukan regenerasi pengrajin batik, karena saat ini hampir semua pengrajin batik rata-rata sudah berumur tua atau diatas 50 tahun. Sebenarnya sudah ada anak muda sekarang yang mencintai batik. Setidaknya inilah yang akan menggantikan generasi pembantik yang lahir di era tahun 1950-an ke generasi yang lahir di tahun 1980-1990-an.
“Di beberapa daerah memang ada yang usianya di atas 40 sampai 50 tahun, itu masih ada. Banyak yang belum ada regenerasi. Ya, memang nggak gampang menciptakan regenerasi pengrajin batik,” imbuh Komarudin.
APPBI pun kerap mengadakan pelatihan ke sejumlah daerah, termasuk via zoom webinar. Di antaranya mengenalkan dunia teknologi, teknik membatik, teknik pewarnaan, teknik berjualan online dan desain motif batik kekinian yang lebih simple. “Jadi kita juga mengajarkan motif-motif simpel. Jadi nggak perlu jelimet, nggak perlu filosofis, nggak perlu simbolik, tapi cocok dengan suasana anak-anak muda sekarang, harganya juga cocok,” pungkas Komarudin.
Tak hanya mengupayakan regenerasi pengrajin batik, pengusaha dan pemilik Batik Wolter, Abel Hesed Tandjaja mengatakan, perlunya regenerasi demand (konsumen/pembeli). Ia mencontohkan lambannya regenerasi pengrajin batik di Pekalongan akibat permintaan yang juga turun.
“Kita harus regenerasi dua sisi, saya pikir kita harus fokus demand-nya dulu. Kalau demand-nya banyak, pasti regenerasi supply-nya akan mengikuti,” kata Abel yang ditemui detikX di kawasan Kembangan, Jakarta Barat, Kamis, 23 September 2021.
Kini galeri Batik Wolter yang dikelola Abel tengah mengedukasi agar orang muda yang selama ini tak tertarik mengenakan batik menjadi tertarik dan membelinya. Bagaimana pun bila hal itu tak dilakukan dalam jangka waktu 10-20 tahun ke depan, batik akan punah. Bisa saja saat itu harga kain batik tulis bisa mencapai ratusan juta, karena langka.
Abel Hesed Tandjaja - Owner Batik Wolter
Foto : Dok. Pribadi
“Karena nggak ada yang bisa ngerjain lagi, nggak ada pengrajinnya, nggak ada supply-nya dan itu bisa kita bilang punah, soalnya nggak ada lagi ekosistemnya,” terang Abel.
Abel berharap, regenerasi batik ini jangan sampai telat. Pasalnya, begitu orang mulai sadar, tapi pengrajinnya sudah sepuh, tak sanggup membuat dan menghilang. “Walaupun yang muda-muda ini semangat lagi, itu udah nggak bisa. Nggak cukup waktu buat nurunin ilmu nge-batik ini, butuh jam terbang yang tinggilah untuk membuat batik,” ujar pria lulusan universitas di Michigan, Amerika Serikat ini.
Reporter: Syailendra Hafiz Wiratama
Redaktur: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim