INTERMESO
Indonesia setiap tahun kehilangan 150 ribu hektare sawah. Penyebabnya alih fungsi lahan demi pembangunan infrastruktur.
Ilustrasi : Edi Wahyono
Di warung kopi sederhana miliknya, Agus Lenon, 49 tahun, duduk termenung menunggu kedatangan pelanggan. Saban hari, ia bersama istrinya berjualan makanan dan minuman di pojokan Jalan Desa Bojongasih, Parakansalak, Sukabumi, Jawa Barat. Pria kelahiran Jakarta ini, sejak akhir 1990-an atau awal 2000-an, terpaksa kembali ke kampung halaman leluhurnya untuk menjadi petani.
Selain bertani, Agus sempat mendapatkan cuan (keberuntungan) dari beternak bebek. Tapi cuan yang diperolehnya itu menyusut sejak 10 tahun belakangan ini. Bahkan Agus kini berhenti total karena lahan bertani dan beternak sudah hilang dijual. Ia praktis hanya menerima orderan menggiling gabah padi menjadi beras di penggilingan yang dikelola salah satu familinya.
Agus mengisahkan, hampir sebagian besar warga di desanya kehilangan lahan bertani. Padahal dulu desa ini terkenal dengan pertaniannya yang subur dan luas. Keadaan ekonomi dan derasnya pembangunan membuat warga terpaksa menjual satu per satu lahan sawahnya. Lahan itu berganti wujud menjadi pabrik dan perumahan baru.
Agus Lenon, petani di Sukabumi
Foto : Dok Pribadi
“Alasannya, ya, ada juga yang butuh uang buat sekolah anak, kelilit rentenir atau bank keliling. Ada juga yang sudah bosan nyawah, karena pupuk mahal,” ungkap Agus dalam obrolan ringan bersama detikX beberapa waktu lalu.
Kini beberapa dari mereka bekerja serabutan. Pemerintah memikirkan hanya proyek, bukan keberlangsungan hidup masyarakat sekitar.”
Persoalan terbesar yang dihadapi para petani saat ini adalah masalah tingginya harga pupuk. Hal ini tak sebanding dengan harga jual gabah. Para tengkulak pun hanya mau membeli gabah yang harganya sudah distandarkan pemerintah. “Kecuali tuan tanah yang sawahnya hektaran, rada lumayan kalau kuantitas padinya banyak,” imbuh Agus.
Alih-alih bertani, hampir 80 persen warga desa pergi ke kota untuk mencari nafkah, baik ke Kota Sukabumi, Bogor, maupun Jakarta. Sepuluh persen menjadi pekerja serabutan atau kuli bangunan pada juragan kampung. Lima persen menjadi tenaga kerja Indonesia ke Arab Saudi dan lima persennya lagi membuka warung kopi sederhana. “Ya kayak saya ini, buka warung kopi sederhana,” ucap Agus. Ia pun kini membuat kopi bubuk tradisional dengan cara disangrai dan tumbuk sendiri.
Bukan hanya hilang karena desakan kebutuhan ekonomi, banyak lahan sawah hilang karena tergusur pembangunan infrastruktur dan proyek strategis nasional. Hal itu diketahui dalam diskusi secara daring peringatan Hari Tani Nasional 2021 yang diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada 20-23 September 2021.
Anggota LBH Bandung Mohammad Abdul Muit Pelu menyoroti proyek-proyek strategis nasional di Jawa Barat menyebabkan lahan pertanian tergusur. Di antara penyebabnya adalah pembangunan Bendungan Jatigede di Sumedang, Bandara Internasional Jawa Barat di Majalengka, pembangkit listrik tenaga uap di Indramayu dan Cirebon, serta pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung.
“Warga yang terdampak sering kali tak menerima informasi utuh mengenai dampak pembangunan infrastruktur yang masuk dalam daftar proyek strategis nasional,” kata Abdul Muit.
Ia mencontohkan kasus warga Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Majalengka, yang lahan pertaniannya beralih fungsi menjadi bandara. Sebelumnya, warga bisa menghasilkan uang Rp 50-80 juta tiap kali panen, tergantung komoditas yang ditanam. “Kini beberapa dari mereka bekerja serabutan. Pemerintah memikirkan hanya proyek, bukan keberlangsungan hidup masyarakat sekitar,” jelas Abdul Muit.
Hal yang sama terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Banyak proyek strategis nasional berurusan dengan kepentingan lahan petani. Seperti pembangunan PLTU Cilacap, Bendungan Bener di Purworejo dan Wonosobo, New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo, jalan tol Yogyakarta-Bawen, jalan tol Yogyakarta-Cilacap, dan tol Yogyakarta-Solo.
“Semuanya hanya untuk mendukung kebutuhan pariwisata strategis KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) di Borobudur,” kata Direktur LBH Yogyakarta Yogi Zul Fadhli. Menurut Yogi, proyek Bandara NYIA menyebabkan rumah dan lahan produktif (pertanian) seluas 600 hektare tergusur.
Akibatnya, masyarakat yang terdampak pembangunan kehilangan tempat tinggal dan lahan penghidupannya. “Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, DIY, mencatat lahan tanaman cabai seluas 300 hektare dengan produksi sekitar 2.700 ton per tahun di Kecamatan Temon hilang karena digunakan untuk pembangunan New Yogyakarta International Airport,” ucap Yogi.
Tol Trans Jawa
Foto : Sugeng Harianto/detikcom
Yogi juga menerangkan pembangunan beberapa jalur tol di DIY-Jawa Tengah mengakibatkan 250 hektare lahan pertanian akan beralih fungsi. Bahkan sekitar 38 hektare lahan pertanian produktif di Kabupaten Sleman diperkirakan akan terkena dampak pembangunan tol Yogyakarta-Solo. Saling berkelindannya pekerjaan infrastruktur penunjang pariwisata (transportasi, listrik, dan air) serta kebijakan lain di Pemprov DIY dan Jawa Tengah menyebabkan hak warga terabaikan.
“Ini menandakan perampasan ruang hidup terjadi dalam skala yang luas dan dampaknya tentunya jumlah warga yang dilanggar haknya menjadi begitu besar,” imbuh Yogi.
YLBHI menyampaikan penguasaan tanah di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2013. Hampir 71 persen dikuasai korporasi kehutanan, 16 persen dikuasai korporasi perkebunan, 7 persen oleh konglomerat, dan sisanya 7 persen oleh masyarakat. Petani yang memiliki lahan sendiri hanya 56 persen, sementara 78 persen merupakan petani penggarap (tani tunakisma/tak bertanah). Sedangkan pengusaha sawit swasta hampir menguasai lahan sebesar 13 juta hektare.
Dari buku ‘Statistik Lahan Pertanian 2015-2019’ terbitan Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekjen Kementan tahun 2020 terlihat, setiap tahun, dalam lima tahun terakhir lahan sawah di Indonesia kian menyusut. Sementara pada 2015 lahan sawah di seluruh Indonesia berjumlah 8.092.907 hektare, pada 2019 tinggal 7.463.948 hektare. Sedangkan lahan pertanian bukan sawah dari 29.392.325 hektare pada 2015 menjadi 29.353.138 hektare pada 2019.
Menyusutnya luas lahan pertanian ini diakui oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Ia mengatakan tren alih fungsi lahan pertanian pada 1990-an mencapai 30 ribu hektare per tahun. Luasannya meningkat menjadi sekitar 110 ribu hektare pada 2011 dan bertambah lagi mencapai 150 ribu hektare pada 2019. Fungsi lahan pertanian itu diubah menjadi lahan industri hingga pembangunan jalan.
“Ini data dari BPN (Badan Pertanahan Nasional). Memang ada kenyataan-kenyataan alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian yang masih terus berlangsung saat ini, bahkan cenderung meningkat,” ujar Syahrul dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI pada 29 Maret 2021.
Syahrul mengatakan wewenang memutuskan alih fungsi lahan ada pada pemerintah daerah. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Namun Syahrul meminta pihaknya diberi kewenangan untuk ikut melakukan penuntutan langsung terkait penyusutan lahan pertanian.
“Kendali sepenuhnya itu memang ada di daerah, khususnya kabupaten. Tapi kalau dibiarkan ini, kecenderungan meningkat. (Pengalihan fungsi lahan pertanian) akan terus berkembang seperti yang sudah ada saat ini," tandasnya.
Yogyakarta International Airport (YIA), Kulon Progo
Foto : Sayoto Ashwan/detikcom
Sebelumnya, Direktur Pengendalian Hak Tanah, Alih Fungsi Lahan, Kepulauan dan Wilayah Tertentu Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Asnawati mengungkapkan Indonesia berpotensi kehilangan lahan sawah hingga 90 ribu hektare per tahun. Walau saat ini ada upaya membuka cetak sawah baru, hal itu tak sebanding dengan besaran alih fungsi lahan sawah tersebut.
“Secara nasional tercatat bahwa alih fungsi lahan sawah ke nonsawah tiap tahunnya lebih-kurang rata-rata 150 ribu hektare. Sedangkan cetak sawah baru rata-rata hanya lebih-kurang 60 ribu hektare per tahunnya,” ungkap Asnawati dalam acara PPTR Expo 2021 secara virtual, 22 Februari 2021.
Hal itu diamini Kepala Subdirektorat Alih Fungsi Lahan Sawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Vevin Syoviawati Ardiwijaya. Potensi kehilangan lahan sawah di masa depan bisa semakin meningkat mengingat Undang-Undang Cipta Kerja memungkinkan alih fungsi lahan pertanian pangan untuk kepentingan umum atau untuk proyek strategis nasional.
“Sebelum UU Cipta Kerja ini terbit, sudah ada indikasi penurunan lahan sawah 150 ribu hektare per tahunnya. Dengan UU ini, tentu saja alih fungsi lahan semakin besar lagi karena banyak sekali PSN (proyek strategis nasional) dan kepentingan umum yang dibangun di sawah,” kata Vevin.
Menurut Vevin, sebenarnya di dalam UU Cipta Kerja ada sanksi pidana atau denda bagi pejabat yang memberikan persetujuan tapi tidak sesuai kriteria ketentuan alih fungsi lahan, yaitu dalam Pasal 73 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Adapun syarat sawah beralih fungsi adalah memenuhi kajian kelayakan strategis, disusun rencana alih fungsi lahan, dibebaskan kepemilikan haknya, dan harus menyediakan lahan pengganti.
“Jadi salah satu syaratnya juga adalah harus ada sawah pengganti ketika sawah ini dilakukan alih fungsi dan tidak berlaku untuk bencana. Terus terakhir ini syaratnya ini 24 bulan pembebasan alih fungsi dengan pemberian ganti rugi,” pungkas Vevin.
Ironis memang, sejak dulu Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Namun kini harus menerima kenyataan sejengkal demi sejengkal lahan sawahnya akan menghilang
Penulis: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Luthfy Syahban