INTERMESO

Tambang Ilegal Pembawa Stigma 'Kampung Janda'

Tambang ilegal telah menyisakan kepedihan hidup warga Kampung Panyarang, Bogor. Belum lagi perasaan tak nyaman dengan stigma kampung janda di wilayah tersebut.

Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom

Rabu, 15 September 2021

Dalam beberapa tahun belakangan ini, Ijah harus banting tulang untuk menafkahi keluarganya dengan menjadi pekerja kontrak di pabrik garmen. Saban hari, wanita berumur 43 tahun ini bangun menjelang Subuh, mencuci perabotan, pakaian, dan menyiapkan makan untuk anak-anaknya. Lalu, menjelang pukul 06.30 WIB, ia pergi bekerja sebagai buruh di pabrik garmen di kawasan Cigombong, Bogor, Jawa Barat.

Sepulang bekerja pada sore hari sekitar pukul 16.00 WIB, Ijah kembali beres-beres rumah dan memasak makan malam untuk kedua anak lelakinya. Ijah sebenarnya punya empat anak. Namun anak pertama meninggal dunia dua tahun lalu. Sedangkan anak keduanya sudah menikah dan tinggal bersama suami.

Ijah terpaksa bekerja sejak suaminya meninggal dunia akibat tertimbun tanah longsor di lahan tambang karst (batuan kapur) atau galian golongan C ilegal pada awal 2016. Suami Ijah bertahun-tahun bekerja sebagai buruh lepas di tambang galian C yang terletak tak jauh dari rumahnya di Kampung Panyarang, Desa Ciburayut, Cigombong, Bogor.

“Saya mulai bangun setiap hari jam empat pagi, terus jam lima masak buat anak, nyuci baju dan piring, beres-beres kalau keburu, terus berangkat kerja. Pulang kerja pukul 16.00 WIB, masak lagi buat anak, nggak ada yang spesial-lah, ya,” ucap Ijah sambil tersenyum mengawali obrolannya bersama tim detikcom di Kampung Panyarang, RW 07, Desa Ciburayut, Selasa, 7 September 2021.

Ijah mengisahkan, dirinya adalah asli orang Kampung Panyarang. Tapi ia lupa sejak kapan di kampungnya itu dibuka lahan tambang karst galian C. Ijah juga tahu di kampung tetangganya, Kampung Loji, yang masuk Desa Pasir Jaya, dibuka tambang galian C juga. “Itu sejak saya sebelum nikah, sih, sudah mulai, ya. Tahunnya nggak ngitung saya. Banyak orang sini kerja di sana,” jelas Ijah.

Setop Sebut Rumah Kami Kampung Janda
Video : 20detik

Ijah tak begitu tahu secara detail bagaimana suaminya mengalami kecelakaan di tambang. Pada saat kejadian, ia sedang mencari rumput di hutan perbukitan di kaki Gunung Salak. Seorang tetangganya mengabari ada hal yang penting di rumahnya. Ijah pun bergegas pulang. Alangkah terkejutnya dia begitu tahu ternyata suaminya pulang telah menjadi mayat. “Jadi saya tahu, suami saya meninggal karena kecelakaan atau ketiban longsoran pada saat di tempat kerjanya, tapi nggak lihat jasadnya saja,” ujar Ijah lirih. 

Walau hatinya sedih, Ijah menguatkan hati untuk tak mau berduka berlama-lama. Ia harus memikirkan nafkah untuk keluarganya. Setahun kemudian, Ijah ditawari temannya bekerja sebagai baby sitter salah satu keluarga di Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Sebulan sekali ia pulang ke kampungnya menengok anak-anaknya. “Karena kalau di rumah itu kan susah buat kerja. Di sawah juga upahnya nggak cukup buat anak tiga. Jadi ada yang ngajak kerja ke kota, ya ikut,” ucap Ijah. Tak lama, Ijah mendapat tawaran bekerja di perusahaan garmen.

Di Kampung Panyarang, bukan hanya Ijah yang harus hidup menjanda karena suaminya meninggal di lahan tambang galian C. Karena banyaknya korban jiwa di lahan tambang ilegal yang terletak sekitar 5 kilometer dari Kampung Panyarang itu, pemerintah setempat menutupnya pada Maret 2016. Lagi pula, tambang itu telah merusak lingkungan dan kelestarian alam sekitar.

Sayangnya, karena banyaknya istri-istri yang ditinggal kepala keluarganya karena kecelakaan tambang, Kampung Panyarang dikenal sebagai kampung janda. Stigma negatif itu terus melekat hingga sekarang. Di media sosial, banyak percakapan-percakapan tentang kampung itu dibumbui dengan foto-foto yang berbanding terbalik dengan kondisi sebenarnya. “Ya, merasa nggak enak juga, ya. Memang janda, tapi kan ya berasa gimana gitu. Nggak enaklah ya,” kata Ijah.

Ijah, warga Kampung Panyarang, saat ditemui di rumahnya

Foto : Rifkianto Nugroho/detikcom

Sejumlah siswa selesai melakukan kegiatan belajar di SDN Panyarang

Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom

Ibu-ibu warga Kampung Panyarang mengikuti kegiatan pengajian di salah satu rumah warga

Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom

Sebuah truk galian tambang melintasi jalan di Kampung Panyarang

Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom

Seorang warga Kampung Panyarang mengantar anaknya ke sekolah

Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom

Selain menjadi buruh pabrik seperti Ijah, para wanita Kampung Panyarang juga mengadu nasib dengan berbagai cara sejak ditinggal suami mereka. Untuk menyambung hidup, mereka ada yang berjualan gorengan, kue, hingga perabotan rumah tangga. Mereka pun masih aktif mengikuti majelis taklim atau pengajian di kampungnya itu. “Alhamdulillah ya, kebanyakan ke pabrik juga,” kata Siti Yuningsih, 46 tahun, warga Kampung Panyarang. 

Siti mengaku tidak tahu pasti jumlah wanita yang masih berstatus janda pada saat ini. Sebab, banyak juga yang sudah menikah lagi. Yang jelas, menurut Siti, hampir semua lelaki di kampungnya pernah bekerja di tambang karst ilegal itu. Kampung Panyarang sendiri masuk wilayah RW 07, yang memiliki lima rukun tetangga (RT). “Janda di Kampung Panyarang ini juga cuma sedikit ya. Sekarang sudah sedikit jandanya. Sudah ada yang nikah lagi, sudah ada yang bekerja,” jelas Siti.

Sebetulnya, ada juga wanita penduduk Kampung Panyarang yang sebelumnya ikut bekerja di tambang ilegal. Misalnya Iim Rohimah, yang bersama suaminya pernah menambang karst selama bertahun-tahun. Sejak ditutupnya tambang itu, Iim menjadi buruh tani. Sedangkan suaminya bekerja serabutan menjadi kuli bangunan. “Kalau Bapak nyangkul di situ. Yang punya vila ada kebun sedikit. Ibu, mah, kalau ada yang nyuruh di sawah, tanam padi. Kalau nggak ada, di rumah aja,” ucap Iim.

Menurut Iim, semua lahan galian C di kampung itu merupakan milik pribadi tiga orang warga. Awalnya lahan itu merupakan area kebun dan sawah. Baru pada awal 1990-an kebun dan sawah berbukit itu digali untuk diambil batu gamping dan pasir kerikil untuk dijual sebagai bahan baku batako dan sebagainya. “Tras punya dia. Tadinya kebun-kebun gitu. Jadi dibongkarin. Punya dia sendiri, ya pribadi. Tadinya kan luas kebunnya, terus digali-digali tras semua,” terang Iim. 

Mantan pekerja tambang, Iim Rohimah (51)
Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom

Iim menceritakan, sebenarnya upah bekerja sebagai penggali di tambang galian C itu tak menentu. Ia dan suaminya menambang tras dan pasir untuk satu mobil (truk atau pikap) selama satu pekan. Hasil penggalian mereka sebanyak satu mobil hanya dibayar Rp 70-100 ribu. “Upah terakhir sampai berhenti kerja Rp 150 satu mobil. Tapi mandek di tahun-tahun terakhir ini,” ujar ibu 12 anak tersebut.

Iim juga mengaku bayaran upah sebagai penambang sering tertunda. Mandor sering beralasan belum dibayar oleh pembeli bahan material itu. Apalagi menjelang tambang itu ditutup pemerintah, hampir satu tahun lebih Iim dan suaminya tak dibayar atas keringat dan jerih payah yang sudah dikeluarkannya. “Susah duitnya. Jadi kalau dapat satu mobil, ntar duitnya lama. Ibu juga pernah nggak dibayar. Udah beberapa bulan sampai satu tahun Ibu nggak kerja,” imbuh Iim. 

Iim kini hanya mengandalkan pemasukan dari panggilan warga lain yang butuh membersihkan sawah, menanam atau panen padi di sawah. Setiap ada panggilan kerja, dalam sehari dari pagi sampai siang, Iim diupah Rp 30 ribu. “Biasanya kan itu kerja di sawah itu satu-dua hari. Kalau sawah kan blok. Kalau sudah beres di sini, ada lagi yang nyuruh, beda lagi honornya,” ucapnya. 

Ia juga mengatakan, banyaknya wanita di kampungnya menjadi janda tak semua akibat kecelakaan di tambang galian C. Ada yang meninggal karena petir maupun karena faktor usia dan kesehatan. “Jadi ceritanya kan nambang tras, yang ketiban tiga orang. Tapi yang dulu mah tersambar petir enam orang. Ke sini-sininya nambah terus, ketiban, kecelakaan gitu. Tapi ada juga sih yang meninggal biasa karena umur, jadi kebanyakan janda,” terang Iim.


Reporter: Syailendra Hafiz Wiratama
Redaktur: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim

***Komentar***
[Widget:Baca Juga]
SHARE