Foto Ilustrasi: Rifkianto Nugroho
Minggu, 12 September 2021Sudah genap satu tahun Sinta, bukan nama sebenarnya, tinggal bersama pasangannya di sebuah apartemen di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Di usia Sinta yang sudah menginjak 28 tahun, teman sebayanya mungkin sudah menikah atau bahkan punya momongan. Tapi Sinta dan pacarnya memilih jalan berbeda. Keduanya tengah menjalankan kohabitasi.
Kohabitasi merupakan sebuah istilah yang ditujukan kepada pasangan yang tinggal satu atap tanpa ikatan perkawinan. “Pacaran sudah 5 tahun, tapi tinggal barengnya baru setahunan,” ujar Sinta saat dihubungi detikX, Sabtu, kemarin.
Pertemuan Sinta dengan pacarnya berawal dari sebuah aplikasi kencan online. Keduanya sama-sama saling suka dan memutuskan untuk berpacaran. Tak pernah terlintas di benak Sinta untuk tinggal satu atap dengan pacarnya. Apalagi orang tua Sinta termasuk cukup ketat.
“Kebetulan orang tua aku pemeluk agama Kristen Protestan. Di gereja aku bahkan pegangan tangan juga nggak boleh,” kata anak pertama dari empat bersaudara ini.Perlakuan berbeda justru Sinta dapatkan saat berkunjung ke rumah sang pacar. Orang tua pacarnya bahkan mengizinkan Sinta menginap dan tidur di kamar yang sama. Selama lima tahun pacaran, mereka berdua juga sering menginap dan jalan-jalan ke luar kota maupun luar negeri bersama.
“Usia orang tua pacar aku udah mau 70 tahun. Mereka generasi dulu banget, kan. Aku mikirnya makin tua harusnya makin old school, dong. Tapi ternyata mereka nggak begitu malah, slow banget. Cuma dipesenin hati-hati ya. Hati-hati hamil kali ya maksudnya,” ungkap Sinta.
Belakangan orang tua Sinta pun baru tahu kalau anaknya kerap menginap bersama. “Awalnya syok, sih, tapi nggak marah. Malah setelah satu bulan kami tinggal bareng, orang tua aku datang ke apartemen kami buat berkunjung.”
Ilustrasi pasangan kekasih
Foto : Getty Image/AsiaVision
Hati orang tua Sinta akhirnya luluh juga. Apalagi setelah melihat anaknya yang sudah dewasa dan bisa mandiri secara finansial. “Mereka okey aja karena melihat aku dan pacarku udah bisa bertanggung jawab dan secara ekonomi okey kalau ada apa-apa, misalkan sampai hamil pun nggak akan nyusahin orang tua,” tutur Sinta.
Terlepas dari latar belakang orang tua mereka berdua, Sinta dan pasangannya menjalankan kohabitasi karena keduanya menemukan keinginan yang sama. Mereka ingin menghabiskan waktu bersama lebih lama dan membutuhkan tempat tinggal yang dapat mengakomodasi keinginan mereka, yaitu murah dan tak jauh dari tempat kerja. Saat itu, Sinta tengah bekerja dan indekos di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. Sedangkan pacarnya tinggal dengan orang tua di daerah Sunter, Jakarta Utara.
“Buat indekos aja sebulan aku harus bayar Rp 2,4 juta. Berapa banyak yang bisa dihemat kalau kita beli apartemen dan tinggal bareng,” katanya. Lagi pula, hingga kini Sinta dan pasangannya belum ada pikiran untuk menikah, apalagi punya anak.
Aku nggak mau asal kenal terus nikah. Kalau bisa aku mau kenal luar dalam dulu baru menikah."
“Prioritas kita tinggal bareng, bukan nikahnya. Kita merasa menikah itu hanya komitmen yang dipamerkan. Sedangkan kita udah komitmen, yang tahu kita berdua aja nggak perlu orang lain tahu kita komitmen apa. Toh, sama aja. Kalau sudah menikah tetap bisa cerai. Mau pisah, ya, pisah aja, selingkuh juga selingkuh aja,” Kata Sinta.
Pernikahan beda agama yang ribet juga menjadi salah satu alasan yang membuat Sinta mengurungkan niat untuk menikah. Sinta yang merupakan pemeluk agama Kristen Protestan, sementara pacarnya beragama Katolik. Kecuali jika suatu saat Sinta dan pasangan menginginkan buah hati, barulah mereka bisa berubah pikiran.
“Kita, sih, pengen nikah kalau misalkan ada calo yang bisa ngurusin semua keperluan, kita terima beres aja. Tapi aku juga nggak semau itu, sih,” ujar Sinta.
Kehidupan dan rutinitas Sinta dan pacarnya tak jauh berbeda dengan pasangan yang sudah menikah. Sebelum tinggal bersama, Sinta sudah menyepakati berbagai hal, termasuk urusan rumah tangga beserta keperluannya. Mereka sepakat membagi dua biaya untuk keperluan rumah tangga termasuk urusan makan. Kebiasaan ini sudah Sinta dan pacarnya terapkan sejak awal pacaran. Kebetulan mereka berdua punya penghasilan dengan jumlah yang hampir sama.
“Tinggal bareng sama pacar itu nggak seperti yang orang bayangkan. Isinya bukan enak-enak aja,” tutur Sinta.
Ilustrasi Jakarta dari sebuah hunian bertingkat
Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom
Sementara Vani, bukan nama sebenarnya, merasa butuh waktu lebih lama untuk mengambil keputusan menikah dengan pasangannya. Pertimbangan itu yang menjadi dasar bagi Vani untuk menjalankan kohabitasi sebelum menikah.
“Aku nggak mau asal kenal terus nikah. Kalau bisa aku mau kenal luar dalam dulu baru menikah. Aku mau tahu kebiasaan dia bagaimana. Bisa nggak aku nge-handle-nya nanti kalau sudah menikah,” kata Vani yang sudah menjalani hubungan berpacaran selama dua tahun.
Vani yang memiliki usaha online ini tinggal bersama di apartemen milik pasangannya. Mereka berdua sepakat untuk patungan membayar keperluan sehari-hari seperti listrik dan internet. Sementara pekerjaan rumah tangga dilakukan bersama.
Awalnya Vani merasa senang karena merasa bebas untuk melakukan apa saja dengan pacarnya dan tidak ada yang melarang. Bayangan adegan mesra di sinetron Korea berputar di kepala Vani. Tapi sayangnya itu hanya segelintir saja. Karena tinggal bersama, semakin banyak kesempatan bertemu, konfik pun gampang bermunculan.
“Kebiasaan cuci piring yang beda aja bisa bikin kesel dan akhirnya berantem,” tuturnya. “Makanya dengan tinggal bareng aku mau lebih matang dalam ambil keputusan. Tapi balik lagi ke pilihan masing-masing, selama nggak merugikan aku fine aja.”
Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho